Featured Post

Recommended

UU PKDRT Solutifkah?

Penyebab utama maraknya KDRT hingga kekerasan remaja adalah sistem yang berkuasa hari ini yaitu sekularisme ______________________________ P...

Alt Title
UU PKDRT Solutifkah?

UU PKDRT Solutifkah?



Penyebab utama maraknya KDRT hingga kekerasan remaja adalah

sistem yang berkuasa hari ini yaitu sekularisme


______________________________


Penulis Windih Silanggiri

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Indonesia tidak pernah sepi dengan berita kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tercatat di tahun ini sebanyak 1.146 perkara pada Januari dan terus mengalami peningkatan bertahap hingga mencapai 1.316 perkara pada bulan Mei. Pada Juli kasus meningkat tajam yaitu 1.395 perkara. Sedangkan tanggal 1-4 September 2025 sudah tercatat sebanyak 104 kasus KDRT. (goodstats.id, 14-09-2025)


KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi mencakup kekerasan psikis dan seksual. KDRT juga bukan hanya terjadi pada pasangan suami istri, melainkan bisa terjadi pada anak oleh anggota keluarga lain. Tentu motifnya bermacam-macam. 


Salah satu contoh kasus KDRT pada pasangan suami istri yang berujung pada pembunuhan, terjadi di Sumbermanjing Wetan (Sumawe), Kabupaten Malang. Sebelum pembunuhan, ada cekcok antara suami istri. Sampai akhirnya suami tega menganiaya dan membakar istrinya. (beritasatu.com, 16-10-2025)


Sedangkan yang terjadi pada anak oleh ayahnya sendiri, telah terjadi di Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Sang ayah yang berusia 42 tahun tega melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya sendiri yang masih berusia 15 tahun. Pelaku telah melakukan tindakan asusila sejak tahun 2022 sebanyak 30 kali. (kompas.com, 18-10-2025)


Tidak jarang kasus KDRT berujung pada perceraian sehingga berakibat pada rusaknya mental anak. Jika sejak kecil anak disuguhi dengan adegan kekerasan, tidak heran jika kelak dia beranjak remaja, sikapnya tidak akan jauh-jauh dari apa yang pernah mereka alami. Seperti yang terjadi di Pacitan, Jawa Timur. Seorang remaja usia 16 tahun tega membacok nenek angkatnya lantaran sakit hati karena dibilang cucu pungut. 


Kasus kekerasan seksual yang berujung pembunuhan juga terjadi pada anak perempuan usia 11 tahun oleh seorang remaja usia 16 tahun. Kejadian ini terjadi di Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Pelaku mengaku telah melakukan perbuatan keji itu disebabkan sakit hati ditagih utang oleh ibu korban.


Semakin banyaknya kasus KDRT akan menambah daftar panjang permasalahan negeri ini yang harus segera diselesaikan. Pertanyaannya, mengapa kasus ini belum juga selesai? Sementara jumlah kasus makin hari makin banyak dan beragam. 


Sistem Kapitalis Meruntuhkan Ketahanan Keluarga


Rusaknya tatanan keluarga hari ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena keluarga adalah lingkup terkecil dalam sebuah negara yang memiliki peran vital, yaitu mencetak generasi. Jika lingkup terkecil sudah rusak, maka rusaklah sebuah negara. 


Penyebab utama maraknya KDRT hingga kekerasan remaja adalah karena sistem yang berkuasa hari ini, yaitu sistem sekularisme. Sebuah sistem kehidupan yang memandang bahwa pengaturan kehidupan manusia tidak boleh bersandarkan pada agama. Nilai-nilai agama tidak boleh ada dalam kehidupan umum termasuk dalam berumah tangga. Hal ini mengakibatkan keluarga kehilangan fondasi agama. 


Sistem pendidikan berbasis sekuler-liberal menumbuhkan kebebasan tanpa batas. Suami istri tidak memahamai tujuan, hakikat, dan ilmu berumah tangga. Minimnya kesiapan mental dan fondasi agama mengakibatkan emosi mudah tersulut saat ujian rumah tangga datang. Ditambah lagi tekanan ekonomi dan sosial yang mengikis ketakwaan individu dan masyarakat. 


Naluri setiap manusia pasti ingin hidup dalam kebahagiaan. Namun, jika makna bahagia hanya diartikan sebagai terwujudnya kesenangan duniawi, maka dari sinilah muncul masalah. Tekanan hidup yang semakin sulit, tidak jarang menjadi pemicu KDRT bahkan berujung pada perceraian. 


Di sisi lain, adanya UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tidak mampu menyelesaikan kasus KDRT. Kata "anak" dalam undang-undang, tidak memiliki definisi yang seharusnya. Menurut undang-undang dikatakan anak jika masih berusia di bawah 18 tahun. Inilah yang dijadikan senjata oleh remaja untuk melancarkan aksinya. 


Inilah bukti nyata jika aturan dibuat oleh manusia. Banyak kekurangan yang muncul sehingga menyebabkan masalah tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. Alih-alih menyelesaikan, mencegah pun juga tak mampu. Jika dicermati, menyelesaikan kasus KDRT tidak bisa hanya memberi sanksi bagi pelaku karena kasus muncul dipicu oleh aspek yang lain sehingga perlu solusi sistemik bukan solusi parsial. 


Islam Membentuk Ketahanan Keluarga


Islam adalah agama yang sempurna. Bukan hanya mengatur ibadah spiritual, melainkan memiliki seperangkat aturan untuk mencegah dan menyelesaikan masalah manusia. Pendidikan Islam memiliki tujuan untuk membentuk kepribadian Islam yaitu memiliki cara berpikir Islam dan bertingkah laku Islam sehingga akan lahir manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.


Pasangan suami istri akan menjadikan iman dan takwa sebagai pondasi dalam berumah tangga. Mereka tidak akan mudah mencari jalan pintas ketika menemui masalah. Jika terjadi goncangan dalam berumah tangga dan tidak mungkin mempertahankan pernikahan, Islam memiliki mekanisme dalam perceraian, bukan dengan kekerasan. 


Dalam Islam, hubungan suami istri bukan seperti atasan dan bawahan, bukan pula hanya sekadar hubungan seksual semata. Hubungan suami istri layaknya seperti sahabat sejati yang dihiasi dengan kasih sayang. Dengan adanya hubungan ini, akan terwujud ketenangan dan ketenteraman. Oleh karena itu, Islam menjelaskan terkait hak dan kewajiban suami istri.


Sebagaimana firman Allah: “Dan bergaulah dengan mereka secara patut (makruf).” (TQS An-Nisa: 19)


Islam memerintahkan bahwa seorang istri wajib taat kepada suaminya selama tidak dalam kemaksiatan. Sedangkan suami, dia akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Peran suami istri ini akan dilakukan dengan penuh kasih sayang dan dorongan ketakwaan. Tidak boleh ada kepemimpinan ganda yang akhirnya akan menimbulkan perpecahan dalam rumah tangga. 


Salah satu penyebab adanya KDRT adalah tekanan ekonomi. Oleh karena itu, negara wajib hadir untuk mengatasi masalah ekonomi. Negara akan melakukan fungsinya sebagai raa'in, yaitu pengurus urusan rakyat. Negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar tiap individu rakyat, yaitu kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara layak. 


Negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya dengan gaji yang layak bagi laki-laki. Individu yang tidak memiliki modal, negara akan memberi modal tanpa harus dikembalikan. Negara akan memberikan pelatihan skill bagi yang tidak memiliki keahlian secara gratis tanpa batas waktu. Sedangkan bagi individu yang lemah secara fisik atau mental, negara akan memberi bantuan sesuai dengan kebutuhan. 


Selain itu, negara akan menjamin kebutuhan umum, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas. Semua ini akan bisa terwujud jika negara menerapkan sistem ekonomi Islam, yaitu membagi kepemilikan dalam tiga kategori.


Pertama, pos kepemilikan negara antara lain dari fai, ghanimah, kharaj, jizyah, khumus, 'usyur, ghulul, rikaz, dan yang sejenisnya. 

 

Kedua, pos kepemilikan umum antara lain dari minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan. 

 

Ketiga, pos zakat yang hanya boleh didistribusikan kepada delapan asnaf.


Negara juga menegakkan sanksi hukum yang tegas dan membuat efek jera. Fungsi sanksi di dalam Islam adalah sebagai penebus dosa kelak di akhirat dan memberi efek jera bagi masyarakat sehingga kemaksiatan dapat dicegah sedari awal. 


Demikian, bagaimana Islam mampu menyelesaikan permasalahan KDRT hingga ke akar-akarnya. bahkan aturan Islam mampu mencegah agar tidak timbul masalah dalam kehidupan manusia. Aturan ini tidak mungkin diterapkan secara parsial dalam sistem ekonomi dan pendidikan saja, tetapi butuh perubahan sistem secara keseluruhan. Sistem yang mampu menerapkan seluruh aturan Islam hanya sistem warisan Rasulullah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Darurat Kasus Kekerasan Islam sebagai Landasan

Darurat Kasus Kekerasan Islam sebagai Landasan



Islam adalah landasan yang tepat untuk mengatur kehidupan

Mampu membangun keluarga tangguh dengan kekuatan akidahnya

_____________


Penulis Yeni Purnama Sari, S.T

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Muslimah Peduli Generasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan individu. Tempat menanamkan nilai-nilai kebaikan bagi seluruh anggotanya. Saling menyayangi, berbagi, memotivasi, hingga memberikan solusi jika salah satu keluarganya dalam masalah.

 

Namun, terkadang keluarga pun bisa dianggap sebagai tempat yang mengerikan. Apabila yang didapati bukan kasih sayang, melainkan kekerasan. Motif kekerasan dalam keluarga pun beragam. Seperti KDRT, kekerasan seksual, kekerasan pada remaja. Bahkan bisa berakhir dengan hilangnya nyawa.


Sebagaimana yang terjadi di wilayah Sumbermanjing Wetan (Sumawe), Kabupaten Malang. Seorang suami berinisial FA (54) tega membunuh istrinya Ponimah (42). Sebelumnya, korban dianiaya kemudian jasadnya dibakar dan dikubur di kebun tebu milik warga Desa Sumberjo, Kecamatan Gedangan untuk menghilangkan jejak. Tidak lama setelah penemuan jasad, polisi menangkap pelaku dengan sejumlah barang bukti, seperti truk Mitsubishi warna kuning, balok kayu, handuk merah, dan pakaian korban. (Beritasatu.com, 16-10-2025)


Kasus serupa terjadi pada seorang anak MAA (6) yang dibunuh oleh ibu tirinya RN (30) di Rawapanjang, Bojonggede, Kabupaten Bogor. Berawal dari kekesalan pelaku terhadap korban yang tidak mau makan, akhirnya berujung penganiayaan secara berulang hingga meninggal dunia. Berdasarkan keterangan Kasat Reskrim Polres Metro Depok Kompol Made Gede Oka, tersangka mendapatkan hukuman selama 15 tahun penjara. (Kompas.com, 23-10-2025)


Berbagai kasus kekerasan yang terjadi, tidak semata-mata dibiarkan begitu saja. Pemerintah berupaya mengeluarkan regulasi, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak. Sayangnya, solusi tersebut belum efektif menghapus segala macam bentuk kekerasan, justru makin meningkat.

 

Lebih mirisnya, kekerasan pada remaja juga menjadi sorotan. Di Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara seorang remaja 16 tahun diduga mencabuli dan membunuh anak perempuan berusia 11 tahun hingga tewas. Sementara itu, seorang pelajar SMP di Grobogan meninggal setelah diduga menjadi korban perundungan. (Beritasatu.com, 15-10-2025)


Ketahanan Keluarga Hilang


Rangkaian kasus-kasus itu menjadi bukti ketahanan keluarga yang hilang. Pada dasarnya, hubungan antara anggota keluarga adalah hubungan yang penuh keharmonisan. Berbeda dengan kondisi saat ini yang makin menormalisasi tindak kekerasan, baik di dalam rumah tangga maupun di luar.


Semua terjadi bukanlah tanpa sebab. Keluarga hanya sebatas pelengkap saja, tidak lagi menjalankan perannya sesuai fitrah, yaitu tempat menanamkan nilai-nilai agama dengan membimbing keluarga meraih takwa. Akibatnya, seluruh anggota keluarga kehilangan arah hidup dan rapuh secara emosional, sehingga mudah melakukan kekerasan tanpa memikirkan dampaknya. Lebih bahayanya lagi bagi anak yang menyaksikannya, kemudian mempraktikkan tindakan serupa di luar rumah sebagai bentuk pelampiasan.


Kapitalisme Sekuler Penyebab Kekerasan


Di sisi lain, akibat paparan media yang mempertontonkan tindak kekerasan mendorong seseorang lebih mudah menirunya. Kurangnya kontrol masyarakat dalam menciptakan perlindungan dan keamanan, serta lemahnya sistem pendidikan dan hukum yang diberlakukan juga semakin memudahkan jalan seseorang melakukan tindak kekerasan. Artinya, regulasi yang ada selama ini belum mampu mengurangi dan mencegah kasus kekerasan, justru dari tahun ke tahun kasus serupa terus berulang.


Akar permasalahan utama adalah penerapan sistem kapitalis sekuler yang sengaja menyingkirkan nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan. Alhasil, kehidupan menjadi gersang karena lemahnya landasan keimanan, hanya fokus pada kesenangan duniawi. Apalagi pendidikan yang berbasis sekuler telah menggerus moral generasi dan menghilangkan rasa takut pada Illahi.

 

Bukannya mencetak generasi unggul justru melahirkan generasi mandul. Inilah yang terjadi jika kebebasan dalam bertindak dan bertingkah laku tidak dibatasi, maka berujung pada kerusakan tatanan kehidupan, mulai dari keretakan dalam keluarga, ketidakpeduliaan masyarakat, bahkan pengabaian oleh negara memberikan hukum tegas terhadap pelaku kekerasan.


Islam sebagai Landasan dan Solusi


Islam menawarkan solusi yang tuntas dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan, termasuk kekerasan. Islam adalah landasan yang tepat untuk mengatur kehidupan, seperti membangun keluarga tangguh dengan menguatkan akidahnya. Kemudian masyarakat bertakwa yang menjalankan amar makruf nahi mungkar, negara juga menetapkan kebijakan pendidikan yang bisa melahirkan manusia-manusia yang tidak hanya teguh keimanan dan ketakwaannya, tetapi memiliki kepribadian dan memahami pelaksanaan syariat Islam.


Tidak hanya itu, negara yang menerapkan sistem Islam akan senantiasa menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Melalui pemenuhan kebutuhan dasar, menyediakan sekolah, layanan kesehatan, dan fasilitas umum lainnya secara gratis dan berkualitas.

 

Selain itu, negara juga membatasi media penayangan yang berpotensi mengajak kemaksiatan. Negara akan bertanggung jawab memberikan rasa aman dan perlindungan dengan menerapkan sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar syariat, berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir) bagi pelaku kejahatan.


Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Khatimah


Demikianlah, hanya Islam yang mampu menciptakan rasa aman dan adil bagi seluruh rakyat dari segala bentuk kekerasan, baik KDRT, kekerasan seksual, maupun kekerasan pada remaja. Oleh karena itu, jika tidak ingin masalah kekerasan terus berulang, hanya dengan kembali menerapkan sistem Islam secara kafah dalam institusi Khil4fah. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Fenomena Fatherless Ketika Peran Ayah Hanya Pencari Nafkah

Fenomena Fatherless Ketika Peran Ayah Hanya Pencari Nafkah



Di pundak seorang ayah ada peran mulia yang memberikan pengaruh besar bagi masa depan anak-anaknya

Sayangnya, peran tersebut tergerus pemahaman menyesatkan yang membuat peran ayah tak berfungsi sebagaimana mestinya

_________________________


Penulis Ummu Fadiya

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sosok seorang ayah merupakan pribadi ideal bagi anaknya. Di matanya, seseorang yang disebut ayah memberikan sesuatu yang berharga dalam kehidupannya. Semua itu menjadi cerita indah yang tak akan pernah hilang selamanya.


Sayangnya, tidak semua anak bisa merasakan hal yang sama. Sebaliknya, sebagian besar anak justru kehilangan momen indah dan berharga bersama ayahnya. Kondisi yang demikian membuat anak tak bisa merasakan kasih sayang dari seorang ayah sebagai sosok yang seharusnya mendampingi, melindungi, dan menjaganya.

 

Data Anak yang Mengalami Fatherless


Fenomena di atas dinamakan sebagai fatherless, yaitu sebuah kondisi ketika anak tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran dan pengasuhan seorang ayah. Pembahasan tersebut mungkin juga masih asing di telinga para orang tua. Parahnya, hal itu ternyata dialami oleh belasan juta anak Indonesia. Fakta tersebut jelas mengejutkan banyak pihak. 


Mengutip data yang disampaikan oleh Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas berdasarkan analisis dari Tim Jurnalisme Data Harian Kompas. Ternyata 15,9 juta anak Indonesia tidak didampingi sosok seorang ayah di masa pertumbuhannya. Angka tadi diambil dari data Mikro Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) BPS pada Maret 2024. 


Data di atas menyumbang 20,1 persen dari jumlah anak Indonesia yang mencapai 79, 4 juta pada usia kurang dari 18 tahun mengalami  fatherless. Artinya, satu dari lima anak yang ada ternyata tidak merasakan kehadiran seorang ayah dalam kehidupannya. (Radio Idola Semarang, 13-10-2025)


Dampak dari fatherless yang kini mengancam anak bangsa tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Pasalnya, mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa yang akan meneruskan cita-cita dan perjuangan mulia. Namun, ketika anak-anak tersebut bermasalah, akankah mereka sanggup memikul beban berat yang diamanahkan kepadanya? 


Peran Ayah: Hanya Pencari Rupiah


Bicara fenomena fatherless, memang tidak bisa dilepaskan dari sosok seorang laki-laki yang disebut ayah. Sebutan itu menjadi sebuah tanggung jawab yang tidak mudah karena seorang ayah identik dengan tugas utamanya sebagai pencari nafkah. Tanggung jawab ini membuat para ayah rela bekerja siang malam tanpa kenal lelah untuk mendulang rupiah. Di sini, seorang ayah dikatakan hebat dan ideal ketika bisa memberikan nafkah yang melimpah.


Pemahaman tersebut muncul karena mereka menganggap bahwa tugas seorang ayah tentang mencari uang. Itu artinya, peran ayah hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan finansial. Sedangkan untuk hal-hal yang berhubungan dengan masalah anak, dirinya tidak perlu ikut memikirkan.


Pemahaman yang demikian membuat peran ayah dikebiri secara tidak sadar. Pasalnya, selama ini tugas mendidik, mendampingi, dan mengasuh anak selalu dibebankan kepada para ibu. Padahal anak merupakan tanggung jawab keduanya sebagai orang tua. 


Sama-Sama Menjadi Korban


Ketidakhadiran seorang ayah dalam mendampingi anak-anaknya tentu bukan salahnya semata. Kesibukannya dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya memaksanya untuk absen dalam peran krusialnya. Alhasil, sosok teladan sang kepala keluarga tak bisa diberikan dengan baik kepada buah hatinya.  


Kondisi yang demikian membuat keduanya dalam posisi sebagai korban. Dari sisi anak, mereka mengalami fatherless yang membuatnya kehilangan sosok seorang pelindung sekaligus pemberi keteladanan. Sedangkan dari sisi sang ayah, dirinya kehilangan momen kebersamaan masa pendidikan dini sang buah hati yang tak mungkin bisa terulang. 


Sosok Tangguh yang Kian Rapuh


Peran seorang ayah yang sedemikian krusial sejatinya menunjukkan ketangguhan sebagai pemimpin keluarga. Di sini, dirinya tak hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lebih dari itu, sosok seorang ayah juga harus mampu mengarahkan istri dan anak-anaknya. Hal tersebut merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.


"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya" (HR. Bukhari)


Sayangnya, tanggung jawab tersebut tak bisa dilaksanakan secara utuh. Karena, sosok tangguh seorang ayah dibuat tak berdaya disebabkan terlalu banyak beban yang membuatnya mudah rapuh. Namun, sosok tangguh yang terlanjur disematkan kepadanya membuatnya pantang mengeluh. Alhasil, dirinya berusaha semangat dalam mencari nafkah meskipun harus bermandikan peluh.


Sosok Ideal di Sistem Liberal


Apa yang dialami oleh para ayah merupakan gambaran nyata kehidupan di kapitalisme liberal. Di sini, peran seorang ayah yang hebat digambarkan sebagai sosok pekerja keras yang mampu menghasilkan banyak uang. Penggambaran yang demikian menjadikannya sebagai figur ideal. Padahal hal itu merupakan tipuan yang menyesatkan pemikiran.


Pemikiran di atas menempatkan uang sebagai tolok ukur kebahagiaan. Hal itu menjadikan peran ayah sebagai pencari nafkah dimaknai sebagai mesin uang demi memenuhi semua kebutuhan. Alhasil, peran ayah tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya di ranah pendidikan dan pengasuhan.


Di pundak seorang ayah ada peran mulia yang memberikan pengaruh besar bagi masa depan anak-anaknya. Sayangnya, peran tersebut tergerus pemahaman menyesatkan yang membuat peran ayah tak berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak heran ketika banyak anak yang mengalami fatherless. Padahal secara fisik, sosok sang ayah ada di hadapannya.


Sosok Ayah dalam Islam


Kehadiran sosok ayah dalam mendampingi putra-putrinya merupakan hal krusial di dalam Islam. Pasalnya, seorang ayah ternyata memiliki kewajiban yang sama sebagaimana seorang ibu. Kewajiban tersebut telah tercantum dalam surah Lukman ayat 13 yang artinya:


”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".


Ayat di atas menjadi bukti kehadiran sosok seorang ayah yang memberikan pemahaman akidah kepada putranya. Artinya, peran ayah juga berlaku di dalam pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian, kehadiran seorang ayah mutlak dibutuhkan untuk ikut andil dalam mencetak generasi muda yang bertakwa. 


Islam Mendukung Peran Ayah


Namun, peran ayah yang demikian tidak akan bisa maksimal tanpa sistem pendukung yang menopangnya. Di sinilah, Islam hadir untuk memberikan dukungan penuh kepada para ayah agar mereka bisa keluar dari masalah yang menimpanya.

 

Dalam Islam, para ayah akan diberi lapangan kerja yang layak dan upah yang memadai agar kebutuhan seluruh keluarga tercukupi. Begitu juga ketika ada yang ingin memiliki usaha tapi tak punya modal. Negara akan memberikan modal melalui kas Baitulmal. Dengan begitu, perannya sebagai pencari nafkah dan pendidik bagi anak-anaknya bisa maksimal.  


Namun, untuk mewujudkan hal di atas bukanlah perkara yang mudah karena dibutuhkan sebuah negara yang menerapkan aturan Islam. Hanya dengan penerapan Islam, peran ayah bisa berjalan di semua aspek baik mencari nafkah maupun dalam mendidik sang penerus perjuangan. Dengan begitu, tak akan ada lagi kasus fatherless di dalam keluarga kaum muslim. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

BLT dan Magang Nasional: Solusi atau Ilusi

BLT dan Magang Nasional: Solusi atau Ilusi



Selama kapitalisme masih merajai suatu negara

kemiskinan akan terus berputar seperti lingkaran yang tidak berujung

______________________________


Penulis Aksarana Citra 

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Demi mengurangi angka kemiskinan, pemerintah memberikan stimulus ekonomi berupa BLT Kesra dan Magang Nasional. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah stimulus ini akan menjadi solusi demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang stagnan akhir-akhir ini? atau harapan pertumbuhan ekonomi yang masif hanya ilusi semata?


Kabar terbaru pemerintah akan meluncurkan BLT Kesra (Bantuan Langsung Tunai Kesejahteraan Rakyat) pada bulan Oktober 2025 dan masyarakat akan menerima bantuan sosial sebesar Rp900.000 untuk tiga bulan yang dibayarkan sekaligus. Kebijakan ini merupakan bagian dari kebijakan Stimulus Ekonomi Nasional yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat dan sebagai penompang perekonomian rumah tangga di tengah tekanan ekonomi global. (detik.com)


Dana yang dialokasikan sebesar Rp30 triliun dengan target penerimaan sebanyak 35.046.783 keluarga. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari empat anggota keluarga. Bantuan ini diperkirakan akan menjangkau lebih dari 140 juta warga. Stimulus ekonomi ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang asalnya 5,5% naik menjadi 5,67% atau 5,7% ucap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dana ini berasal dari relokasi APBN, hasil dari efisiensi, relaksasi anggaran. (Kompas.com, 19-10-2025)


Selain peluncuran BLT, program pemerintah selanjutnya melalui Kementerian Ketenagakerjaan membuka program Magang Nasional 2025. Cris Kuntadi menjelaskan program ini merupakan bagian dari Paket Ekonomi 8+4+5 2025 yang diluncurkan oleh Kemenko perekonomian atas arahan Presiden Prabowo Subianto da menyasar lulusan Diploma (D1-D4) dan Sarjana (S1) yang lulus maksimum 1 tahun terakhir.


Untuk peserta yang lolos akan memperoleh fasilitas berupa uang saku setara upah minimum dibayar pemerintah dan disalurkan langsung ke peserta magang melalui Bank Himbra. Hingga saat ini tercatat 451 perusahan yang mengajukan diri sebagai penyelenggara magang, 1300 posisi yang diajukan dan diharapakan 6000 calon pemagang bisa mengikuti program ini. (kemenker.go.id


Perekonomian dan lapangan kerja memang dua konsep yang saling berkaitan erat dan memengaruhi satu sama lain. Perekonomian yang sehat dapat menciptakan banyak lapangan kerja. Lapangan kerja yang memadai, pekerja yang produktif, serta konsumtif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Maka keduanya adalah fondasi dalam menentukan kesejahteraan suatu negara.


Ketika perekonomian negara tumbuh, maka perusahaan cenderung meningkatkan produksi dan ekspansi. Mereka membutuhkan SDM dan lapangan pekerjaan yang memadai dan memberikan pendapatan bagi masyarakat, lalu pendapatan itu dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa di masyarakat. Akhirnya, stimulus ekonomi ini merupakan solusi demi tercapainya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan memberantas kemiskinan serta untuk meningkatkan SDM dan kesempatan kerja.


Namun, apakah kebijakan ini mampu menuntaskan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia? Apakah bisa menjadi solusi bukan sekadar ilusi?


Kemiskinan 


Sudah kita ketahui bahwasanya kemiskinan di Indonesia sudah sangat sistematis dan mengakar. Ketimpangan sosial ekonomi di negara ini sudah sangat jauh. Perbedaannya diibaratkan seperti jurang pemisah suatu daratan saking besarnya ketimpangannya.


Jumlah rakyat miskin di negara ini sudah sangat besar data Bank Dunia menunjukkan 60,3% penduduk negara ini tergolong miskin pada tahun 2024. Itu berarti sudah lebih dari setengahnya penduduk Indonesia tergolong miskin. Lalu pemerintah memberikan stimulus BLT dan magang kerja sebagai program quick win, yaitu langkah cepat untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.


Namun, masyarakat tidak butuh stimulus yang bersifat sementara karena program ini bukan program baru. Hampir di setiap periode pemerintahan bantuan seperti ini ada, walaupun beda dalam penyebutannya. Sampai saat ini belum menjamin kesejahteraan dalam jangka panjang. 


Kemiskinan bukan suatu fenomena yang sedang viral dan terlupakan seiring bergantinya hari, realitasnya kemiskinan di negara ini merupakan suatu permasalahan yang sangat besar dan susah untuk dihilangkan karena sistem yang menciptakannya. Kemiskinan ini juga tidak akan teratasi dengan solusi tambal sulam semacam BLT dan magang kerja atau program sejenisnya.


Malah yang ada pemerintah hanya menghambur-hamburkan saja uang negara. Jadi, stimulus seperti ini bukan solusi demi tercapainya pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya ilusi semata karena kemiskinan di negara ini bukan suatu pilihan yang disengaja, masyarakat dimiskinkan oleh sistem.


Kapitalisme 


Sistem yang tidak berpihak kepada seluruh masyarakat. Masyarakat yang bermodal makin diuntungkan sedangkan masyarakat di kalangan bawah hanya sebagai pelayan bagi kepentingan mereka. 


Kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat ini karena buah dari kapitalisme di mana sistem ini menempatkan modal uang aset kepemilikan pribadi sebagai pusat kekuatan utamanya. Kapitalisme juga memberikan kebebasan kepada semua manusia untuk berusaha dan bersaing.


Ditambah lagi dengan sekularisme di mana usaha dan persaingannya menjadi tidak sehat karena memisahkan agama dengan kehidupan. Realitasnya sistem ini lebih memihak kepada pemilik modal besar dan cenderung keras kepada rakyat kecil.


Hubungan kapitalisme dan kemiskinan serta bantuan stimulus ekonomi sangat erat kaitannya dan bersifat struktural. Akar masalah ketimpangan adalah kapitalisme karena kemiskinan bukan akibat dari malas kerja, tetapi dari struktur ekonomi yang tidak adil. Di mana peluang dan akses ekonomi tidak merata. Kekayaan hanya terkonsentrasi pada kalangan atas saja, rakyat hanya sebagai pekerja murah SDA dan ekonomi nasional dikendalikan oleh para oligarki.


Pemberian stimulus ekonomi pada dasarnya hanya respons jangka pendek, hanya merendam gejolak sosial karena ketimpangan yang besar meningkatkan daya beli masyarakat bersifat sementara dan memberi kesan pencitraan bahwasanya pemerintah hadir membantu rakyat.


Namun, secara struktural tidak menyentuh akar permasalahan karena tidak akan mengubah sistem ekonomi yang timpang ini, tidak memberikan kemandirian ekonomi bagi rakyat dalam jangka panjang serta bantuan seperti ini hanya sebagai alat legitimasi politik saja, dan rakyat akhirnya tetap pasif dan membutuhkan bantuan. Di mana bantuan seperti ini hanya sebagai ilusi terciptanya pertumbuhan ekonomi masyarakat.


Pandangan Islam 


Islam menolak keras sistem kapitalis karena tidak berpihak kepada seluruh masyarakat karena negara atau pemerintah seharusnya menjadi pelindung rakyat bukan pelindung oligarki. Harta tidak akan diam di satu atau dua orang saja, harta dan kekayaan akan terdistribusi ke seluruh masyarakat. Kapitalisme hanya buah dari pemikiran manusia yang sesat. Berbeda dengan Islam, sistem ekonomi Islam bersumber dari wahyu Allah Swt. dan pengelolaan ekonomi negara sesuai syariat. 


Islam memandang kemiskinan bukan suatu aib, tetapi menjadi tanggung jawab bagi negara agar kemiskinan segera terhapuskan. Islam tidak akan menggunakan stimulasi ekonomi seperti BLT atau pun magang nasional yang bersifat sementara. Islam menawarkan solusi sistemik dalam tiga lapisan, yakni:


• Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan umum, seperti air, tambang, energi tidak boleh dikuasai swasta atau oligarki seperti kapitalis. 


• Pendistribusian kekayaan seperti zakat, infak, sedekah, wakaf yang terkumpul di Baitulmal didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan dan Islam pun melarang riba serta monopoli penimbunan kekayaan. 


• Khil4fah bertanggung jawab penuh dalam menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok dan menjamin kesejahteraan rakyat. Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan semua itu dijamin oleh negara dan berlangsung selamanya bukan sementara.


Khatimah


Bantuan BLT atau magang kerja hanyalah sekadar tambal sulam yang bersifat sementara tidak selamanya. Masyarakat makin terjerat oleh sistem yang tidak adil. Selama kapitalisme masih merajai suatu negara, kemiskinan akan terus berputar seperti lingkaran yang tidak berujung.


Islam menawarkan solusi dalam memberantas kemiskinan karena kemiskinan bukan sekadar nasib atau malas bekerja, tetapi akibat dari sistem yang tidak adil. Kapitalis memberikan bantuan sementara sedangkan Islam membangun keadilan struktural dan menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya.


Maka solusi hakiki bukan sekadar tambal sulam luka rakyat dengan stimulasi ekonomi, tetapi harus mengganti sistem dengan sistem Islam yang nyatanya telah menyejahterakan dan membawa kejayaan Islam selama lebih dari 1300 tahun lamanya. Wallahualam bissawab.

Solusi Krisis Pendidikan Adab dan Moral

Solusi Krisis Pendidikan Adab dan Moral



Itu semua akibat dari sistem pendidikan yang saat ini berjalan

yaitu sistem pendidikan yang berbasis sekuler

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Drama pendidikan di Indonesia seakan tak pernah usai dan semakin mengkhawatirkan. Krisis karakter dan moral bukan hanya datang dari anak-anak didik saja, tetapi dari para pendidik juga. Sebagai contoh kasus bullying baik di kalangan sekolah formal, pesantren hingga dunia kampus. Kasus paling mutakhir akhir-akhir ini adalah kepala sekolah di Banten yang dituntut mundur oleh ratusan siswanya, lantaran menampar siswa yang kepergok merokok. (InfoBandungKota.com, 15-10-2025)


Selain siswa, para pendidik pun tidak sedikit yang terseret arus krisis moral, mulai dari kekerasan, pelecehan, dan korupsi di dunia pendidikan. Di sisi lain, stasiun televisi Trans7 dinilai melecehkan ulama Pondok Pesantren Lirboyo dalam salah satu programnya yang menayangkan secara tendensius menggambarkan adab santri yang menghormati gurunya sebagai budaya feodal dan tak pantas. Padahal itu adalah bentuk penghormatan murid kepada guru, sesuai dengan adab agama Islam.


Akar Masalah 


Fakta di atas menunjukkan kepada kita bahwa sistem pendidikan hari ini sedang tidak baik-baik saja. Sistem pendidikan yang bukan lagi ke arah pembentukan moral, adab, dan spiritual, tetapi sekadar untuk mengejar nilai  dan bekal untuk mencari pekerjaan. Begitu pun para guru yang sudah mulai melenceng dari tujuan mulianya. Maka dari itu, masih banyak guru yang belum bisa menjadi suri teladan yang baik untuk anak didiknya.


Itu semua akibat dari sistem pendidikan yang saat ini berjalan yaitu sistem pendidikan yang berbasis sekuler.  Di mana agama dipisahkan dalam kehidupan sehingga anak-anak didik terhapus orientasi spiritual, adab dan moralnya, imbasnya mereka kehilangan arah dan makna kehidupan. Maka lahirlah, generasi yang boleh jadi pandai, tetapi tidak berakhlak, boleh jadi pintar tetapi tidak bermoral. Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya:

 

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an) maka sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit." (QS. Thaha [20]: 124)


Maka, jika dalam sistem kehidupan apalagi dalam dunia pendidikan sudah berpaling dari Al-Qur'an, yang terjadi adalah kebingungan, penyimpangan, dan kehancuran moral. 


Pendidikan dalam Dunia Islam


Dalam Islam, tujuan pendidikan tidak hanya sekadar transfer ilmu dan  mencetak generasi cerdas, akan tetapi mencetak insan yang berkepribadian Islam (syakhsiah Islamiah), yaitu membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang didasarkan pada akidah Islam. 


Allah Swt. mengutus Rasulullah saw. salah satunya adalah untuk mendidik umat manusia, dalam hal membacakan ayat-ayat-Nya, mengajarkan Al-Qur'an dan memahaminya, di mana dalam Islam akhlak mulia adalah poin yang penting. Oleh karena itu, ada pernyataan “adab sebelum ilmu”. Para ulama dahulu sangat menekankan pentingnya mendahulukan pembinaan  adab (akhlak) sebelum penyampaian ilmu. 


Adab atau akhlak adalah fondasi ilmu dan akidah Islam adalah hal pertama  dan utama pada anak didik sebagai asas seluruh ilmu. Sehingga segala perilaku mereka akan diarahkan agar terikat dengan hukum syarak dan segala aktivitasnya hanya mengharap rida Allah Swt.. Atas dasar itu, lahirlah generasi para ulama, yang cerdas sekaligus dipenuhi dengan keimanan dan ketakwaan. 


Terbukti dalam sejarah, pada masa kejayaan Islam selama ratusan tahun lamanya, pendidikan Islam berada dalam puncak keemasan, khususnya di masa Abbasiyah. Negara mampu membangun ratusan madrasah berkualitas, perpustakaan, dan riset secara  gratis dan terbuka untuk semua kalangan. Dari sanalah, pada abad ke-9 M lahirlah ilmuwan-ilmuwan besar di bidang matematika, kimia, astronomi, kedokteran, dan lain sebagainya. Belum lagi lahirnya para ulama terkemuka yang ahli di bidangnya. (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 10/279)


Inilah sistem pendidikan Islam yang mampu memadukan spiritualitas Islam dengan kemajuan sains dan peradaban. Namun itu semua terjadi tidak lepas dari peran negara. Karena salah satu kewajiban negara adalah menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis berasaskan akidah Islam dan syariat sebagai pilarnya. Negara harus menjadi pelindung ilmu, penjaga adab, dan penegak peradaban yang memuliakan manusia.


Akan tetapi, itu semua hanya ilusi belaka jika sistemnya masih kapitalisme sekuler. Maka dari itu, saatnya kita untuk bergerak, berjuang mengembalikan kepada sistem Islam yang diperankan oleh negara. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


Ummi Qyu

Tawuran: Luka Sosial di Tengah Generasi Emas

Tawuran: Luka Sosial di Tengah Generasi Emas




Tawuran remaja bukan semata masalah individu, 

tetapi cermin lemahnya pendidikan moral, perhatian keluarga, serta kontrol sosial masyarakat


_________________________


Penulis Azaera A.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Video tawuran antarkelompok remaja di Jalan Korin, Bogor, Jawa Barat, viral di media sosial. Dalam video tersebut, segerombolan remaja tampak membawa senjata tajam (sajam) dan menembakkan petasan ke arah lawannya.


Dalam rekaman yang beredar pada Sabtu (25-10-2025), para remaja itu terlihat mengacungkan sejumlah celurit. Kejadian tersebut diduga berlangsung sekitar pukul 02.20 WIB dini hari. (Detiknews.com, 25-10-2025)


Maraknya Tawuran 


Tawuran di kalangan remaja nyatanya tidak hanya terjadi kali ini. Melainkan sudah sering, bahkan sampai ada istilah warisan, musuh bebuyutan, dan lainnya. Pelakunya meliputi anak-anak sekolah hingga kelompok remaja yang tidak bertanggung jawab. Aksi ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, melainkan sudah beralih ke pinggiran-pinggiran kota, hingga pedesaan.


Meskipun aksi tawuran ini sudah biasa terjadi, tetapi aksi tersebut tetap tidak boleh dinormalisasi. Apalagi diberi ruang sebagai objek eksistensi diri. Apa yang dilakukan para remaja ini jelas-jelas merupakan hal yang bejat dan kejam. Bukan hanya membahayakan, bahkan sampai mengancam nyawa.


Lihatlah bagaimana mereka menggunakan berbagai jenis senjata tajam untuk melindungi diri. Alih-alih melindungi, senjata-senjata ini justru menjadi alat untuk menyakiti. Bayangkan saja, jika setiap anak membawa senjata tajam, mereka acung-acungkan lalu dilempar ke arah musuh. Sungguh sangat berbahaya dan mengerikan, nyawa manusia seakan tidak berharga dalam kondisi tersebut.


Penyebab Aksi Tawuran 


Terlepas dari kekejaman dan kengerian yang terjadi, kita harus memperhatikan juga faktor-faktor penyebab yang mendorong para remaja melakukan hal tersebut untuk mencari solusi dari permasalahan yang terjadi. Salah satu penyebab utamanya adalah krisis moral dan lemahnya pengendalian emosi sehingga remaja mudah terpancing untuk berbuat kekerasan.


Selain itu, lingkungan pergaulan juga berpengaruh besar, terutama tekanan dari teman sebaya dan budaya solidaritas kelompok yang salah arah. Kurangnya perhatian serta bimbingan dari keluarga juga membuat remaja mencari jati diri di luar rumah tanpa arahan yang tepat. Ditambah lagi dengan lemahnya pembinaan karakter di sekolah dan pengaruh negatif media sosial turut memperparah keadaan.


Akar Masalah Tawuran


Tawuran remaja bukan semata masalah individu, tetapi cermin lemahnya pendidikan moral, perhatian keluarga, serta kontrol sosial masyarakat. Semua hal tersebut memiliki akar masalah yang sama, yakni budaya pergaulan yang menjurus ke arah liberal sekuler. Budaya yang senantiasa dipelihara dalam kapitalisme saat ini.


Budaya liberal atau kebebasan yang dicanangkan dalam kapitalisme, membuat masyarakat dalam hal ini para remaja menganggap bahwa negara akan selalu menjamin kebebasan individu untuk mengekspresikan keinginan dalam diri mereka. Termasuk ekspresi atas emosi dan kemarahan pada para lawan mereka.


Selain itu, prinsip sekuler memperparah kondisi yang ada. Sekuler atau pemisahan kehidupan dengan agama, membuat masyarakat, dalam hal ini remaja, merasa bebas melakukan apa pun tanpa adanya filter. Filter yang dimaksud berupa agama yang senantiasa mengatur batasan dalam setiap aktivitas hamba-Nya.


Kedua prinsip di atas jelas adalah bencana bagi umat sebab istilah kebebasan yang dimaksud bersifat umum, tidak memiliki nilai apa pun. Jika digunakan sebagai prinsip hidup akan menciptakan kebebasan yang kebablasan. Bukan kedamaian, justru kerusakan yang terjadi. Apalagi ketika ditambah dengan menihilkan agama sebagai pedoman hidup yang harusnya bisa diterapkan dalam kehidupan.


Tawuran dalam Kacamata Islam


Dalam pandangan Islam, tawuran terjadi karena lemahnya iman dan kurangnya penerapan nilai syariat dalam kehidupan. Solusinya bukan sekadar hukuman, tetapi pembinaan akhlak dan kepribadian Islam sejak dini. Pendidikan harus menanamkan ketakwaan, adab, serta tanggung jawab sosial agar remaja terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan.


Remaja dalam Islam adalah sosok yang sangat diharapkan membawa perubahan ke tengah-tengah umat. Sebagaimana kisah para sahabat muda Rasulullah saw. ketika mereka berjuang untuk memahamkan umat tentang Islam. Semangat yang senantiasa berkobar akan membuat setiap musuh gentar.


Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda yang artinya: "Rabbmu kagum dengan pemuda yang tidak memiliki shobwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran)." (HR. Ahmad)


Melihat hadis di atas, para pemuda atau remaja memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya. Darinya kebangkitan umat akan terlaksana, yakni dengan diterapkannya syariat Islam dalam kehidupan. Adapun penerapan ini hanya bisa terlaksana dengan dibentuknya sistem pemerintahan Islam yang bernama Daulah Islamiah.


Daulah Islamiah inilah yang menyediakan landasan kuat untuk mencegah tawuran, yakni dengan mengatur pendidikan, keluarga, dan masyarakat berdasarkan hukum Allah. Negara akan mendorong kegiatan positif bagi remaja, menegakkan amar makruf nahi mungkar, memberikan sistem pendidikan terbaik serta menegakkan hukum yang adil bagi para pelaku kekerasan.


Sungguh dengan penerapan syariat secara menyeluruh, niscaya akan lahir generasi yang beriman, berakhlak, dan jauh dari perilaku tawuran. Penuh dengan semangat pembaharuan, berdakwah dan berkarya untuk kemanfaatan serta kebangkitan umat . Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

KDRT dan Kekerasan Remaja: Ancaman bagi Keluarga

KDRT dan Kekerasan Remaja: Ancaman bagi Keluarga




Penerapan syariat dalam keluarga untuk memperkuat struktur rumah tangga

Dengan penempatan peran suami sebagai qawwam (pemimpin) dan istri sebagai pengelola rumah tangga

______________________________

 

Penulis Ummu Nazba 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Muslimah Peduli Ummat 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta tindakan kekerasan yang melibatkan remaja kerap muncul di pemberitaan—dan frekuensinya tak kunjung berkurang.


Bentuk-bentuknya makin kejam; tak jarang menelan nyawa. Peristiwa-peristiwa yang semestinya jauh dari ruang keluarga justru semakin sering terjadi di lingkungan kita.


Contohnya, di Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, seorang suami membakar istrinya (dilaporkan oleh Okezonenews pada 15 Oktober 2025), mengakibatkan korban mengalami luka bakar pada wajah. Keesokan harinya, 16 Oktober 2025, Beritasatu.com memberitakan penemuan jenazah wanita yang terbakar di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang—dan pelakunya ternyata suami siri korban, FA (54) terhadap Ponirah (42).


Kejahatan rumah tangga yang sadis—istri dibunuh suami, suami dibunuh istri, anak yang menganiaya atau membunuh orang tua, hingga kekerasan terhadap kakek-nenek dan kerabat—semakin sering terjadi. Banyak insiden bermula dari pemicu yang tampak sepele, dan pelakunya tidak selalu orang dewasa; remaja pun kerap terlibat.


Berdasarkan laporan media, dari Januari hingga Juli 2025 tercatat 14.385 kasus kekerasan di Indonesia. Dalam dua minggu tercatat lonjakan lebih dari 2.000 kasus. Dari keseluruhan korban, anak-anak mencapai 62,5% dan perempuan 80,7%. Sementara itu, proporsi pelaku adalah 17,4% anak-anak dan 82,7% orang dewasa.


Akar Masalah 


Maraknya KDRT mencerminkan lemahnya ketahanan keluarga. Konflik rumah tangga sering dikelola secara emosional—dengan kekerasan sebagai jalan keluar. Kerapuhan keluarga juga berdampak pada kondisi psikologis remaja yang rentan menjadi tidak stabil dan mengekspresikan kemarahan melalui tindakan agresif.


Beberapa faktor utama yang mendorong tingginya angka KDRT dan kekerasan remaja antara lain:


Pengaruh kapitalisme sekuler yang mengikis nilai-nilai agama. Ketika aturan agama tidak lagi menjadi pengendali kehidupan keluarga, penyelesaian masalah cenderung mengandalkan hawa nafsu dan bukan nilai moral atau spiritual.


Pendidikan sekuler-liberal yang menekankan kebebasan individu. Sikap kebebasan yang berlebihan membuat remaja sulit diawasi dan kerap bertindak menurut keinginan sendiri, sehingga nilai empati pun terkikis.



Nilai materialistik yang menguasai pola pikir. Pergeseran orientasi menuju materi membuat banyak orang menilai segalanya dari sisi ekonomi—bahkan kebahagiaan—sehingga mengejar materi kadang ditempuh dengan cara yang salah.


Ketidakpedulian negara terhadap problem sosial. Meski pengesahan UU PKDRT mempertegas penegakan hukum, masalah-masalah struktural—seperti kondisi ekonomi yang sulit, maraknya pergaulan bebas, pemutusan hubungan kerja, dan pengaruh negatif media sosial—sering diabaikan. Karena akar masalah ini tidak ditangani, penegakan hukum saja belum cukup menurunkan angka kekerasan.


Solusi Islam


Menurut Islam, aturan-Ilahi mengatur semua aspek kehidupan dan menjadi pedoman yang menuntun kepada kebaikan dunia-akhirat. Beberapa solusi yang ditawarkan oleh kerangka Islam meliputi:


Pendidikan Islam yang membentuk kepribadian Islami (syaksiyah Islamiah). Pendidikan Islam menekankan fondasi akidah sebagai dasar cara pandang hidup sehingga individu akan bertindak sesuai ajaran Allah. Selain itu, pendidikan juga menyiapkan keterampilan dan pengetahuan praktis agar generasi muda mampu bekerja dan menjalankan peran keluarga secara benar. Penanaman akidah sejak dini bertujuan agar ilmu yang diperoleh juga diamalkan.


Penerapan syariat dalam keluarga untuk memperkuat struktur rumah tangga. Dengan penempatan peran suami sebagai qawwam (pemimpin) dan istri sebagai pengelola rumah tangga sesuai ketentuan syariat, hak dan kewajiban setiap pihak dijalankan secara jelas. Perlindungan dan pengasuhan anak juga dijamin sehingga potensi kekerasan sejak awal dapat dicegah.


Negara bertanggung jawab menjamin kesejahteraan rakyat. Karena kondisi ekonomi adalah salah satu pemicu kekerasan, sistem pemerintahan dalam Islam berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat—sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—serta membuka lapangan kerja. Pengelolaan kekayaan yang adil dan distribusi yang merata diharapkan mengurangi tekanan ekonomi yang memicu tindakan kekerasan.


Penerapan sanksi hukum Islam yang tegas. Hukum dalam Islam memuat sanksi yang berfungsi sebagai penebus dan pencegah. Penerapan hukuman yang adil dan tidak diskriminatif diharapkan memberi efek jera bagi pelaku kekerasan serta mencegah pihak lain melakukan tindakan serupa.


Penutup


Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh—dalam naungan pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip tersebut (Khil4fah Islamiah) kehidupan masyarakat akan lebih diridai Allah Swt. dan terhindar dari berbagai keburukan. Wallahualam bissawab.

BLT dan Program Magang Nasional Mampukah Menyolusi Kemiskinan dan Pengangguran?

BLT dan Program Magang Nasional Mampukah Menyolusi Kemiskinan dan Pengangguran?



Bantuan seperti BLT dan program magang bukan solusi mendasar seseorang

untuk mendapatkan hak hidup yang layak dan terpenuhinya kebutuhan mereka dan keluarganya

_________________________


Penulis Sinta Lestari 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kabarnya, Menko Perekonomian mengumumkan bahwa pemerintah telah menambah bantuan stimulus ekonomi berupa BLT sebesar Rp30 triliun untuk 35.046.783 KPM (Keluarga Penerima Manfaat) pada bulan Oktober, November, dan Desember 2025.


Tidak hanya itu, pemerintah juga akan mengadakan peluncuran program pemagangan nasional untuk 6000 calon pemagang di 1.300 posisi yang akan diajukan. Program ini dimulai pada 15 Oktober-Desember 2025. Program ini menarget lulusan Diploma (D1-D3) dan lulusan S1 yang lulusan maksimum 1 tahun terakhir. (Antara.com, 17-10-2025)


Solusi Tambal Sulam Ala Kapitalis


Menurut Sekjen Kemenaker, program ini bertujuan untuk mengenalkan dunia kerja, mampu meningkatkan kompetensi pemagang terkait bidang keilmuannya, dan memberikan pengalaman kerja bagi pemagang sehingga memiliki peluang untuk bekerja. (Pernyataan Sekjen Kemenaker Cris Kuntadi, dalam Siaran Pers Biro Humas di Jakarta, Minggu (5-10-2025)


Menariknya peserta magang yang lulus program tersebut akan memperoleh fasilitas uang saku (setara dengan upah minimum) yang dibayarkan pemerintah. Tidak hanya itu peserta magang pun akan mendapatkan jaminan dari pemerintah diantaranya, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JM).


Terbukti program ini telah diikuti lebih dari 400 perusahaan dengan harapan bisa memberikan peluang usaha bagi rakyat yang berstatus berpendidikan tinggi. Juga bagian dari upaya pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya pengangguran.


Namun, alih-alih membuka lapangan pekerjaan dengan memaksimalkan lulusan perguruan tinggi untuk masuk dalam industri dunia kerja. Solusi ini justru tidak menyentuh akar permasalahan sesungguhnya dari apa yang ditimbulkan sistem kapitalisme hari ini. Program ini hanya sekedar solusi praktis yang tidak menyentuh akar permasalahan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.


Stimulus ekonomi seperti bantuan pemerintah berupa BLT dan magang nasional merupakan bagian dari program percepatan (quick wins) yang itu sarat akan kepentingan dan asas manfaat di dalamnya. Kita bisa melihat seperti fenomena job hugging  yang terjadi dikalangan pekerja bukan sebab kurangnya bantuan pemerintah.


Namun, lebih pada kebijakan politik yang mempengaruhi sistem kerja dan penyediaan lapangan pekerjaan yang tidak mampu memberikan upah yang layak untuk para pekerja. Bantuan seperti BLT dan program magang bukan solusi mendasar seseorang untuk mendapatkan hak hidup yang layak dan terpenuhinya kebutuhan mereka dan keluarganya. 


Jadi, problem mendasarnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang secara ekonomi kita mengalami yang namanya penguasaan di sektor-sektor rill industri dan perekonomian yang bebas tanpa batas di tangan para oligarki dan memiliki modal yang banyak menguasai sumber daya kita. Sedang negara hadir hanya sebatas sales penyedia pekerja yang memberikan upah minim sesuai dengan kebebasan para pemilik modal yang mengatur mekanisme sistem upah dan pasar.


Jelas ini merupakan budaya ala kapitalisme di mana tabiat dari sistem ini mengeruk manfaat sebanyak-banyaknya demi kepentingan segelintir orang. Tanpa mau memahami kondisi pekerja apalagi berupaya memberikan kesejahteraan secara merata bagi pekerja.


Hal ini mungkin saja wajar bagi para pengusaha yang hanya mementingkan keuntungan, dan tak wajar jika sikap pemerintah abai dan cenderung memuluskan kepentingan pribadi pemilik modal dengan meregulasi pekerja. Bukan sebagai penjamin lapangan pekerjaan. Solusi pemerintah hari ini hanya bersifat pragmatis-praktis. 


Solusi Kemiskinan dan Pengangguran 


Problematika kemiskinan dan penganggaran membutuhkan paradigma politik dan sistem berasakan syariat Islam. Upaya yang ditempuh bukan hanya sekadar solusi praktis dan percepatan. Namun, mampu menghadirkan rasa adil dan berprikemanusiaan.


Sebagai manusia yang memiliki hajat hidup dan kebutuhan pemerintah tidak bisa mengambil langkah-langkah pragmatis. Semua pertimbangan terhadap hak-hak pekerja, mekanisme kerja, dan mekanisme upah haruslah terperinci sesuai dengan kelayakan hingga terkategori pekerja dipekerjakan dengan tujuan mensejahterakan. Bukan sekadar dimanfaatkan tenaga dan skillnya dengan memberi kebijakan politik, seperti upah ala kadarnya. 


Ini merupakan aspek politik, mengatur urusan umat dengan memosisikan negara sebagai raain (pelayan umat) di antara kewajibannya adalah menjamin kebutuhan dasar rakyatnya per individu. 


Dalam Islam, sistem upah tidak hanya dilakukan peninjauan terhadap satu orang pekerja. Namun, ditinjau dari berapa anggota keluarga yang hidup bersama pekerja. Upah dibayarkan atas kesepakatan antar pekerja dan perusahaan. Tidak memaksa atau menggunakan kebijakan politik untuk menyelamatkan kepentingan pribadi. 


Pemerintah hadir sebagai penjamin kebutuhan rakyatnya bukan sebagai regulator yang memfasilitasi pemilik modal dan diserahkan secara bebas  untuk mengelola sumber daya alam negerinya. Dalam Islam, sistem kepemilikan terbagi menjadi tiga.


Pertama, kepemilikan negara di mana negara berhak mengelola sumber daya alam dan dirasa manfaatnya untuk seluruh rakyatnya. Di sinilah peran negara sebagai distributor untuk memastikan bahwa apa yang negara kelola mampu dirasakan manfaatnya merata adil untuk kesejahteraan rakyatnya. Alhasil, terbentuk tata kelola kelayakan alam yang itu berdampak bukan hanya ke segelintir orang.


Namun mampu memberikan rasa adil, aman, sejahtera bagi rakyatnya. Roda perekonomian pun berjalan lancar tanpa ada penimbunan, berlomba lomba mencari pekerjaan, bahkan bagi seorang ibu fokus mendidik anak-anaknya, sebab sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya tanpa harus bekerja banting tulang membantu ekonomi keluarga.


Kedua, kepemilikan umum, seperti jalan raya, jalan tol, pelabuhan fasilitas yang dibangun negara untuk memudahkan aktivitas dan jalur perdagangan ekonomi dalam negeri yang itu dibangun dengan cuma-cuma, tanpa rakyat harus membayar fasilitas tersebut. Kepemilikan umum tidak boleh dikuasai swasta atau segelintir orang. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw., "Manusia berserikat pada tiga hal, air, api dan padang rumput. Dari ketiganya tidak boleh dimonopoli." (HR. Abu Dawud dan Ahmad) 


Ketiga, kepemilikan individu. Aspek hak memiliki tempat tinggal, pekerjaan yang itu harus terpenuhi bagi masing-masing individu. Negara tidak bisa mengambilnya atau menariknya dari rakyatnya. Karena itu hak mutlak bagi tiap individu. Justru negara harus hadir untuk bersinergi mewujudkannya.


Dalam sistem ekonomi Islam, negara memaksimalkan fungsi lahan, seperti pertanian, peternakan dan industri untuk senantiasa dikelola, tidak ada tanah kosong yang tidak produktif dalam Islam, setiap sumber daya harus dikelola negara atau individu, agar terjaga produktifitas dan  kelestariannya. 


Inilah sistem ekonomi Islam yang menerapkan nilai-nilai kebaikan memecah akar permasalahan mendasar kemiskinan dan pengangguran. Bukan hanya bagi segelintir orang tapi merata dan bisa dirasakan keadilannya bagi seluruh elemen masyarakat. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]

Kalau Ada 9 Nyawa (Kamu Mau Apa?)

Kalau Ada 9 Nyawa (Kamu Mau Apa?)




Kalau ada 9 nyawa

aku akan tetap mengkaji Islam secara menyeluruh (kafah) dan menyebarkannya

______________________________


Penulis Siska Juliana 

Tim Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, REPORTASE - Sudah memasuki bulan Oktober, bahkan sudah di penghujung bulannya. Di bulan ini, ada kejadian besar yang pernah terjadi, yaitu "Sumpah Pemuda". Apa yang dimaksud Sumpah Pemuda?


Untuk menjawab rasa penasaran itu, Komunitas Smart With Islam mengadakan kajian yang bertajuk “Kalau Ada 9 Nyawa (Kamu Mau Apa?)" pada Ahad, 26 Oktober 2025. Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan pelajar dan mahasiswa area Kota Bandung, Jawa Barat. 


Para peserta antusias mengikuti acara ini dari awal hingga akhir. Adanya sesi tanya jawab dan silah ukhuwah bersama peserta menambah pemahaman para remaja muslimah yang menghadiri acara ini. 


Pemateri menjelaskan makna Sumpah Pemuda yaitu ikrar yang diucapkan pada Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (kini Jakarta). Peristiwa ini melahirkan tiga poin penting: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia, sebagai wujud persatuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia. 


Keputusan kongres ini menjadi tonggak sejarah yang menegaskan cita-cita bangsa dan mempersatukan pemuda dari berbagai daerah dengan semangat kebangsaan. Lagu "Indonesia Raya" juga diperdengarkan untuk pertama kalinya dan kemudian ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.


Namun, di tengah suasana Sumpah Pemuda ada tren yang sungguh miris terjadi di sosial media. Ada kesenjangan antara pemuda di zaman dulu dengan remaja saat ini. Banyak remaja yang sibuk ikut tren dan berharap validasi dari orang lain. 


Tren yang sedang viral sekarang misalnya hijab crop top, L96T syariat, remaja sibuk nge-bucin, tidak ada adab ke guru, gampang terprovokasi berita di medsos.


Tren viral yang sering kita temukan disebabkan oleh adanya algoritma. Algoritma adalah sistem kompleks yang menggunakan data interaksi pengguna di medsos untuk menganalisis kecenderungan bahkan menentukan konten apa yang paling relevan ditampilkan di linimasa mereka (menciptakan bubble filter, echo chamber, dan lain-lain).


Hasilnya adalah manipulasi informasi (menciptakan kebenaran semu/hoax -> menuntun kita untuk mengikuti pola dalam standar pasar yang terus bergerak), politik viral, mendikte (menciptakan kultur baru, fomo, haus validasi, hidup dalam hiperrealitas), mengintervensi (memantau dan memanfaatkan data masyarakat tanpa persetujuan mereka untuk kepentingan kekuasaan. 


Kemanusiaan direduksi dan dikontrol oleh sistem algoritma. Seolah membebaskan, padahal kita didikte untuk memutuskan sesuai algoritma.


Posisi media saat ini digunakan sebagai alat penjajahan.


Allah Swt. berfirman,


"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 112)


Perusahaan media meraup keuntungan yang sangat fantastis, contohnya Google (Gmail, Gmap, Youtube, dll) per 2025 US$253 miliar dan Meta (FB,IG,WA, Messenger, dll) per 2024 US$164 miliar padahal 2007 hanya US$153 juta. 


Penyebab para remaja terjebak tren negatif adalah akidah dan pemahaman Islam yang lemah (Islam tetapi sekuler, liberal, materialis). Akibatnya, kehilangan arah/visi hidup dan pragmatis, followers (fomo, konsumtif, sibuk flexing, dll), generasi strawberi, duck syndrome, mental illness, cinderella syndrome, lupa peran strategis (kehilangan spirit).


Sistem kapitalisme bukan habitat asli umat Islam. Sebagaimana firman Allah Swt.,


"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)


Karena aturan kapitalisme sangat menyengsarakan manusia, maka harus diganti dengan sistem kehidupan yang dapat menyelamatkan, yaitu Islam. Islam satu-satunya ideologi yang harus diterapkan sebab berbasis akidah yang sahih, serta solusi dari setiap permasalahan.


Pemateri mengungkapkan hal yang harus dilakukan oleh para remaja, yaitu selalu mengkaji Islam secara menyeluruh (kafah) dan temukan circle positif. Wallahualam bissawab.

 Gaji Guru PPPK Minim Islam Punya Mekanisme Adil

Gaji Guru PPPK Minim Islam Punya Mekanisme Adil



Selama kapitalisme masih menjadi pijakan kebijakan, guru akan terus hidup dalam keterpinggiran

Dalam sistem Islam, guru akan kembali dimuliakan sebagai penjaga ilmu dan pencetak generasi peradaban


_________________________


Penulis Manna Salwa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com - OPINI - Fakta di Lapangan: Guru PPPK Masih Terpinggirkan
Kesejahteraan guru PPPK kembali jadi sorotan. Sejak pemerintah mengangkat mereka untuk memenuhi kekurangan tenaga pendidik di sekolah negeri, status dan hak mereka nyatanya belum setara dengan aparatur sipil negara (ASN) lainnya. Menurut BeritaSatu, Komisi X DPR RI mendesak pemerintah menaikkan gaji guru honorer dan PPPK. Karena, banyak di antara mereka yang digaji di bawah standar kelayakan. (beritasatu.com)


Kondisi ini semakin memprihatinkan setelah terungkap kisah beberapa guru PPPK yang mengaku menerima gaji tak sampai Rp1 juta per bulan. Berdasarkan laporan SindoNews, ada guru paruh waktu PPPK yang hanya dibayar Rp18 ribu per jam. Jika dikalkulasi, penghasilannya dalam sebulan bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. (edukasi.sindonews.com)


Selain gaji yang minim, guru PPPK juga tidak memiliki jenjang karier dan tidak mendapatkan uang pensiun. Meskipun banyak dari mereka sudah berpendidikan tinggi, bahkan bergelar magister dan doktor. Beberapa di antaranya terpaksa mencari pekerjaan tambahan atau berutang demi bertahan hidup.


Liputan6 memuat curhatan salah satu guru PPPK di hadapan DPR: “Kami tidak iri dengan PNS, tapi jangan zalimi kami. Kami juga mendidik anak bangsa.” (enamplus.liputan6.com).


Realitas ini menyayat hati. Di tengah perannya yang krusial mencerdaskan generasi, guru justru terpinggirkan oleh sistem yang menilai jasa pendidik semata dari status kepegawaian dan beban kerja, bukan dari nilai amanahnya terhadap masa depan bangsa.


Guru dalam Cengkeraman Kapitalisme


Kondisi ini sesungguhnya bukan sekadar salah kebijakan. Melainkan buah dari sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan negara. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai pengelola anggaran terbatas, bukan penjamin kesejahteraan rakyat.


Negara yang tunduk pada prinsip ekonomi liberal tak memiliki cukup dana untuk menggaji guru secara layak karena sumber pemasukan utama, pajak dan utang tidak sebanding dengan pengeluaran. Sementara, sumber daya alam yang seharusnya menjadi sumber utama kekayaan negara diserahkan ke swasta dan asing atas nama investasi. Padahal, jika SDA seperti tambang, migas, dan hasil bumi dikelola oleh negara untuk rakyat, niscaya tidak ada alasan kekurangan anggaran untuk menggaji guru.


Dalam paradigma kapitalisme, tenaga kerja hanya dipandang sebagai faktor produksi. Wajar bila guru, yang sejatinya agen perubahan dan penjaga moral generasi, diposisikan layaknya buruh yang nilainya diukur dari produktivitas, bukan amanah pendidikannya. Mereka yang tidak dianggap menghasilkan uang bagi negara akan mudah terpinggirkan.


Sistem ini juga membuat kesejahteraan guru bergantung pada mekanisme pasar dan birokrasi anggaran, bukan pada tanggung jawab moral negara. Akibatnya, guru yang mengajar dengan dedikasi tinggi di daerah terpencil tetap hidup dalam kesulitan. Sementara, pejabat yang mengatur anggaran justru hidup berlimpah fasilitas.


Ketimpangan dan Ketidakadilan yang Terstruktur


Permasalahan ini semakin rumit ketika dilihat dari struktur keuangan negara. Ketika pemasukan utama berasal dari pajak dan utang luar negeri, negara akan terus memprioritaskan pengeluaran yang bersifat ekonomi dan politik ketimbang sosial. Anggaran pendidikan dan kesejahteraan guru sering kali menjadi korban pemangkasan.


Tak heran, banyak guru PPPK akhirnya terjerat utang bank dan pinjaman online demi menutupi kebutuhan hidup. Ironisnya, negara tidak memberikan perlindungan yang layak terhadap mereka. Padahal, pendidikan adalah pilar utama peradaban, dan guru adalah penggeraknya. Namun, dalam sistem kapitalisme, guru tidak lebih dari angka dalam neraca anggaran.



Hal ini menunjukkan bahwa selama kapitalisme masih menjadi dasar sistem ekonomi, diskriminasi dan ketimpangan terhadap guru akan terus terjadi. Kapitalisme gagal memuliakan profesi guru dan gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat.


Islam Menjamin Kesejahteraan Guru dan Keadilan Sistemik


Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki mekanisme keuangan yang adil dan berpihak pada rakyat, termasuk guru. Dalam sistem Islam, negara dikelola oleh Baitul Maal, lembaga keuangan publik yang mengatur pendapatan dan pengeluaran sesuai syariat.


Sumber pemasukan Baitul Maal berasal dari tiga pos utama:

1. Pos fai’ dan kharaj – hasil pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya publik, seperti tambang, hutan, dan minyak.

2. Pos zakat – untuk distribusi kesejahteraan sosial, khususnya bagi fakir miskin.

3. Pos milkiyah daulah (kepemilikan negara) – yang digunakan untuk membiayai sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.


Dengan sistem ini, gaji guru tidak bergantung pada status ASN atau PPPK. Semua guru, sebagai pelaksana pendidikan, dianggap pegawai negara yang layak menerima gaji dari Baitul Maal. Islam menilai gaji berdasarkan nilai jasa dan tanggung jawab, bukan status administratif.


Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)


Hadis ini menegaskan pentingnya penghargaan terhadap tenaga kerja, termasuk guru, secara adil dan tepat waktu. Dalam Islam, guru adalah bagian dari sistem pendidikan yang dijamin negara sepenuhnya.


Selain itu, pendidikan dalam Islam bersifat gratis dan berkualitas. Karena, negara menganggap pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi bagi seluruh warga. Negara Islam akan membangun sistem pendidikan yang menyiapkan generasi berilmu, berakhlak, dan bertakwa tanpa membebani guru maupun siswa dengan biaya atau ketidakpastian status.


Saatnya Negara Memuliakan Guru dengan Sistem yang Adil


Realitas pahit yang dialami guru PPPK saat ini menunjukkan kegagalan kapitalisme dalam menyejahterakan rakyatnya. Guru yang seharusnya dimuliakan justru dizalimi oleh sistem yang mengukur nilai manusia dengan produktivitas ekonomi.


Islam menawarkan solusi yang adil dan menyeluruh. Melalui sistem keuangan Baitulmal, negara memiliki mekanisme nyata untuk menyejahterakan guru, membiayai pendidikan secara penuh, dan menjamin pemerataan kualitas pendidikan.


Selama kapitalisme masih menjadi pijakan kebijakan, guru akan terus hidup dalam keterpinggiran. Tapi dalam sistem Islam, guru akan kembali dimuliakan sebagai penjaga ilmu dan pencetak generasi peradaban. Sesuai firman Allah swt : “Sesungguhnya orang yang paling dimuliakan Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)


Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]