Peraturan Pemerintah TUNAS Ilusi Perlindungan Anak di Ruang Digital
OpiniPerlindungan anak di ruang digital tidak cukup hanya dengan regulasi teknis
Ia menuntut sistem yang benar-benar berpihak pada pembentukan generasi berkarakter kuat
________________________
Penulis Diyani Aqorib, S.Si.
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Gawai bukanlah barang baru dalam kehidupan masyarakat hari ini. Anak-anak generasi digital, bahkan sejak usia balita sudah sangat akrab dengan layar ponsel, tablet, dan komputer.
Tanpa pendampingan yang memadai, mereka bebas berselancar di ruang digital yang nyaris tak berbatas. Kondisi ini menjadikan ruang maya bukan sekadar sarana hiburan atau belajar, tetapi juga medan pembentukan pola pikir, sikap, dan karakter anak.
Melalui gawai, anak dengan mudah mengakses beragam informasi: gaya hidup, budaya populer, pola relasi, hingga game dan media sosial. Di satu sisi, teknologi memang menawarkan kemudahan dan manfaat edukatif. Namun di sisi lain, tanpa kontrol dari orang tua, masyarakat, maupun negara, derasnya arus informasi justru menjadi bumerang yang membahayakan masa depan generasi.
Berbagai riset dan fenomena sosial menunjukkan bahwa penggunaan gawai berlebihan pada anak dan remaja memicu banyak dampak negatif. Mulai dari gangguan tidur, masalah kesehatan fisik seperti mata lelah dan nyeri tubuh, penurunan prestasi akademik, hingga problem kesehatan mental berupa kecemasan, depresi, isolasi sosial, serta menurunnya empati. Lebih jauh, kecanduan gawai menyebabkan anak kehilangan fokus belajar dan interaksi sosial di dunia nyata, yang sejatinya sangat penting bagi perkembangan karakter.
PP TUNAS: Upaya Negara Menghadirkan Ruang Digital Aman
Dalam konteks inilah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan berlaku mulai 1 April 2025 ini diklaim sebagai langkah serius negara untuk melindungi anak-anak di dunia digital.
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa PP TUNAS merupakan respons strategis terhadap maraknya paparan konten berbahaya, manipulatif, dan eksploitatif yang mengincar anak-anak sebagai kelompok rentan. PP ini mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah, melakukan remediasi cepat, memverifikasi usia pengguna, serta menerapkan pengamanan teknis. Sanksi administratif hingga pemutusan akses disiapkan bagi PSE yang tidak patuh. (komdigi.go.id, 02-05-2025)
Secara normatif, PP TUNAS tampak menjanjikan. Terlebih, data menunjukkan bahwa sekitar 48 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dengan jumlah sebesar ini, kehadiran regulasi perlindungan jelas menjadi kebutuhan mendesak.
Tantangan dan Kelemahan Implementasi
Namun, pertanyaan pentingnya adalah: sejauh mana PP TUNAS efektif melindungi anak?
Pertama, efektivitas regulasi sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan hukum. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa banyak aturan di ruang digital berhenti sebagai teks hukum, lemah dalam implementasi. Verifikasi usia, misalnya, kerap mudah dimanipulasi dan belum benar-benar menjamin anak terlindungi dari konten dewasa.
Kedua, PP TUNAS masih menempatkan tanggung jawab besar pada platform digital yang pada dasarnya berorientasi profit. Selama ekosistem digital masih tunduk pada logika kapitalisme di mana data, atensi, dan engagement bernilai ekonomi tinggi, perlindungan anak berpotensi menjadi prioritas sekunder.
Ketiga, regulasi ini belum menyentuh akar persoalan secara komprehensif, yakni paradigma kebebasan digital tanpa batas yang lahir dari sistem sekuler. Selama standar baik-buruk konten hanya diukur dari “aman secara teknis” dan bukan “sehat secara moral dan ideologis”, anak tetap rentan terhadap kerusakan pola pikir dan nilai.
Perlindungan Hakiki Butuh Pendekatan Menyeluruh
Perlindungan anak di ruang digital tidak cukup hanya dengan regulasi teknis. Ia menuntut sistem yang benar-benar berpihak pada pembentukan generasi berkarakter kuat. Negara semestinya hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga penjaga nilai, dengan memastikan bahwa ruang digital sejalan dengan tujuan pendidikan dan pembinaan akhlak generasi.
Orang tua dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab. Literasi digital harus dibangun, bukan sekadar untuk mengenali fitur aplikasi, tetapi juga untuk memahami bahaya ideologi, budaya permisif, dan konten destruktif yang menyusup melalui layar gawai.
Melindungi anak berarti menjaga masa depan bangsa dan itu membutuhkan lebih dari sekadar aturan. Dibutuhkan sistem kehidupan yang benar-benar menjadikan keselamatan akal, jiwa, dan akhlak generasi sebagai tujuan utama.
Khil4fah: Negara Penjaga Akal dan Masa Depan Generasi
Dalam pandangan ideologis Islam, perlindungan anak dan generasi muda tidak diserahkan pada kesadaran individu semata, juga tidak dipisahkan dari arah kebijakan negara. Islam menetapkan negara dalam sistem Khil4fah sebagai junnah (perisai), penjaga utama kehidupan rakyat, termasuk dalam menjaga akal (hifzh al-‘aql), akidah, dan kepribadian generasi.
Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya imam (khalifah) itu adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna junnah (perisai) menegaskan fungsi negara bukan reaktif dan parsial, melainkan protektif dan preventif. Dalam konteks ruang digital, negara tidak cukup hanya menyaring konten atau memberi sanksi administratif, tetapi wajib menutup seluruh celah yang memungkinkan rusaknya akal dan akhlak generasi.
Khil4fah dan Tata Kelola Ruang Digital Berbasis Akidah
Berbeda dengan sistem sekuler, Khil4fah menjadikan akidah Islam sebagai asas pengaturan kehidupan, termasuk teknologi dan informasi. Negara tidak netral terhadap konten, melainkan berpihak pada kebenaran syar‘i. Segala bentuk konten yang merusak akidah, akhlak, dan akal, pornografi, liberalisme seksual, kekerasan, ateisme, hedonisme, dicegah sejak hulu, bukan menunggu laporan dari masyarakat.
Dalam Khil4fah, pengelolaan teknologi tunduk pada hukum syarak, bukan pada kepentingan korporasi. Negara wajib:
1. Menutup akses terhadap konten haram dan ideologi kufur secara sistemik.
2. Mengontrol penuh infrastruktur digital sebagai sarana publik.
3. Mengarahkan teknologi untuk pendidikan, dakwah, dan pembinaan generasi.
4. Menjamin distribusi informasi yang sehat, beradab, dan membangun kepribadian Islam.
Semua ini dilakukan dalam kerangka ri‘ayah syu’un al-ummah (pengurusan urusan rakyat), bukan sekadar perlindungan administratif.
Negara Bertanggung Jawab Langsung atas Kerusakan Generasi
Dalam Islam, rusaknya generasi bukan hanya kegagalan keluarga, tetapi juga kegagalan negara. Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban langsung jika lalai menjaga umat dari kerusakan yang nyata. Rasulullah saw. bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menempatkan penguasa pada posisi paling berat tanggung jawabnya. Maka, membiarkan ruang digital menjadi ladang subur bagi kerusakan mental dan akhlak anak adalah bentuk kelalaian kepemimpinan yang serius.
Kesimpulan
PP TUNAS mencerminkan pengakuan negara atas bahaya ruang digital, tetapi selama negara tetap berdiri di atas paradigma sekuler-kapitalistik, perlindungan itu akan selalu rapuh. Islam menawarkan solusi hakiki melalui sistem Khil4fah yang menjadikan negara sebagai penjaga akidah, akal, dan masa depan generasi.
Melindungi anak bukan sekadar soal regulasi, melainkan soal visi peradaban. Hanya sistem Islam yang mampu memastikan teknologi menjadi sarana kemaslahatan, bukan alat penghancuran generasi. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]











