Tunjangan Dewan Selangit Rakyat Makin Terimpit
Surat PembacaFenomena ini tidak lain merupakan cermin dari sistem sekuler-kapitalis
Sistem yang memisahkan agama dari urusan kehidupan, hingga jabatan politik tak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan jalan pintas menuju kemewahan
_______________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Beberapa minggu belakangan, Indonesia kembali menunjukkan gambaran ironi yang suram. Di satu sisi, masyarakat kecil terpaksa berhemat dengan ketat karena harga beras, minyak goreng, dan sembako terus meningkat. Biaya transportasi dan listrik makin membebani, sedangkan gaji pekerja tetap stagnan.
Namun di pihak lain, informasi yang beredar dari Senayan membuat masyarakat terkejut. Para anggota dewan yang jumlahnya sekitar lima ratusan dilaporkan mendapatkan tunjangan perumahan yang mencapai puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Puan Maharani Ketua DPR bahkan menyatakan bahwa besaran tunjangan rumah senilai Rp50 juta telah melalui analisis. Ditambah lagi dengan fasilitas lainnya: tunjangan transportasi Rp7 juta dan tunjangan beras Rp12 juta setiap bulan. (Tempo.co, 19-08-2025)
Jika dijumlahkan, total penerimaan anggota dewan bisa mencapai Rp69–91 juta setiap bulan, bahkan tanpa dipotong pajak. ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat dalam lima tahun masa jabatan negara berpotensi menggelontorkan Rp1,74 triliun hanya untuk tunjangan rumah para legislator.
Angka sebesar ini sebetulnya bisa dialokasikan untuk membantu jutaan rakyat miskin melalui subsidi kebutuhan pokok. Sementara, Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) menilai kebijakan ini justru melahirkan jurang kesenjangan baru antara elite politik dengan rakyat yang seharusnya mereka wakili.
Kapitalisme Menyuburkan Ketidakadilan Sosial
Di tengah tekanan hidup yang makin berat, kucuran tunjangan fantastis bagi pejabat jelas menegaskan wajah kebijakan yang zalim—minim empati, penuh hedonisme. Saat rakyat berhemat demi bertahan hidup, wakilnya justru menumpuk kenyamanan dengan fasilitas mewah.
Fenomena ini tidak lain merupakan cermin dari sistem sekuler-kapitalis. Sistem yang memisahkan agama dari urusan kehidupan, hingga jabatan politik tak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan jalan pintas menuju kemewahan. Tak heran, banyak pejabat tak merasa bersalah menghabiskan uang rakyat di tengah penderitaan masyarakat.
Padahal Allah Swt. dengan tegas berfirman dalam QS. An-Nisa: 58: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."
Dari ayat tersebut menyatakan bahwa setiap amanah kepemimpinan harus dijalankan dengan adil dan penuh tanggung jawab. Hadis Rasulullah saw. bersabda: “Setiap pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Muslim)
Ulama terkemuka, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Syakhshiyah Islamiyah volume II, menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kepribadian Islam: cara berpikir dan sikap yang berlandaskan ketakwaan, sifat lembut terhadap masyarakat, dan keberanian dalam menegakkan keadilan.
Solusi Islam untuk Menutup Jurang Kesenjangan
Dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa gaji atau tunjangan pejabat boleh diambil dari Baitulmal. Namun, hanya sebatas kompensasi yang layak serta cukup untuk menjalankan amanah, bukan untuk bermewah-mewahan.
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang kami angkat untuk suatu pekerjaan, lalu kami beri gaji, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah ghulul (pengkhianatan).” Hadis ini mengingatkan setiap tambahan berlebihan dari hak seharusnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik.
Artinya, pejabat hanya berhak menerima gaji yang layak, bukan melimpah. Standar ini sudah diteladankan oleh Umar bin Khattab r.a.. Sang khalifah hanya mengambil secukupnya dari Baitulmal untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, tidak lebih.
Demikian gambaran kepemimpinan yang ditawarkan dalam Islam: sederhana, penuh tanggung jawab, serta menolak segala bentuk kesenjangan sosial. Singkatnya pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang harus dilayani sebagaimana kondisi saat ini yang ironi dengan kondisi islami. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]
Nafisusilmi