Featured Post

Recommended

Peraturan Pemerintah TUNAS Ilusi Perlindungan Anak di Ruang Digital

Perlindungan anak di ruang digital tidak cukup hanya dengan regulasi teknis Ia menuntut sistem yang benar-benar berpihak pada pembentukan ge...

Alt Title
Peraturan Pemerintah TUNAS Ilusi Perlindungan Anak di Ruang Digital

Peraturan Pemerintah TUNAS Ilusi Perlindungan Anak di Ruang Digital




Perlindungan anak di ruang digital tidak cukup hanya dengan regulasi teknis

Ia menuntut sistem yang benar-benar berpihak pada pembentukan generasi berkarakter kuat


________________________


Penulis Diyani Aqorib, S.Si.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Gawai bukanlah barang baru dalam kehidupan masyarakat hari ini. Anak-anak generasi digital, bahkan sejak usia balita sudah sangat akrab dengan layar ponsel, tablet, dan komputer.

 

Tanpa pendampingan yang memadai, mereka bebas berselancar di ruang digital yang nyaris tak berbatas. Kondisi ini menjadikan ruang maya bukan sekadar sarana hiburan atau belajar, tetapi juga medan pembentukan pola pikir, sikap, dan karakter anak.


Melalui gawai, anak dengan mudah mengakses beragam informasi: gaya hidup, budaya populer, pola relasi, hingga game dan media sosial. Di satu sisi, teknologi memang menawarkan kemudahan dan manfaat edukatif. Namun di sisi lain, tanpa kontrol dari orang tua, masyarakat, maupun negara, derasnya arus informasi justru menjadi bumerang yang membahayakan masa depan generasi.


Berbagai riset dan fenomena sosial menunjukkan bahwa penggunaan gawai berlebihan pada anak dan remaja memicu banyak dampak negatif. Mulai dari gangguan tidur, masalah kesehatan fisik seperti mata lelah dan nyeri tubuh, penurunan prestasi akademik, hingga problem kesehatan mental berupa kecemasan, depresi, isolasi sosial, serta menurunnya empati. Lebih jauh, kecanduan gawai menyebabkan anak kehilangan fokus belajar dan interaksi sosial di dunia nyata, yang sejatinya sangat penting bagi perkembangan karakter.


PP TUNAS: Upaya Negara Menghadirkan Ruang Digital Aman


Dalam konteks inilah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan berlaku mulai 1 April 2025 ini diklaim sebagai langkah serius negara untuk melindungi anak-anak di dunia digital.


Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa PP TUNAS merupakan respons strategis terhadap maraknya paparan konten berbahaya, manipulatif, dan eksploitatif yang mengincar anak-anak sebagai kelompok rentan. PP ini mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah, melakukan remediasi cepat, memverifikasi usia pengguna, serta menerapkan pengamanan teknis. Sanksi administratif hingga pemutusan akses disiapkan bagi PSE yang tidak patuh. (komdigi.go.id, 02-05-2025)


Secara normatif, PP TUNAS tampak menjanjikan. Terlebih, data menunjukkan bahwa sekitar 48 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dengan jumlah sebesar ini, kehadiran regulasi perlindungan jelas menjadi kebutuhan mendesak.


Tantangan dan Kelemahan Implementasi


Namun, pertanyaan pentingnya adalah: sejauh mana PP TUNAS efektif melindungi anak?

Pertama, efektivitas regulasi sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan hukum. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa banyak aturan di ruang digital berhenti sebagai teks hukum, lemah dalam implementasi. Verifikasi usia, misalnya, kerap mudah dimanipulasi dan belum benar-benar menjamin anak terlindungi dari konten dewasa.


Kedua, PP TUNAS masih menempatkan tanggung jawab besar pada platform digital yang pada dasarnya berorientasi profit. Selama ekosistem digital masih tunduk pada logika kapitalisme di mana data, atensi, dan engagement bernilai ekonomi tinggi, perlindungan anak berpotensi menjadi prioritas sekunder.


Ketiga, regulasi ini belum menyentuh akar persoalan secara komprehensif, yakni paradigma kebebasan digital tanpa batas yang lahir dari sistem sekuler. Selama standar baik-buruk konten hanya diukur dari “aman secara teknis” dan bukan “sehat secara moral dan ideologis”, anak tetap rentan terhadap kerusakan pola pikir dan nilai.


Perlindungan Hakiki Butuh Pendekatan Menyeluruh


Perlindungan anak di ruang digital tidak cukup hanya dengan regulasi teknis. Ia menuntut sistem yang benar-benar berpihak pada pembentukan generasi berkarakter kuat. Negara semestinya hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga penjaga nilai, dengan memastikan bahwa ruang digital sejalan dengan tujuan pendidikan dan pembinaan akhlak generasi.


Orang tua dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab. Literasi digital harus dibangun, bukan sekadar untuk mengenali fitur aplikasi, tetapi juga untuk memahami bahaya ideologi, budaya permisif, dan konten destruktif yang menyusup melalui layar gawai.


Melindungi anak berarti menjaga masa depan bangsa dan itu membutuhkan lebih dari sekadar aturan. Dibutuhkan sistem kehidupan yang benar-benar menjadikan keselamatan akal, jiwa, dan akhlak generasi sebagai tujuan utama.


Khil4fah: Negara Penjaga Akal dan Masa Depan Generasi


Dalam pandangan ideologis Islam, perlindungan anak dan generasi muda tidak diserahkan pada kesadaran individu semata, juga tidak dipisahkan dari arah kebijakan negara. Islam menetapkan negara dalam sistem Khil4fah sebagai junnah (perisai), penjaga utama kehidupan rakyat, termasuk dalam menjaga akal (hifzh al-‘aql), akidah, dan kepribadian generasi.


Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya imam (khalifah) itu adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Makna junnah (perisai) menegaskan fungsi negara bukan reaktif dan parsial, melainkan protektif dan preventif. Dalam konteks ruang digital, negara tidak cukup hanya menyaring konten atau memberi sanksi administratif, tetapi wajib menutup seluruh celah yang memungkinkan rusaknya akal dan akhlak generasi.


Khil4fah dan Tata Kelola Ruang Digital Berbasis Akidah


Berbeda dengan sistem sekuler, Khil4fah menjadikan akidah Islam sebagai asas pengaturan kehidupan, termasuk teknologi dan informasi. Negara tidak netral terhadap konten, melainkan berpihak pada kebenaran syar‘i. Segala bentuk konten yang merusak akidah, akhlak, dan akal, pornografi, liberalisme seksual, kekerasan, ateisme, hedonisme, dicegah sejak hulu, bukan menunggu laporan dari masyarakat.


Dalam Khil4fah, pengelolaan teknologi tunduk pada hukum syarak, bukan pada kepentingan korporasi. Negara wajib:

1. Menutup akses terhadap konten haram dan ideologi kufur secara sistemik.

2. Mengontrol penuh infrastruktur digital sebagai sarana publik.

3. Mengarahkan teknologi untuk pendidikan, dakwah, dan pembinaan generasi.

4. Menjamin distribusi informasi yang sehat, beradab, dan membangun kepribadian Islam.

Semua ini dilakukan dalam kerangka ri‘ayah syu’un al-ummah (pengurusan urusan rakyat), bukan sekadar perlindungan administratif.


Negara Bertanggung Jawab Langsung atas Kerusakan Generasi


Dalam Islam, rusaknya generasi bukan hanya kegagalan keluarga, tetapi juga kegagalan negara. Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban langsung jika lalai menjaga umat dari kerusakan yang nyata. Rasulullah saw. bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menempatkan penguasa pada posisi paling berat tanggung jawabnya. Maka, membiarkan ruang digital menjadi ladang subur bagi kerusakan mental dan akhlak anak adalah bentuk kelalaian kepemimpinan yang serius.


Kesimpulan


PP TUNAS mencerminkan pengakuan negara atas bahaya ruang digital, tetapi selama negara tetap berdiri di atas paradigma sekuler-kapitalistik, perlindungan itu akan selalu rapuh. Islam menawarkan solusi hakiki melalui sistem Khil4fah yang menjadikan negara sebagai penjaga akidah, akal, dan masa depan generasi.


Melindungi anak bukan sekadar soal regulasi, melainkan soal visi peradaban. Hanya sistem Islam yang mampu memastikan teknologi menjadi sarana kemaslahatan, bukan alat penghancuran generasi. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Kapitalisme Bukan Bencana Nasional tetapi Bencana Kehidupan

Kapitalisme Bukan Bencana Nasional tetapi Bencana Kehidupan




Tidak ditetapkannya banjir Sumatra dan Aceh menjadi bencana nasional membuktikan bahwa 

sistem kapitalisme sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com SURAT PEMBACA- Alasan banjir sumatera belum ditetapkan sebagai bencana nasional menjadi tanda tanya publik.


Banjir yang menerjang wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sontak menjadi perhatian berbagai negara. Banyaknya jumlah korban dan kerusakan infrastruktur membuat masyarakat menanti penetapan banjir sumatera sebagai bencana nasional. (Detiknews.com, 04-12-2025) 


Pemerintah belum juga menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional padahal data BNPB (6-12-2025) menjelaskan korban jiwa 916 jiwa, orang hilang 274 jiwa, korban luka mencapai  4.200 jiwa. 


Presiden Prabowo Subianto tidak meninjau secara keseluruhan titik-titik korban bencana sehingga mengatakan bencananya sudah mulai membaik. Pemerintah tidak menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional karena kurangnya APBN (Anggaran Pendapat dan Belanja Negara) untuk membantu korban bencana dan faktanya pejabat sendirilah yang memberikan izin untuk merusak alam di Pulau Sumatra.


Ketika dijadikan bencana nasional maka akan terungkap bahwa bencana Sumatra bukan semata- mata karena faktor alam, melainkan alih fungsi lahan seperti deforestasi yang mengubah hutan menjadi kebun kelapa sawit,  rusaknya ekosistem hulu,  rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh industri ekstraktif, penggundulan hutan yang sangat luas dan eksploitasi tambang. Dengan semua faktor tersebut maka terjadilah bencana banjir dan longsor di Sumatra.


Hutan yang gundul tidak mampu lagi menampung air yang sangat deras sehingga terjadi longsor, akses jalan terputus, listrik mati, sinyal hilang, dan korban terisolir. Begitulah gambaran bencana yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. 


Sungguh sangat menguras air mata dengan bencana yang terjadi di tiga provinsi. Pemerintah tidak menjadikannya sebuah bencana nasional. Alhasil, yang terjadi di lapangan adalah korban bantu korban, warga bantu warga.


Dalam sistem kapitalisme, pemimpin hadir bukan untuk mengurus rakyatnya namun ingin mencari keuntungan dan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Hutan diprivatisasi sebagai lahan ekonomis untuk menambah pundi-pundi cuan sehingga yang kaya hanya segelintir individu, tetapi dampaknya kerusakan lingkungan dirasakan oleh jutaan masyarakat.


Sistem kapitalis menjadikan kekayaan alam tidak dikelola untuk kemaslahatan rakyatnya, tetapi dikuasai oleh oligarki dengan izin para penguasa. Alhasil, nampak jelas ketimpangan di tengah masyarakat yang kaya akan makin kaya dan yang miskin makin miskin. 


Penguasa dan oligarki yang dengan mudahnya menguasai hutan mengubah hutan menjadi tidak berfungsi menjaga alam. Rakyat tidak mendapatkan hasil hutan, tetapi rakyatlah mendapatkan bencana banjir dan longsor.  


Pulau Sumatra dijadikan pihak penguasa dan oligarki untuk dikeruk sumber daya alamnya dan setelah bencana terjadi  penguasa seolah angkat tangan. 

 

Solusi dalam Islam


Islam mengklarifikasi kepemilikkan menjadi tiga bagian. Kepemilikkan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Hutan termasuk lahan milik umum maka haram dimiliki perorangan.


Rasulullah saw. bersabda, "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR. Abu Daud) 


Haram jika hutan, laut, danau, sungai, pulau, gunung dan lain sebagainya dijadikan milik individu karena dalam lslam kaum muslim memiliki hak berserikat didalamnya.


Haram jika melarang orang  lain mengakses dan memanfaatkan tanah milik umum. Setiap individu berhak  memanfaatkan tanah, danau, sungai, hutan, laut yang bisa dimanfaatkan masyarakat serta tidak merusak lingkungan.


Jika Hutan dikuasai oleh Hak Pengusaha Hutan  (HPH)  kepada perusahaan - perusahaan swasta untuk privatisasi maka jelas haram dan zalim karena kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang.


Dalam Islam, negara wajib mengelola hutan dan mengusahakannya untuk kesejahteraan rakyat karena didalamnya terdapat hajat orang banyak.  Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslim itu bersaudara satu sama lain. Mereka bersama-sama memiliki air dan pepohonan." (HR. Abu Dawud dan ath Thabrani)


Maka sudah selayaknya kita mengganti sistem kapitalisme yang telah rusak dan merusak semua lini kehidupan. Saatnya kita melanjutkan kembali kehidupan Islam berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah yang pernah menaungi ⅔ dunia dengan kemajuan dan keadilannya yang dirasakan langsung baik muslim maupun nonmuslim. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]


Tina Sitorus

Takut Nikah Bukan Takut Jodoh: Luka Ekonomi Kapitalisme

Takut Nikah Bukan Takut Jodoh: Luka Ekonomi Kapitalisme



Ketakutan terhadap pernikahan sejatinya bukan soal mentalitas generasi muda yang manja

tetapi produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang menciptakan ekosistem hidup yang mahal dan tidak manusiawi


________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Ketika Ekonomi Membayangi Cinta
Di tengah gencarnya kampanye pernikahan dini dan keutamaan membentuk keluarga muda, justru generasi saat ini dihadapkan pada realita yang jauh dari romantis.


Kalimat “marriage is scary” tak lagi terdengar sebagai canda di media sosial, melainkan refleksi nyata dari keresahan generasi muda yang menyaksikan beban hidup orang tuanya, menyadari sulitnya memiliki rumah, dan menyimpan kekhawatiran besar akan stabilitas finansial pasca-menikah.


Menurut laporan Kompas.id (5 Oktober 2025), makin banyak anak muda yang merasa bahwa kestabilan ekonomi jauh lebih penting daripada segera menikah. Di kota-kota besar, fenomena ini kian terasa.


Harga kebutuhan pokok melonjak, biaya sewa, dan cicilan hunian makin tak terjangkau, serta persaingan kerja yang makin ketat. Semua ini membentuk persepsi bahwa menikah hanya akan menambah daftar beban hidup yang belum sempat tertangani.


Lebih dari itu, narasi populer tentang pernikahan yang penuh tuntutan dan berujung pada perceraian makin menegaskan bahwa generasi muda tak hanya takut gagal dalam cinta, tetapi takut tak mampu bertahan dalam tekanan ekonomi. Mereka menyaksikan banyak keluarga yang berpisah bukan karena kurang cinta, tetapi karena tak kuasa menahan beban hidup bersama.


Luka Kapitalisme dalam Ruang Privat


Ketakutan terhadap pernikahan sejatinya bukan soal mentalitas generasi muda yang manja, tetapi produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang menciptakan ekosistem hidup yang mahal dan tidak manusiawi. Dalam sistem ini, seluruh kebutuhan dasar mulai dari pangan, papan, hingga pekerjaan diletakkan dalam mekanisme pasar bebas yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat banyak.


Upah rendah tidak sebanding dengan inflasi kebutuhan dasar. Negara alih-alih menjadi pelindung dan pengayom, justru berperan sebagai regulator pasif yang membiarkan rakyat bergulat sendiri dengan kompetisi dan ketidakpastian. Tak heran, banyak generasi muda yang merasa bahwa menikah hanya membuka pintu pada ketidakpastian finansial yang lebih besar.


Lebih buruk lagi, pendidikan sekuler dan media liberal tak mendidik generasi untuk hidup sederhana dan berpandangan jauh, tetapi justru menanamkan nilai-nilai hedonistik dan konsumtif. Materialisme menjadi tolok ukur suksesnya rumah tangga, bukan ketahanan nilai, visi hidup, atau komitmen ibadah.


Akibatnya, pernikahan yang sejatinya adalah ibadah dan sarana menjaga fitrah. Kini, dianggap sebagai beban sosial dan ekonomi. Mereka lebih takut jatuh miskin daripada takut hidup sendiri.


Pernikahan dalam Naungan Sistem Illahi


Islam memandang pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza perjanjian agung yang tak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga membangun generasi pelanjut umat. Dalam Islam, negara memiliki peran aktif untuk memastikan pernikahan bukan hanya mungkin terjadi, tetapi tumbuh dalam kesejahteraan dan keberkahan.


Sistem ekonomi Islam menjamin kebutuhan dasar setiap warga negara. Pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan dengan memastikan kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) dikelola negara, bukan swasta atau asing. Hasil pengelolaan sumber daya alam, energi, dan infrastruktur publik dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.


Lapangan kerja disediakan luas, bukan dibatasi dengan kompetisi gaya kapitalisme. Negara juga mendorong pendidikan berbasis akidah Islam, membentuk generasi yang berkarakter kuat, visioner, dan tidak terjebak gaya hidup hedonistik. Pendidikan seperti ini akan menumbuhkan kesadaran bahwa menikah bukan soal mampu atau tidak secara duniawi, tetapi panggilan syariat untuk membangun keluarga yang saleh dan salihah.


Dalam sistem Islam, menikah bukan keputusan menakutkan sebab negara menjadi penjamin kehidupan, bukan sekadar pengatur pasar. Rasulullah ï·º bersabda: “Tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah: orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin memerdekakan dirinya, dan orang yang menikah demi menjaga kehormatannya.” (HR. Tirmidzi, no. 1655)


Menikah Tanpa Takut, Asal Sistemnya Berpihak


Generasi muda tidak anti menikah. Mereka hanya takut menanggung beban hidup yang terlalu besar tanpa jaminan keamanan dan keadilan sosial. Ketakutan ini wajar dalam sistem kapitalistik yang menindas rakyat kecil dan mempersulit jalan menuju ketenangan hidup.


Namun, Islam hadir membawa sistem yang menyejahterakan, mendidik, dan menjaga. Dalam sistem Islam, pernikahan bukan mimpi buruk ekonomi, tetapi jalan menuju rida Allah dan peradaban yang agung.


Saatnya umat kembali memperjuangkan sistem yang menguatkan, bukan melemahkan. Agar generasi muda tak lagi berkata, “aku takut nikah,” tetapi justru merindukan keberkahan dalam ikatan suci itu. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Perawati

Membangun Jati Diri Generasi di Era Digital

Membangun Jati Diri Generasi di Era Digital



Pembentukan jati diri muslim dalam menyelamatkan anak-anak muda

di tengah gempuran era digital dan hegemoni sekuler kapitalistik dianggap sangatlah penting

______________________________


Penulis Aksarana Citra 

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di era digital, Gen Z berada pada persimpangan besar antara kemudahan teknologi dan tantangan menjaga jati diri sebagai muslim. Digitalisasi di era modern kini memang menawarkan fasilitas yang sangat baik, tetapi di saat yang sama membawa arus pemikiran, gaya hidup, budaya seringkali menjauhkan generasi dari nilai-nilai islami.


Di tengah derasnya informasi dan aktivitas daring, aktivitas Gen Z pun mudah terpengaruh pada arah yang tidak sesuai dengan prisip-prinsip syariat sehingga untuk menemukan jati diri muslim harus punya kesadaran penuh dan berpegang teguh pada identitas keimanan. 


Generasi kini tidak bisa lepas dari dunia digital. Semua aktivitas manusia bergantung padanya. Mau itu anak remaja, dewasa, dan orang tua semuanya bisa merasakan manfaatnya. Segala kemudahan ditawarkan, informasi dalam hitungan detik tersebar, komunikasi berlangsung tanpa batas.


Fenomena viral pun menjadi hiburan mendadak bahkan alat marketing yang ampuh serta pencitraan di era digital ini. Seseorang bisa menjadi terkenal karena video atau foto yang viral di jagad sosial media hingga bisa jadi aktris dadakan atau pun sebaliknya seseorang bisa mengalami cancel culture atau pemboikotan konten tertentu.


Di sisi lain, ekonomi digital berkembang pesat. Bisnis daring tumbuh di berbagai sektor, sementara itu toko-toko online siap menawarkan barang dan jasa yang komplit untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hiburan juga hadir setiap harinya, menghidupkan dimensi lain dan menjadikan ruang sosial baru yang menjadi dunia kedua bagi banyak orang.


Segala macam hal itu bisa diakses di rumah tanpa harus keluar, cukup denga satu klik di layar gawai, hampir segala sesuatu kebutuhan terpenuhi secara instan, dan kehidupan digital pun menjadi ruang yang membentuk kebiasaan cara berpikir bahkan menjadi jati diri generasi modern saat ini.


Namun di balik semua kemudahan itu, digitalisasi juga membawa dampak buruk bukan sekadar terbawa arus zaman. Realitas kini menunjukkan gambaran bagaimana generasi muda kini banyak yang terjerat pada persoalan yang berat seperti judi online, pinjaman online, perundungan, menjadi target seksualitas, masalah kesehatan mental, kriminalitas, dan maraknya kasus bunuh diri dikalangan remaja serta ancaman narkoba.


Terlebih perkembangan teknologi berjalan seiringan dengan penerapan sistem sekuler kapitalis liberal yang menjadikan digitalisasi makin menjauhkan generasi kita dari nilai-nilai spiritual dan membentuk generasi materialistis yang mengukur kesuksesan seseorang dan pencapaian  duniawi semata dan kebebasan menjadi kebebasan yang salah arah yang membuka peluang besar bagi eksploitasi dan kerusakan moral.


Tak hanya itu, banyak pula konten keagamaan yang berseliweran, tetapi sebagian banyak menyimpang, materi dakwah dipotong-potong, dipelintir, dan diambil yang sesuai dengan selera mereka. Akibatnya, ajaran agama kehilangan makna dan berubah menjadi konsumsi hiburan semata, serta menciptakan generasi yang mengenal agama secara dangkal, cepat percaya oleh potongan potongan video, dan mudah terpengaruh tren yang belum tentu sesuai dengan syariat. 


Gen Z, generasi yang dikenal paling dekat dengan era digital. Generasi yang sering dianggap lemah. Gen Z, generasi yang dibesarkan dengan arus digital yang cepat dan kebebasan tanpa batas, hidup seakan seperti roller coaster yang cepat dan berubah.


Loncatan informasi yang terus-menerus dari satu informasi ke informasi berikutnya, dari tren satu ke tren lainnya berubah dengan sangat cepat, tiap minggu, bulan, tahun tren baru tercipta, dan tantangan yang dihadapi generasi ini adalah untuk selalu mengikuti tren agar diterima di oleh lingkungan sosialnya.


Ruang digital yang seharusnya menjadi sarana ekspresi malah berubah menjadi ruang penuh tekanan karena harus mengikuti arus tren yang ada. Flexing, bullying atau cyberbullying, konten sensasional, dan challenge yang berbahaya, cancel culture, oversharing menjadi budaya media sosial yang buruk yang kini marak di era digital ini.


Di mana itu semua memicu anxiety atau kecemasan, rendah diri bahkan depresi. Kebebasan yang mereka tawarkan nyatanya malah menjadi jeruji pembelenggu mereka. Ketidakpuasan pada diri sendiri. Adanya standar kecantikan yang mendorong para remaja untuk membandingkan diri dengan orang lain, rasa percaya diri rendah kadang ada yang overconfident


Mereka harus memenuhi ekspektasi orang lain cuma hanya ingin diterima. Penelitian  yang menunjukan bahwa 70% remaja perempuan di Kabupaten Cianjur berusia 11-20 tahun memiliki citra tubuh dalam kategori sedang. Ini berarti mengindikasikan adanya ketidakpuasan pada penampilan fisik mereka. Tidak hanya itu 60% remaja tidak percaya diri dengan foto atau video yang mereka unggah di akun media sosial.


Menurut penelitian, 81% anak muda mengaku melihat status story seseorang di medsos dan berujung membandingkan diri sendiri. 46% rentang usia 13-17 tahun mengatakan medsos membuat pandangan buruk pada diri mereka sendiri. Akibatnya apa? Mental anak-anak kita terancam. (detiknews.com, 21-04-2025)


Ruang digital yang tidak netral dan budaya digital yang buruk, serta didominasi oleh nilai sekuler kapitalis yang tidak menjadikan akidah Islam sebagai standar. Kapitalisme digital yang membuka pintu besar eksploitasi demi keuntungan. Popularitas dan uang menjadi standar baru yang dikejar, walaupun menggadaikan harga diri.


Tubuh dijadikan alat komoditas, sementara moralitas dan kehormatan tidak penting lagi. Agama ditempatkan di tempat privat bukan sebagai pengatur kehidupan. Akhirnya, manusia bebas melakukan apa pun asal tidak melanggar hukum negara. Kebebasan menjadi nilai tertinggi.


Setiap individu mempunyai hak penuh atas diri, tubuh, dan pilihan hidup, ekspresi bahkan perilaku. Seks bebas kini dianggap biasa tidak lagi tabu, bahkan sebuah pencapaian. Karena sistem ini, anak-anak tidak mempunyai arah hidup yang jelas, generasi rapuh secara spiritual, dan mudah dimanipulasi oleh alogaritma dan terjebak dalam pencarian validasi.


Di era digital ini, kenakalan remaja sudah tidak bisa dibendung lagi bahkan lebih agresif dan mengarah kepada kriminalitas serta merugikan orang lain bahkan bisa menghilangkan nyawa seseorang. Seperti kejadian pemboman di SMA 72 Jakarta diakibatkan perundungan yang dialami pelaku. Pelaku mengakses dark web dengan konten-konten kekerasan ekstrem dan mengidolakan pelaku penembakan masal.


Dari semua hal buruk itu, banyak hal positifnya yakni ada activism global, yaitu gerakan atau upaya yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok dari berbagai dunia untuk memperjuangkan isu-isu yang berdampak lintas negara, misalnya gerakan menyuarakan kebebasan P4lestina oleh Greta Thunberg asal Swedia yang belayar dengan kapal Madleen pada Juni 2025.


Kapal yang membawa bantuan kemanusiaan tersebut dicegat dan ditangkap oleh Angkatan Laut Isra*l. Aktivitas Greta terkait P4lestina mampu menarik perhatian global terhadap krisis kemanusiaan di G4za aksi flotillanya pada 2025 memicu solidaritas 44 negara melalui Global Sumud Fotilla dan menekan Isra*l untuk mengakhiri blokade lautnya dan memperjuangkan hak asasi manusia di G4za.


Selain itu, pergerakan generasi muda Indonesia saat memprotes kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR RI kenaikan pajak dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, telah menjadi inspirasi para pemuda di negara lain yang melakukan pergerakan serupa yang dipicu oleh isu yang sama dan dipimpin oleh Gen Z, seperti di Filipina, Nepal, Timor Leste dan Maladewa.


Hal positif lainnya generasi mudah belajar, mencari informasi untuk menambah ilmu pengetahuan dengan mudah, menambah skill baru, dan ide kreatif kreativitas tinggi dan ekspresi diri lebih bebas karena media digital membuka ruang bagi anak muda, dan banyak anak muda yang sukses karena kreativitas di platform digital. 


Namun, negatifnya anak-anak muda kini minus problem mental, seperti anxiety, depresi, kecaduan gadget game dan medsos, serta burnout atau kelelahan mental karena tuntutan sosial. Inklusif progesif dalam mempertanyakan agama otentik. Mengaku inklusif atau menerima segala perbedaan, bersifat progesif ingin perubahan cepat dan bebas, tetapi pada saat yang sama mempertanyakan agama yang besifat tetap dan otentik.


Fenomena ini menggambarkan pemikiran modern yang mengutamakan kebebasan dan relatisme, menganggap agama harus berubah dan mengikuti zaman sehingga mempertanyakan atau menolak ajaran Islam yang asli dan tetap. Memiliki nilai yang berbeda dengan generasi tua. 


Jurang antara generasi atau biasa disebut generasi gap. Generasi muda menilai generasi yang lebih tua itu kaku dan kolot, tetapi sebaliknya yang muda disebut nyolot, songong, dan ekspresif. Konsep ini tersounding di banyak platform digital seperti Instagram, tiktok, x, karena banyak konten-konten yang bermuculan mengambil konsep ini sebagai ide kontennya.


Ini tidak hadir secara kebetulan, tetapi hasil dari alogaritma. Konten tentang konflik antargenerasi ini cenderung emosional, lucu, dan relate yang berakibat jurang perbedaan nyata dan besar. Namun, dari itu semua kepentingan ideologis dari tatanan sistem sekuler kapitalis yang bermain di dalammnya dan menganggap ideologi Islam sebagai ancaman karenanya dengan perpecahan dan mengklasifikasi generasi ini termasuk generasi gap didorong dan dieksploitasi secara besar-besaran, agar nilai-nilai spiritual dan akhlak islami diabaikan.


Pembentukan jati diri muslim dalam menyelamatkan anak-anak muda di tengah gempuran era digital dan hegemoni sekuler kapitalistik dianggap sangatlah penting. Dengan cara mengembalikan fondasi akidah yang kuat, meyakinkan bahwa Islam adalah satu-satunya pedoman hidup.


Menguatkan literasi Islam memahami Al-Qur'an dan Sunnah memahami fikih dan hukum-hukum dasar. Bijak dalam menggunakan teknologi digital. Menanamkan pola pikir dan pola sikap Islam agar membentuk kepribadian Islam. Negara berperan sebagai penjaga umat.


Jika semua itu hadir, maka generasi muslim tidak hanya selamat dari hegemoni sekuler kapitalis dan arus global, tetapi mampu memimpin peradaban dengan jati diri muslim yang kuat. Mengubah paradigma berpikir yang sekuler kapitalis ke paradigma berpikir Islam.


Kita harus mengarahkan pergerakan generasi. Di mana generasi kini sudah menyadari bahwasanya sistem sekuler kapitalis nyatanya rusak secara sistemik. Kita arahkan generasi muda ke sistem Islam yang berlandaskan paradigma Islam dengan berfokus pada pembinaan akidah dan ilmu, edukasi, dan perubahan pemikiran. Memahamkan mereka bahwasanya Islam bukan sekadar agama, tetapi ideologi dan pedoman kehidupan.


“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)


Selain itu, sinergi keluarga yang kuat masyarakat dan negara dibutuhkan untuk menyelamatkan generasi dan mengarahkan pada pergerakan yang sahih. Keluarga merupakan benteng awal dalam membentuk pola pikir dan pola sikap generasi dengan menanamkan akidah dari kecil, membatasi penggunaan gadget, membangun kedekatan emosional antara generasi tua dan muda.


Masyarakat di mana interaksi sosial terjadi dan pembentukan karakter. Maka perlu ada penjagaan kultur Islam, masyarakat membendung segala macam tindak penyimpangan. Peran negara wajib dalam menjamin generasi yang bertakwa. Tanpa negara, keluarga dan masyarakat tidak akan mampu mengubah generasi. Negara sebagai pelindung generasi, penata sistem, dan mengarahkan generasi ke kehidupan Islam dan memastikan para generasinya tumbuh menjadi generasi yang kuat dan bersyakhsiah Islam.


Maka membentuk jati diri muslim pada generasi muda di tengah arus digitalisasi menjadi keniscayaan agar mereka tetap teguh di atas nilai Islam dan mampu menjadikan teknologi sebagai sarana yang bermanfaat dan menuju kebaikan, dan menjadikan generasi kita kuat mental cerdas berwawasan islami. Wallahualam bissawab.

Islam Lindungi Anak dari Hegemoni Digital Kapitalisme

Islam Lindungi Anak dari Hegemoni Digital Kapitalisme




Hegemoni digital kapitalisme telah menjadikan manusia, khususnya remaja sebagai komoditas ekonomi

Generasi saat ini tumbuh di tengah dunia yang serba cepat dan terkoneksi dengan mudah

______________________________


Penulis Siska Juliana

Tim Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Saat ini, aktivitas anak dan gadget tidak bisa dipisahkan. Mereka seakan sudah hidup di dua dunia, yaitu dunia nyata dan maya. Selain dampak positif, dunia digital juga menyimpan sisi gelap yang berbahaya bagi anak. Lantas, apa yang harus dilakukan agar terhindar dari bahaya tersebut? Sejauh mana dunia digital dapat memengaruhi perilaku anak? 


Mengenal PP Tunas 


Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menerbitkan sebuah regulasi yang berkaitan dengan dunia digital, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). 


Aturan ini diteken pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan bagi anak-anaka serta kelompok rentan. 


Dalam PP ini, tercantum bahwa setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) wajib menyaring konten berbahaya, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, dan memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. 


Komdigi mengatur pembatasan akses anak terhadap aplikasi di ponsel dan media sosial berdasarkan kategori risiko rendah, sedang, dan tinggi. PP Tunas mengkategorikan pengguna bedasarkan umur, di antaranya:


Pertama, anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman seperti situs edukasi. Kedua, usia 13-15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah sampai sedang. Ketiga, usia 16-17 tahun dapat mengakses platform dengan risiko tinggi disertai pendampingan orang tua. Keempat, usia 18 tahun ke atas dapat mengakses semua platform secara independen. (cnbcindonesia.com, 22-11-2025)


Kelemahan PP Tunas 


Adanya aturan ini membawa angin segar bagi perlindungan anak. Namun, ada beberapa hal yang masih membingungkan. Misalnya, aturan ini tidak menyebutkan platform mana yang tegolong rendah, sedang, atau tinggi. 


Di sisi lain, Komdigi meminta platform seperti X, Instagram, atau Youtube untuk melakukan evaluasi mandiri dan melaporkan hasilnya. Alhasil, masyarakat belum memiliki rujukan media sosial apa yang pas untuk usia anak mereka. Jadi, mekanisme yang ada menyerahkan upaya perlindungan dan pembatasan akses ke orang tua. 


Pengawasan yang terlalu ketat dapat berdampak pada pelanggaran privasi dan kebebasan ekspresi anak, terutama jika melibatkan sistem pemantauan yang invasif atau pengumpulan data berlebihan. Mekanisme pengawasan dan sanksi bagi platform media sosial juga tidak jelas. Jika tidak ada transparansi, maka kebijakan ini berpotensi disalahgunakan untuk menekan pihak tertentu. 


Selain itu, kebijakan ini belum menetapkan standar teknis yang jelas tentang bagaimana data anak dikelola, diverifikasi, dan diaudit. Alhasil, membuka celah bagi pelanggaran privasi. Berbeda dengan aturan di Australia yang mewajibkan platform media sosial seperti Instagram, Youtube, dan Tiktok untuk membatasi usia penggunanya.


Dirjen Pengawasan Digital Komdigi Alexander Sabar menyatakan PSE diberikan waktu penyesuaian selama dua tahun untuk menyesuaikan sistemnya. Menanggapi hal tersebut, platform media sosial tidak menolak terhadap kebijakan tersebut. Sebagian besar platform sudah memiliki fitur yang sejalan dengan PP Tunas. 


Akibat Digitalisasi 


Perkembangan teknologi seiring dengan perkembangan zaman telah memaksa anak-anak hingga orang dewasa untuk mengikutinya. Fenomena rusaknya generasi saat ini tidak terlepas dari pengaruh hegemoni digital kapitalisme.


Banyak hal negatif yang dialami generasi akibat teknologi digital, di antaranya masalah kesehatan mental. Gejala seperti gangguan tidur, kecemasan, depresi hingga menurunnya kepercayaan diri makin sering muncul. 


Intelijen Australia (ASIO) melaporkan bahwa sebanyak 60% pelaku ekstremisme mengalami perubahan pandangan ekstrem melalui ruang online. Salah satu kasusnya anak SMAN 72 yang merupakan kasus penyimpangan kenakalan remaja di ruang digital. 


Hegemoni Kapitalisme 


Hegemoni digital kapitalisme telah menjadikan manusia, khususnya remaja sebagai komoditas ekonomi. Generasi saat ini tumbuh di tengah dunia yang serba cepat dan terkoneksi dengan mudah. Layar menjadi arena bermainnya, bukan lagi di lapangan. Sayangnya, tidak semua informasi yang ditampilkan itu benar dan lengkap. 


Semua ini terjadi karena dunia digital dikuasai kapitalisme. Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Hegemoni digital kapitalisme telah menguasai pola pikir, pola sikap, keinginan, hingga orientasi hidup generasi muda. 


Generasi muda menjadi sasaran empuk dalam serangan hegemoni digital kapitalisme. Mereka dicekoki konten-konten yang menghibur, tetapi menumpulkan akal, lemah dalam berpikir, mengikis akhlak dan moral. Satu sisi tampak memikat, tetapi di sisi yang lain merusak masa depan. 


Butuh Islam


Di tengah arus paparan digital, generasi muda membutuhkan jalan untuk mengenal Islam secara mendalam. Faktanya, konten Islam di media sosial mayoritas berkisar pada aktivitas ruhiyah, kebaikan individual, atau motivasi religius. 


Memang hal tersebut baik, tetapi tidak cukup untuk membentuk kepribadian Islam. Hal itu malah mengaburkan Islam dari aspek paling penting, yaitu sistem hidup yang lengkap karena mengatur politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan seluruh aspek kehidupan. Alhasil, generasi muda beranggapan bahwa Islam hanya pelengkap spiritual, bukan solusi komprehensif yang memecahkan persoalan hidup. 


Solusi Hakiki 


Islam sebagai agama sekaligus ideologi (mabda) memiliki solusi sistemis dalam mengatasi hegemoni digital kapitalisme yang mampu menyelamatkan generasi dari kerusakan. 


Pertama, pembinaan (tatsqif) generasi secara intensif yang dilakukan secara rutin sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. kepada para sahabat. Tujuannya untuk membentuk kepribadian Islam (pola pikir dan sikap Islam) yang menjadikan akidah sebagai fondasi dalam beraktivitas. Akan tetapi, pembinaan ini hanya bisa dilakukan saat Islam dipelajari sebagai ideologi. 


Kedua, negara berperan menjaga generasi. Dalam sistem Islam, tujuan pendidikan untuk mewujudkan kepribadian Islam dengan menerapkan kurikulum yang berbasis akidah sehingga melahirkan generasi yang mampu memimpin peradaban. 


Negara melalui departemen penerangan atau informasi melarang konten merusak dan memastikan media menjadi alat untuk mencerdaskan generasi sesuai syariat Islam. Kemudian masyarakat didorong untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. 


Selain itu, sistem hukum diberlakukan secara tegas bagi yang melanggar hukum syarak dan pelaku kerusakan. Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam. Alhasil, sistem Islam tidak menjadikan ruang digital sebagai alat eksploitasi yang hanya memikirkan keuntungan materi tanpa memikirkan kerusakan yang ditimbulkan. 


Khatimah


Negara dalam Islam menjadi pelindung generasi dari kerusakan pemikiran, ideologi, dan moralitas. Semua itu hanya akan terwujud dengan penerapan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah Islamiah. 


“Imam (khalifah) itu laksana perisai, di belakangnya umat berperang dan berlindung. (HR. Muslim) 


Wallahualam bissawab.

Generasi Muda Takut Nikah Luka Ekonomi Kapitalis

Generasi Muda Takut Nikah Luka Ekonomi Kapitalis



Fenomena banyaknya anak muda yang takut menikah bukan hanya perihal culture sosial atau cara untuk mengungkapkan sebuah perasaan

Namun, menikah harus memiliki landasan untuk menaati apa yang Allah perintahkan


_________________________


Penulis Tri Ayu Lestari, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Akhir-akhir ini ada banyak sekali berita yang memperkuat opini anak muda terutama Gen Z untuk takut menikah. Video pernyataan di platform media sosial yang tidak lagi tersaring, seperti Instagram, tiktok, threads, X, atau platform lainnya menjadi pendukung utama untuk mereka menerima informasi, bahwa menikah bukan solusi, malah menambah beban katanya.


Dilansir dari kompas.com 5 Oktober 2025 lalu threads diramaikan dengan pembahasan terkait anak-anak muda yang khawatir menuju jenjang pernikahan bahkan tak sedikit yang memiliki niat untuk tidak menikah. Video itu viral di media sosial sampai disukai oleh lebih 12.500 kali pengguna. Di mana video tersebut menunjukkan bahwa ada banyak sekali anak muda yang merasa relate dengan pernyataan yang tercantum dalam video tersebut.


Hal ini tidak mungkin terjadi dengan begitu saja. Ada banyak sekali faktor yang memicu anak muda untuk punya opini "takut menikah". Faktanya dapat dilihat dari banyaknya anak muda yang menunda menikah terutama dengan alasan "hidupku aja belum stabil", "aku belum mapan, gimana mau ngasih makan anak orang", masalah ekonomi yang selalu jadi tumpuan permasalahan.


Jika dilihat dari tombak permasalahannya, yang pertama kali diserang adalah pemikiran atau mindset anak muda terutama Gen Z bahwa "menikah menambah masalah" sampai mereka jarang mau menulusuri kenapa Allah memerintahkan kita untuk menikah. Dalam sebuah hadis Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda :

 

"Dari Abdullah, dia berkata: bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, siapa saja yang telah mampu di antara kalian maka hendaklah ia menikah. Sebab nikah itu merupakan hal yang paling bisa menundukkan pandangan dan pemelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, maka berpuasalah. Karena puasa adalah sebagai perisainya.” (HR. Muslim)  


Dari hadis di atas Rasulullah menyampaikan bahwa, "menikah adalah cara benar untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan". Namun, fakta yang banyak terjadi di lingkungan kita sekarang, mereka lebih percaya diri untuk pacaran di bandingkan menuju jenjang pernikahan.


Selain itu, maraknya berita perselingkuhan, pembunuhan yang disebabkan karena hal sepele oleh pacarnya misal, atau tren-tren yang menunjukkan perubahan dari masa gadisnya yang cantik rupawan, tetapi setelah menikah terlihat lebih tidak terurus. Padahal hal-hal seperti itu tidak perlu jadi masalah yang dibesar-besarkan sekali. Dalam Islam, menikah adalah sebuah jalan untuk mencapai ketenangan, tetapi syaratnya adalah dengan jalan yang Allah ridai. 


Menempuh makna sakinah, mawaddah, dan warahmah tidak mungkin dengan jalan pacaran, atau HTS-an. Hal tersebut sudah jelas pembagian tentang batasan antara laki-laki dan perempuan Selain beberapa hal di atas, ada satu hal yang selalu jadi alasan kuat seseorang menunda bahkan takut membahas pernikahan, yaitu masalah ekonomi yang belum stabil atau belum masuk definisi mapan di kalangan masyarakat kita sekarang.


Allah berfirman dalam QS An-Nur: 32, "Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32)


Coba kita telaah ayat di atas, Allah tidak menyatakan nanti Aku miskinkan orang yang menikah. Namun sebaliknya, Allah akan memberikan rezeki yang luas untuk orang yang menikah. Karena Maha luas pemberian-Nya, sesuai dengan syarat dan ketentuan.


Hal pertama yang harus kita kuatkan adalah iman. Keyakinan bahwa Allah akan memberikan karunia-Nya jika kita menikah dengan jalan yang benar. Lalu, tujuan kita menikah untuk apa, dan terakhir libatkan Allah di dalamnya. Begitulah solusi yang Allah tetapkan dan Islam ajarkan. 

 

Namun, di zaman sekarang sistem kapitalis yang membuat ekonomi makin runyam. Di mana semua pokok kebutuhan melambung. Sedangkan pendapatan stagnan, akhirnya muncullah bibit-bibit pemikiran yang membuat aturan Allah makin terlihat 'menakutkan', salah satunya tentang "pernikahan".


Satu lagi permasalahan yang di anggap sepele namun sangat merusak di zaman sekarang, perihal tentang over sharing. Semua bentuk keluhan bisa di cerita lewat story Instagram, story WhatsApp, atau media sosial lainnya. Akhirnya, menyebabkan banyak anak muda overthinking sebelum mengambil tindakan.


Dalam Islam, semua ada aturannya. Allah telah memberikan kita anugerah berupa naluri berkasih sayang yang tujuannya untuk melestarikan keturunan. Ketika seorang pemuda belum siap Allah perintahkan agar mereka menundukkan pandangan, dan saat mereka siap Allah perintahkan untuk segera menghalalkan sang pujaan yang selalu didambakan. Culture sosial yang Islam ajarkan tidak sama sekali merugikan atau menyesatkan.


Penutup


Fenomena banyaknya anak muda yang takut menikah bukan hanya perihal culture sosial atau cara untuk mengungkapkan sebuah perasaan. Namun, menikah harus memiliki landasan untuk menaati apa yang Allah perintahkan. Islam memiliki solusi yang menyeluruh melalui sistem yang berdasarkan syariat yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan menjaga kehormatan, pergaulan dijaga, hubungan antarlawan jenis jelas batasannya.


Kebutuhan ekonomi tentu ada aturannya. Masyarakat dibangun atas dasar takwa. Inilah suasana sosial yang ingin dicapai Islam dengan menegakkan perintah Allah secara kafah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Perangkap Algoritma Kapitalis Cara Menarik Judol dan Pinjol

Perangkap Algoritma Kapitalis Cara Menarik Judol dan Pinjol




Sudah jelas kita melihat bahwa ruang digital saat ini

sepenuhnya tunduk pada logika keuntungan kapitalis


_______________________


Penulis Sari Yuliyanti

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari ini, masyarakat banyak disuguhkan dengan data banyaknya anak muda yang terjerumus ke dalam permainan judi online dan pinjaman online. Data yang dikeluarkan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa jumlah utang pinjol warga Indonesia hingga Juli 2025 meningkat sekitar 22,01% dari tahun sebelumnya. Saat ini mencapai Rp84,66 triliun dari sebelumnya Rp69,39 triliun. Angka ini juga terus membesar setiap harinya. (detik.com, 05-09-2025)


Yang mengejutkan adalah ternyata peminjam usia muda 19-34 tahun (milenial dan Gen Z) memiliki porsi pinjaman sekitar 57% dari keseluruhan total pinjaman. (kabar24.bisnis.com, 16-03-2024)

 

Kelompok usia inilah yang disinyalir mendominasi kredit macet pinjol alias gagal bayar. Tidak sampai di situ, lebih memprihatinkan lagi survei terbaru di tahun 2025 menunjukkan angka 58% Gen Z pengguna pinjol termotivasi menggunakan pinjol untuk kebutuhan konsumtif alias sekadar memenuhi gaya hidup. (surabaya.kompas.com, 07-05-2025)


Sementara untuk judol, sebanyak 960.000 pelajar dan mahasiswa di Indonesia terlibat kasus judol (kompas.com, 22-11-2025). Data demografi menunjukkan angka yang lebih detail, yaitu pemain judol usia di bawah 10 tahun terdapat 80.000 orang (2% dari total pemain), sebaran pemain antara usia 10-20 tahun sebanyak kurang dari 440.000 orang (11% dari total pemain), dan pemain usia 21-30 mencapai 520.000 orang (13% dari total pemain). Sisanya adalah pemain dari kalangan usia 30-di atas 50 tahun.(ppatk.go.id, 26-07-2024)


Sangat miris sekali, angka-angka ini adalah indikasi serius bahwa generasi muda sangat rentan sekali terseret permainan judol dan pinjol dalam ruang digital. Generasi muda yang sudah terjebak dengan permainan ini merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah karena kekhilafan semata. Namun, apakah benar?


Nyatanya jika ditelisik lebih dalam lagi, yang terjadi jauh lebih sistematis dari sekadar kata “khilaf”. Anak-anak muda ini tidak sekadar tergoda, tetapi memang sedang diarahkan oleh perangkap algoritma kapitalis. Perangkap itu dibuat agar semua yang masuk dalam permainan dan tidak bisa keluar kecuali terus mengikuti putaran permainan hingga keputusasaan menggerogoti hidupnya. 


Lalu, bagaimana permainan tersebut bisa menjebak generasi muda Indonesia? 


Dalam dunia digital kita mengenal ada istilah algoritma. Algoritma media sosial dan platform digital bekerja dengan satu tujuan utama yaitu membuat pengguna media sosial mampu bertahan selama mungkin di dalam aplikasi. Setiap yang dilakukan pengguna dari mulai klik, pencarian, tontonan, dan scroll akan direkam. Dari sanalah, akhirnya sistem memetakan kondisi psikologis pengguna. Apakah ia dalam kondisi sedang cemas, membutuhkan tambahan uang, merasa haus validasi dan ingin diakui, atau lainnya. 


Bagi anak muda yang kehidupannya berada dalam tekanan ekonomi, sinyal ini sangat jelas dan mudah dibaca oleh algoritma. Ketika mereka mencari cara cepat dapat uang, menonton konten flexing, atau sering melihat konten motivasi menjadi kaya di usia muda, algoritma akan membaca hal-hal tersebut. Hingga muncullah iklan pinjaman online yang cair hanya “5 menit” dan konten judi online yang biasanya akan menjanjikan perubahan hidup hanya dalam satu klik saja. 


Hal inilah, yang tidak disadari oleh anak-anak muda. Bahwa sebenarnya konten itu tidak muncul secara acak melainkan karena telah diprogram untuk menemukan orang yang tepat dan rentan di saat yang paling rapuh. Platform digital disetting bukan untuk memprioritaskan keselamatan pengguna, tetapi ia akan menghitung keuntungan yang bisa mereka hasilkan dari para pengguna.


Aplikasi judol dan pinjol adalah dua jenis produk dengan iklan yang mahal, konversi tinggi, dan sifat adiktif yang besar. Karena itu, algoritma akan melihat keuntungan besar dari dua jenis produk tersebut. Tak heran, algoritma akan terus mendorongnya semakin ke atas yang efeknya berarti makin mudah diakses oleh banyak pengguna media sosial. Konten berbahaya tidak akan dihentikan karena trafficnya tinggi. Keselamatan mental, finansial, dan moral anak-anak muda inilah yang akan dikorbankan atas nama engagement.


Anak-anak muda ini akhirnya masuk dalam lingkaran psikologis yang sangat berbahaya. Lingkaran harapan, klik, rasa hampir berhasil, candu, mengulang, dan begitu seterusnya. Ini adalah rekayasa perilaku sistemik yang akan menelan banyak korban. Uniknya, si korban merasa ia yang memilih, tetapi sebenarnya ia masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan dengan arahan-arahan menggiurkan. 


Dari rangkaian kerja algoritma di atas, sudah jelas kita melihat bahwa ruang digital saat ini sepenuhnya tunduk pada logika keuntungan kapitalis. Manusia adalah ladang data dan sumber uang yang menguntungkan bagi mereka. Generasi muda yang seharusnya jadi aset emas masa depan, dihitung sebagai pasar potensial yang bisa dikorbankan untuk kepentingan para kapital. Sangat miris bukan?


Lalu apa yang bisa kita lakukan?


Dalam perspektif Islam, akar masalah ini bukan perilaku individu melainkan sistem. Sistem kapitalisme yang sangat membahayakan sudah merancang banyak permainan untuk menjebak korban hanya karena keuntungan sehingga perlu ada perubahan sistemik untuk bisa menghentikan permainan-permainan berbahaya ini. Perubahan sistemik itu tidak lain dengan mengubah sistem yang diterapkan dari sistem kapitalisme menjadi sistem Islam di bawah naungan Khil4fah Rasyidah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. 


Sistem Islam dalam Khil4fah akan merancang sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan rakyatnya tiap individu per individu. Negara berkewajiban memastikan kebutuhan primer rakyat terpenuhi yaitu sandang, pangan, papan. Alhasil, tidak ada lagi rakyat yang memiliki kecemasan dan merasa perlu jalan pintas karena kesulitan hidupnya.


Pendidikan dalam Islam harus dapat membentuk kepribadian Islam, yaitu membentuk pola pikir dan pola sikap yang terikat dengan konsep halal dan haram. Yang ditanyakan oleh seorang muslim bukan menguntungkan atau tidak, tetapi halal ataukah haram. Dengan paradigma ini, generasi muda muslim akan lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya dan tidak akan mudah tergiur dengan permainan yang menguntungkan namun masuk kategori haram.


Di sisi lain, infrastruktur digital dalam naungan Khil4fah akan dibangun atas paradigma Islam bukan profit. Algoritma akan diarahkan untuk melindungi generasi. Konten merusak berbahaya akan diblokir sebagai langkah preventif, normalisasi atas perbuatan kemaksiatan akan dicegah, dan kriminalitas digital akan ditindak tegas bahkan dari hulunya. 


Walhasil, jika negara terus berdiri di sisi algoritma kapitalis, generasi emas kaum muslim akan terus dijadikan mangsa. Mari selamatkan generasi dengan perubahan sistemik menuju Khil4fah Alaa Minhajin Nubuwah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Happy Marriage VS Scarry Marriage

Happy Marriage VS Scarry Marriage



Jika ini terus dibiarkan negeri dengan bonus demografi pun bisa punah

ketika masa-masa fertilitas tidak digunakan tepat pada masa suburnya


_______________________


Penulis Yuli Mariyam 

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Allah Swt. menciptakan manusia dengan segala potensi dan nalurinya. Salah satu potensi yang dimiliki manusia adalah bertumbuh dan berkembang biak. Manusia memenuhi kebutuhan jasmaninya dengan makan, minum, tidur, dan beraktivitas. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi bisa mengakibatkan pada kematian.


Potensi yang lain adalah rasa. Semua manusia dibekali dengan rasa marah, sedih, bahagia, dan malu. Dengan tujuan manusia bisa mengekspresikan diri dalam merespons sebuah kondisi. Syeikh Taqiyudin An Nabhani menuliskan dalam kitab Nizamul Islam bab 2 tentang qada dan qadar. Selain mempunyai potensi, manusia juga punya gharizah atau naluri yang dibagi menjadi tiga, yakni naluri berketuhanan atau gharizah tadayyun, naluri mempertahankan diri atau gharizah baqa’ dan naluri berkasih sayang atau gharizah nau’.


Ketiga hal tersebut juga harus dipenuhi. Jika tidak, manusia akan gelisah. Naluri berkasih sayang bertujuan untuk melestarikan keturunan. Adapun menikah adalah jalan satu-satunya yang dibolehkan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam surah Ar-Rum ayat 21 Allah Swt. menjanjikan bahwa dengan menikah manusia akan mendapatkan sakinah (ketenangan), mawaddah (rasa ingin membahagiakan pasangan), dan juga rahmah (kasih sayang).


Namun, pandangan pernikahan tersebut saat ini mengalami pergeseran nilai di masyarakat terutama pada generasi muda (Gen Z). Pernikahan yang harusnya mengantarkan pada kebahagiaan berubah menjadi hal menakutkan. Ya, scarry marriage menjadi tren di kalangan pemuda. Mereka lebih memilih hidup melajang dengan serba ada daripada harus menikah, tetapi dengan bayang-bayang kemiskinan. Hal ini dipicu oleh pandangan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan. (Kompas.com, 27-11-2025)


Ideologi Kapitalis Adalah Biang Masalah


Kapitalisme dengan asas sekularisme meniadakan keyakinan bahwa Allah adalah Sang Pemberi rezeki. Dalam kondisi kebutuhan pokok yang melambung tinggi, pendidikan yang hanya bisa dijangkau oleh yang berdompet tebal dan kesehatan yang mahal, lapangan kerja yang menyempit, membuat pemuda memilih menghidupi dirinya sendiri dari pada harus menambah beban dengan menikah. Ditambah lagi dengan sifat konsumtif generasi muda.


Hedonisme dan karir menjadi lebih penting dari sebuah pernikahan. Tak kalah penting adalah angka perceraian atau kematian yang meningkat tajam yang diekspos oleh media dengan berbagai penyebab seperti perselingkuhan, ekonomi sulit, KDRT makin memperkuat ketakutan Gen Z untuk menikah. Padahal jika ini terus dibiarkan negeri dengan bonus demografi pun bisa punah ketika masa-masa fertilitas tidak digunakan tepat pada masa suburnya. Negeri akan kehilangan generasi seperti Jepang dan Swiss.


Ada yang harus diubah dari pemahaman generasi ini agar sumber daya manusia tetap ada dan terjaga kelestariannya. Semua harus kembali kepada aturan yang sudah diberikan oleh Allah Swt. sebagai  pencipta manusia. Dialah yang mengetahui apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Islam adalah sebuah aturan kehidupan yang sempurna dan paripurna.


Dalam memandang persoalan pernikahan, pendidikan yang berasaskan akidah Islam adalah kunci utamanya. Pemuda akan diberikan pengajaran secara formal dan nonformal akan ibadah terpanjang tersebut. Bagaimana kedudukan laki-laki sebagai qawwam atau pemimpin? Siapa saja yang dalam tanggungannya? Bagaimana harus menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka?


Seperti seruan Allah dalam Al-Qur'an surah At-Tahrim ayat 6: "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."


Perempuan juga akan mendapatkan pengajaran sebagai pendamping yang bisa mengantarkan kepada ketenangan pasangannya. Bagaimana cara dia harus menjaga diri, harta dan kehormatan suaminya, menjadi ibu dan juga pengatur rumah.


Tidak hanya pemuda yang akan menjalani biduk rumah tangga, orang tua juga punya peran menyiapkan anaknya untuk menikah. Jika seseorang belum menemukan pasangan saat usia dan pemikirannya sudah matang, negara harus berperan dengan mencarikan pasangan. Hal ini seperti kisah Rasulullah yang mencarikan pasangan bagi Zulaibib, seorang sahabat yang salih, tetapi tak segera mendapat pasangan karena buruk rupa dan miskin.


Bahkan, negara Islam akan memudahkan prosesi pernikahan dengan menggelar pernikahan massal agar pemuda tidak takut dengan biaya pernikahan yang disebut-sebut menjadi beban berat bagi kedua keluarga mempelai. Terkait dengan nafkah, negara Islam akan menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang murah dan terjangkau.

 

Negara akan menghidupkan tanah mati dengan memberi izin kepada umat yang mampu mengelola tanah tersebut. Dengan memperhatikan apakah tanah tersebut adalah tanah pertanian, perkebunan, hunian, dan bukan tanah pertambangan apalagi tanah hima yang harus dijaga kelestarian ekosistemnya. 


Dengan pengelolaan sumber daya alam yang tepat, negara akan berdaya dalam memberikan pelayanan terbaik dalam pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat hanya perlu bekerja untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok saja yakni sandang, pangan, dan papan.

 

Alhasil, waktu mereka akan lebih disibukkan dengan urusan akhirat, sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah. Aktivitasnya menjadi khalifah di muka bumi semata-mata untuk menyiapkan jawaban atas pertanyaan di akhirat kelak, dan surga adalah sebaik-baik tempat kembali. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Sirine Darurat Kerusakan Ekologis Ekstrem

Sirine Darurat Kerusakan Ekologis Ekstrem

 



Berbagai bencana cuaca yang terjadi adalah wajah krisis iklim yang makin mendesak kehidupan kita

Sirine darurat kerusakan ekologis ekstrem


__________________________


Penulis Nahida Ilma

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kalau cuaca sekarang sudah terasa absurd, itu baru trailernya. Full movienya ada di 2050. Bayangkan di 2050 nanti kita akan hidup di tengah climate chaos. Bencana pun datangnya bukan satu-satu lagi, tetapi secara bersamaan. (Forest Watch Indonesia, 13 November 2025)


Sepanjang Januari-November 2025 terjadi sebanyak 2.919 bencana di mana hampir 99% banjir dan cuaca ekstrem. BNPB menyebutkan hampir seluruh bencana 2025 adalah bencana cuaca. Mirisnya, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Malaysia beberapa waktu lalu kembali mengalami banjir besar yang memaksa ribuan orang mengungsi.

 

Thailand dilanda banjir luas di wilayah selatan. Filipina yang sudah terbiasa menghadapi topan, sekarang berhadapan dengan badai yang lebih kuat dari kategori sebelumnya (Greenpeaceid, 27 November 2025). Krisis iklim juga membuat curah hujan makin tinggi dan angin makin kencang di G4za selama musim dingin tahun ini. (Tempo.co, 16 November 2025)


Narasi yang sama terus diulang setiap kali dunia sedang menghadapi bencana cuaca. Hujan menjadi kambing hitam karena sistem ekologi telah dirusak. Padahal hujan adalah salah satu proses alami yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem bumi. Hujan memang turun dari langit dan itu normal, tanah yang rusaklah yang membuat bencana. Ketika hutan masih utuh, bukit masih punya akar pepohonan dan tanaman punya daya serap. Hujan sederas apa pun tidak akan seketika menyebabkan banjir dan longsor.


Berbagai bencana cuaca yang terjadi adalah wajah krisis iklim yang makin mendesak kehidupan kita. Sirine darurat kerusakan ekologis ekstrem. Ketika hulu terus dibabat, hilir akan terus tenggelam. Krisis iklim yang bukan lagi ancaman masa depan, tetapi ia sudah hadir hari ini. Ketika ini dirasakan oleh seluruh belahan bumi, kita tentu perlu menduga bahwa ada masalah yang mendasar dan sistematis yang mengakibatkan semua ini terus terjadi.


Disampaikan dalam situs resmi un.org, sejak 1800-an aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim. Berhubungan dengan aktivitas manusia tidak terlepas dari cara pandangnya tentang kehidupan. Ketika kehidupan dilihat sebagai segala sesuatu yang dapat dikomoditaskan, hal ini menjadi faktor utama krisis iklim hari ini. Kehidupan dinilai sebagai kegiatan produksi dan konsumsi. 


Hal ini ditegaskan Masoud Movahed peneliti ekonomi di New York University, “Pertumbuhan dan konsumerisme adalah inti sistem ekonomi kapitalisme. Tuntutan untuk terus meningkatkan produksi dan konsumsi telah mendorong eksploitasi SDA secara besar-besaran. Demi menekan biaya produksi dan memenangkan persaingan, para korporat tidak segan-segan mengorbankan kelestarian lingkungan. 


Teori-teori penanganan krisis iklim dari berbagai sudut pandang tentu saja sudah lahir. Berbagai penemuan solusi praktis dan teknikal penanganan krisis iklim juga tak kurang-kurang lahir dari para peneliti. Tentu saja konferensi-konferensi terkait isu ini juga sudah berulang kali dilakukan. Namun, forum bergensi seperti Conference of the Parties (COP) tak ubahnya menjadi platform greenwashing terbesar di dunia ketika sudut pandang kapitalisme tetap melekat.


Perusahaan dan negara-negara pelaku polusi terbesar dapat menebus "dosa iklim" mereka dengan mengumumkan komitmen net-zero di tahun 2050, sambil terus mengekspansi proyek mineral, batu bara, minyak, dan gas. Mereka menciptakan narasi seolah-olah sedang bergerak. Padahal mereka hanya menendang masalah ke bawah tangan, ke pundak generasi mendatang. Jelaslah, kapitalisme paling bertanggung jawab atas krisis iklim hari ini.


Tuntutan logis bagi dunia ini adalah kembali pada sistem kehidupan yang berasal dari Zat Pencipta planet bumi, manusia, alam semesta dan kehidupan. Allah menciptakan planet bumi dan segala isinya dengan ukuran masing-masing sehingga serasi dan harmoni satu sama lain. Puluhan tahun sebelumnya, Allah sudah memberi pesan pada umat manusia melalui Rasul-Nya.


Sesuai Firman-Nya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41)


Dalam perspektif Islam, negara diposisikan sebagai pihak yang wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar dan kesejahteraan individu. Rasulullah saw. menegaskan: “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)


Atas dorongan keimanan, pemimpin dalam negara Islam memiliki kesadaran penuh bahwa amanah yang diembannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kacamata keimanan pula yang menghadirkan pemahaman bahwa setiap apa pun di alam semesta merupakan titipan Allah yang dapat dimanfaatkan untuk menopang kehidupan manusia tanpa merusaknya.


Negara sebagai subjek yang diamanahi oleh As-Syari untuk mengelola kepemilikan umum, yaitu SDA akan melakukan eksploitasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan publik. Produksi akan dilakukan jika dibutuhkan. Jika belum dibutuhkan akan digunakan sebagai cadangan.

 

Allah menyediakan seperangkat aturan kehidupan berupa sistem kehidupan Islam agar planet bumi lestari. Bukan hanya menjaga kelestarian, tetapi juga berfaedah maksimal bagi kehidupan masyarakat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Generasi Muda, Ingatan Tua: Alarm Digital Dementia

Generasi Muda, Ingatan Tua: Alarm Digital Dementia




Fenomena remaja jompo akibat dementia adalah alarm sosial yang tidak boleh diabaikan

Orang tua, pemerintah, dan masyarakat harus bersama-sama menjaga generasi muda agar tidak kehilangan akal juga jiwa mereka


_________________________


Penulis Mommy Hulya

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Gen Z merupakan istilah untuk anak-anak muda zaman sekarang. Jika dilihat dari usia, Gen Z seharusnya generasi yang saat ini dalam usia produktif, sehat, mudah menerima pelajaran bisa dibilang masa di mana bunga sedang mekar-mekarnya. Namun ironisnya, fenomena yang kita lihat saat ini adalah generasi yang lemah fisik juga lemah psikis.

 

Bagaimana tidak di usia muda tak jarang dari mereka mudah sakit ringkih layaknya orang tua yang sudah jompo. Mudah lupa, mudah lelah, sulit fokus dan banyak lagi gejala yang menyerupai orang jompo. Itulah mengapa istilah remaja jompo sering kali terdengar di telinga.Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Dilansir dari kompas.id


Ciri-ciri remaja jompo, yaitu: mudah lupa, sulit fokus. Cepat lelah ringkih secara fisik maupun psikis. Bagaimana tidak mudah lupa, mereka selalu mengandalkan bantuan gawai untuk mengingat segala hal. Kondisi ini disebut digital demensia yang pertama kali diperkenalkan oleh ahli syaraf Jerman Manfred Spitzer yang menggambarkan demensia yang dialami anak muda karena tergantung pada perangkat digital. Istilah ini merupakan fenomena sosial neurologis, tetapi tidak termasuk dalam diagnosis medis.


Dampak yang Diakibatkan Fenomena Digital Dementia 


Dampak Sosial dan Pendidikan 


Digital dementia juga berdampak pada dunia pendidikan. Remaja saat ini kesulitan memahami pelajaran karena fokusnya mudah terpecah oleh notifikasi gawai. Bukan hanya itu, hal ini juga dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis.


Akibatnya, proses belajar menjadi dangkal dan membentuk karakter yang lemah diusia yang seharusnya produktif justru kehilangan semangat belajar sehingga mengakibatkan fondasi lemah masa depan bangsa. Apabila remaja gen Z sudah kehilangan daya saing sejak dini, bagaimana mereka bisa menjadi pemimpin yang tangguh di masa depan?


Dampak pada Kesehatan Mental 


Screen time berlebihan membuat mereka lebih mudah cemas, sulit tidur, dan kehilangan kemampuan berinteraksi secara sehat dengan lingkungan sekitar. Minimnya waktu untuk berinteraksi dengan orang lain membuat remaja rentan terhadap depresi, kecemasan, kesepian serta rasa tidak percaya diri.


Sebagai contoh balita dengan screen time berlebihan akan mengalami keterlambatan bicara. Hal tersebut terjadi karena tidak terbiasa berbicara dengan orang lain. Apa jadinya jika situasi ini terus terjadi hingga anak remaja? Mereka akan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial.


Remaja jompo bukan hanya masalah individu, tetapi masalah orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Ini merupakan tanggung jawab bersama. Jika kita membiarkan mereka tenggelam dalam gawai sama saja dengan membiarkan masa depan bangsa melemah. 


Islam Solusi Digital Dementia


Ada beberapa hal yang mungkin bisa diterapkan oleh para orang tua untuk mengurangi digital dementia:

1. Berikan teladan untuk anak. Tidak hanya melarang anak jauh dari gadget sementara kita sebagai orang tua tetap sibuk dengan gadget.

2. Kebijakan edukasi digital yang jelas, bukan sekadar melarang penggunaan teknologi, tetapi tidak membatasi akses digital secara umum sehingga anak-anak masih leluasa bermain.

3. Masyarakat perlu memberikan ruang interaksi yang sehat bagi anak muda.

4. Pembatasan penggunaan gawai di sekolah juga tidak kalah penting.


Gadget hanya alat, bukan tujuan hidup. Oleh karena itu, jika alat ini membuat manusia lalai, ia menjadi fitnah yang merusak generasi muda. Rasulullah saw. pernah mengingatkan bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Amanah menjaga akal dan jiwa generasi muda adalah tanggung jawab besar yang tidak boleh diabaikan.


Dalam Islam, menjaga akal dan jiwa merupakan bagian dari amanah yang harus dipelihara. Lalai membiarkan anak rusak oleh gadget sama dengan lalai menjaga amanat Allah. Manusia terlalu sibuk dengan layar hingga lupa diri, lupa waktu, dan lupa Allah. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 36: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hari. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban."

 

Ayat ini mengikatkan bahwa setiap penggunaan indra, termasuk saat menatap layar, akan dimintai pertanggungjawaban. Fenomena remaja jompo akibat dementia adalah alarm sosial yang tidak boleh di abaikan. Orang tua, pemerintah, dan masyarakat harus bersama-sama menjaga generasi muda agar tidak kehilangan akal juga jiwa mereka. 


Fenomena remaja jompo akibat digital dementia hanya salah satu dari banyaknya masalah yang menimpa umat. Lemahnya psikis dan fisik menunjukan bahwa kita tidak bisa hidup tanpa Islam kafah. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 208: "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kafah dan janganlah kamu ikuti langkah-langka setan. Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.”


Dalam ayat ini, menegaskan bahwa hanya dengan Islam kafah seluruh masalah umat teratasi bukan sekadar ritual, tetapi juga sistem hidup yang menjaga akal, jiwa, keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Oleh karena itu, mari kita kembali kepada Islam secara menyeluruh menjadikan pedoman hidup agar tak ada lagi remaja jompo melainkan tumbuh sebagai generasi tangguh yang berpegang teguh pada amanah Allah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]