Featured Post

Recommended

Pembatasan Bansos Bukti Abainya Negara

Kemiskinan merupakan permasalahan sistemis yang diakibatkan oleh penerapan kapitalisme Islam memandang jika pemberian bansos bukanlah solusi...

Alt Title
Pembatasan Bansos Bukti Abainya Negara

Pembatasan Bansos Bukti Abainya Negara



Kemiskinan merupakan permasalahan sistemis yang diakibatkan oleh penerapan kapitalisme

Islam memandang jika pemberian bansos bukanlah solusi hakiki dalam mengentaskan kemiskinan

_______________________________


Penulis Siska Juliana

Tim Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hidup sejahtera merupakan dambaan bagi setiap orang. Sejahtera berarti aman, tenteram, dan makmur. Hal itu menjadi kewajiban para pemangku jabatan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Oleh karena itu, pemerintah memberikan bansos guna meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Sejauh mana bansos membantu rakyat? Bisakah bansos menjadi solusi hakiki? 


Pembatasan Bansos 


Pernyataan dari Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat mengungkapkan bahwa masyarakat miskin dan miskin ekstrem yang berusia produktif hanya menerima bantuan sosial (bansos) maksimal lima tahun.


Leontinus Alpha Edison selaku Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Perlindungan Pekerja Migran menyatakan jika pemerintah tidak ingin masyarakat miskin dan miskin ekstrem terus menerus menerima bansos. Hanya masyarakat miskin dan miskin ekstrem penyandang disabilitas dan lansia masih bisa menerima bansos. Mereka yang tidak menerima bansos akan diarahkan untuk berdaya secara ekonomi melalui program Perintis Berdaya.


Terdapat empat pilar dalam program Perintis Berdaya yaitu berdaya bersama, berdaya berusaha (akses usaha bagi pengusaha,UMKM, ekonomi kreatif, dan koperasi), pembiayaan yang inklusif, berdaya global. 


Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menyatakan bahwa 3,17 juta penduduk Indonesia atau 1,13 persen masih tergolong miskin ekstrem. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah kepala rumah tangga lulusan Sekolah Dasar (SD). Kategori miskin ekstrem jika masyarakat memiliki pengeluaran di bawah Rp400.000 per bulan. Sedangkan kategori miskin jika pengeluarannya di bawah Rp600.000. (kompas.com, 27-06-2025)


Catatan Merah 


Adanya penghapusan bagi penerima bansos menjadi salah satu catatan merah. Selama ini, penyaluran bansos masih terdapat banyak masalah. Apalagi saat ini akan dihapuskan. 


Ha ini menunjukkan gagalnya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Adanya pemberian bansos merupakan tanda bahwa banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data BPS tahun 2024 terdapat 24,06 juta orang atau 8,57 persen total penduduk. 


Adanya bansos hanya meredakan nyeri sesaat. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru menambah beban ekonomi rakyat. Roda perekonomian diharapkan berjalan dengan adanya bansos, tetapi segala sesuatu dikenai pajak dan berbagai harga kebutuhan naik. 


Berapa pun biaya yang dikeluarkan tidak akan mampu mengatasi permasalahan tersebut karena penyebab kemiskinan sejatinya adalah kapitalisme yang membuat kesenjangan sosial makin terbuka lebar.


Pada tahun 2018, Credit Suisse yang bertajuk Global Wealth Report melaporkan bahwa 10 orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara itu, 1% orang terkaya mendominasi 46% total kekayaan penduduk dewasa. 


Dalam rentang 2021—2022 saja, jumlah orang kaya di Indonesia melonjak dari 82.012 orang menjadi 134.015 orang. Bahkan, laporan The Wealth Report 2022 yang dipublikasikan Knight Frank per 1 Maret 2022 saat itu mengatakan jumlah orang kaya di Indonesia akan naik 63% dalam lima tahun mendatang.


Islam Mampu Mengentaskan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan permasalahan sistemis yang diakibatkan oleh penerapan kapitalisme. Islam memandang jika pemberian bansos bukanlah solusi hakiki dalam mengentaskan kemiskinan. Dalam sistem Islam, orang miskin mungkin ada, tetapi jumlahnya sangat minim. 


Negara menjamin kebutuhan primer dengan mewujudkan pengaturan, seperti laki-laki diwajibkan untuk menafkahi diri dan keluarganya. Jika kepala keluarga terhalang untuk mencari nafkah karena sakit, cacat fisik atau mental, usia lanjut dan sebagainya, maka nafkah dibebankan pada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah. 


Namun, saat kerabat yang dimiliki hidupnya pas-pasan, maka pihak yang berkewajiban memberi nafkah adalah negara yang diambil dari baitulmal (kas negara). Jika baitulmal dalam keadaan kosong, kewajiban nafkah beralih ke kaum muslim secara kolektif. 


Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memungkinkan setiap individu untuk mencari harta dan memilikinya sesuai syariat Islam. Adapun kepemilkan umum dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, bisa berupa harga murah atau bahkan gratis.


Contoh harta milik umum adalah minyak bumi, sungai, danau, barang tambang, hutan, jalan umum, listrik, dan sebagainya. Harta ini wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diswastanisasi dan diprivatisasi sebagaimana dalam kapitalisme. 


Islam mendistribusikan kekayaan secara merata.


 “...supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr: 7)


Negara memiliki kewajiban untuk melakukan distribusi harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Selain itu, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja, terutama untuk laki-laki sebagai pencari nafkah.


Negara juga menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan. Salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah sehingga berpengaruh pada kualitas SDM. Di sinilah peran negara dibutuhkan untuk memberikan pendidikan secara gratis. Begitu pula dengan layanan kesehatan.


Khatimah 


Dengan demikian, Islam telah mengatur secara rinci pemenuhan dasar bagi rakyat agar kemiskinan struktural dapat diatasi. Jika seluruh mekanisme ini dilakukan, maka tidak perlu ada bansos. Kalaupun ada sifatnya hanya temporal dan diberikan pada individu yang benar-benar membutuhkan menurut pandangan Islam. Penerapan syariat Islam mampu menciptakan kesejahteraan dan bukti ketaatan kepada Allah Swt.. Wallahualam bissawab.

Bullying Anak Cermin Rusaknya Sistem

Bullying Anak Cermin Rusaknya Sistem




Paradigma kapitalis sekuler yang diterapkan di negara kita dan di dunia pendidikan 

menghambat anak-anak untuk mengembangkan karakternya sejak dini

_______________________


Penulis Manna Salwa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Kasus perundungan anak di Bandung kembali menyita perhatian publik. Dikutip dari Kompas.com, (30-06-2025) seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dilempar ke dalam sumur oleh teman-temannya, hanya karena tidak mau minum tuak. 


Kejadian ini sempat menjadi berita utama, tetapi sayangnya bukan yang pertama kali. Tahun lalu, beredar video di Bandung yang memperlihatkan seorang siswa SMP dipukuli oleh teman-temannya secara bergantian dan diancam dengan obeng. (Kompas.com, 10-06-2025)


Meski pihak sekolah dan kepolisian sudah turun tangan, perundungan tetap saja terjadi. Menurut data dari Kompas.tv (30-12-2024), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)  sepanjang tahun 2024 tercatat lebih dari 570 kasus kekerasan terjadi di sekolah yang sebagian besar bermotif perundungan. Ironisnya, angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Hal ini menjadi peringatan bahwa perundungan bukan hanya satu atau dua kasus, melainkan puncak gunung es, hanya sebagian kecil dari kenyataan yang ada.


Fenomena perundungan ini menunjukkan betapa rusaknya hubungan sosial anak. Dalam banyak kasus, pelakunya adalah teman sekelas korban, atau dalam beberapa kasus, teman sekelasnya. Jika anak-anak tidak ragu menggunakan kekerasan verbal atau fisik, bahkan memberikan obat-obatan terlarang seperti tuak kepada teman-temannya.


Kita harus mengakui dengan jujur bahwa bukan hanya tindakan mereka yang menyiksa, tetapi juga lingkungan dan sistem tempat mereka dibesarkan. Banyak korban tidak dapat berbicara karena takut akan pembalasan atau merasa tidak akan menerima penyelesaian yang adil.


Prosedur seperti mediasi, pengalihan, dan pelaporan wajib dianggap sebagai pencegah yang tidak efektif dan sering kali tidak meyakinkan keluarga korban. Maka tidak mengherankan jika jumlah kasus terus meningkat setiap tahunnya.


Sekularisme Kapitalisme Melahirkan Regulasi Tumpul


Jika ditelusuri lebih dalam, akar permasalahan ini bukan hanya terletak pada pelakunya, tetapi juga pada sistem yang menopang kehidupannya. Sistem yang berlaku saat ini gagal menanamkan pandangan hidup yang jelas kepada anak-anak. Paradigma kapitalis sekuler yang diterapkan di negara kita dan di dunia pendidikan menghambat anak-anak untuk mengembangkan karakternya sejak dini.


Dalam sistem ini, tidak ditetapkan batasan oleh standar halal atau haram, tetapi oleh hukum buatan yang terus berubah. Definisi "anak" juga hanya ditetapkan oleh standar administratif. Jika anak berusia di bawah 18 tahun, misalnya, ia tidak akan bertanggung jawab sepenuhnya. Oleh karena itu, anak-anak dinilai hanya berdasarkan usianya, meskipun mereka belum siap menjadi orang dewasa dalam hal karakter.


Akibatnya, meskipun melakukan kekerasan, mereka tidak merasa bertanggung jawab moral karena secara hukum mereka masih "anak-anak." Sanksi yang diterapkan juga cenderung lemah dan administratif. Prinsip keadilan restoratif yang saat ini marak digalakkan, kedengarannya baik di permukaan, tetapi sering kali dimaknai sebagai toleransi, dan perundungan akan terus terjadi tanpa adanya pencegah yang kuat.


Sementara itu, sistem pendidikan yang ada lebih mengutamakan persaingan akademis dan orientasi pasar daripada pengembangan karakter. Kurikulum terus berubah, pendidikan agama semakin terpinggirkan. Anak-anak mudah mengakses konten kekerasan, pornografi, dan minuman beralkohol seperti tuak. Jauh dari menciptakan suasana yang mendidik, lingkungan ini hanya menumbuhkan budaya kekerasan. Sistem kapitalis yang menumbuhkan persaingan yang ekstrem juga memengaruhi perilaku anak-anak. Dalam dunia yang menghargai popularitas dan kesuksesan materi, kekuatan fisik dan keunggulan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan.


Pendidikan Akidah dan Sanksi Syar’i Cegah Perundungan


Sebaliknya, Islam memiliki pendekatan yang lebih mendalam dan sistematis dalam pencegahan perundungan. Dalam Islam, setiap tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban setelah menginjak usia remaja. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimulai sejak usia dini untuk mendidik anak-anak agar mereka dapat menjadi pribadi yang matang saat menginjak usia remaja. Pendidikan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga masyarakat dan negara.


Dalam Islam, negara merancang kurikulum pendidikan berdasarkan keyakinan Islam. Bertujuan untuk membesarkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bermoral, dan saleh. Negara juga bertanggung jawab atas pendidikan di rumah, dan nilai-nilai Islam ditanamkan dari rumah.


Sistem informasi Islam juga bertujuan untuk mendukung pengembangan kepribadian Islam. Konten kekerasan, pornografi, dan gaya hidup permisif tidak ditoleransi. Negara memastikan bahwa media, kurikulum, dan lingkungan publik semuanya kondusif bagi pengembangan kepribadian Islam. Sanksi dalam Islam juga memainkan peran edukatif dan pencegah. Anak-anak yang belum mencapai usia pubertas tidak dikenakan hukuman berdasarkan hukum syariah, tetapi dapat dikenakan takzir (hukuman) pendidikan oleh hakim.


Hal ini membuat anak bertanggung jawab atas tindakannya. Islam tidak menoleransi perilaku buruk menjadi kebiasaan. Seluruh sistem kehidupan Islam ditujukan untuk melindungi kehidupan dan martabat manusia, termasuk anak-anak.


Frekuensi penindasan terhadap anak-anak dan kekejamannya semakin meningkat menunjukkan bahwa sistem yang ada sangat tidak berfungsi. Sekadar memperketat peraturan atau memperkuat sanksi administratif saja tidak cukup.


Solusi nyata hanya dapat dicapai dengan negara kembali ke sistem kehidupan yang berdasarkan wahyu, bukan hanya kesepakatan manusia. Sudah saatnya untuk kembali ke Islam yang tidak hanya melarang penindasan, tetapi juga menyediakan sistem pendidikan, hukuman, dan lingkungan yang dapat mencegah penindasan dari akarnya.


Wallahualam bissawab. [SM]

P4lestina dan Urgensi Persatuan Umat Islam

P4lestina dan Urgensi Persatuan Umat Islam



Nasionalisme menjadikan negeri-negeri muslim terpecah

menjadi bagian-bagian kecil dan menjadikannya acuh tak acuh dengan kondisi negeri lain

_________________________


Penulis Aryndiah

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Korban genosida di P4lestina akibat kekejaman Zion*s makin mengkhawatirkan. Menurut laporan terbaru, dalam waktu 24 jam serangan Isra*l telah menyebabkan 81 orang warga P4lestina syahid dan 422 orang lainnya terluka.


Hal ini menunjukkan jumlah peningkatan korban syahid yang telah mencapai 56.412 orang dan korban terluka sebanyak 133.054 orang sejak 7 Oktober 2023. (cncbindonesia.com, 29-06-2025)


Pengkhianatan Para Pemimpin Negeri Muslim 


Jumlah yang sangat fantastis. Namun, bukanlah suatu pencapaian yang harus dibanggakan, bahkan suatu perbuatan yang harus dikutuk oleh manusia berakal saat ini. Mengingat banyak darah orang-orang tak berdosa yang telah gugur akibat kekejaman dan kebengisan Zion*s, serta sikap diam dan ketidakpedulian para penguasa dunia saat ini.


Mereka hanya mampu mengecam, mengutuk perbuatan Zion*s tanpa berupaya mengirim bantuan militer ke P4lestina. Parahnya, sikap tersebut ditunjukkan oleh penguasa negeri-negeri muslim padahal secara letak geografis, wilayah P4lestina berdekatan dengan negeri-negeri Arab sekitarnya. Inilah bentuk pengkhianatan penguasa negeri muslim kepada warga P4lestina.


Di tengah pengkhianatan para penguasa negeri muslim, pada waktu yang sama terjadi pula agresi militer antara Iran dan Isra*l. Serangan yang dilakukan Iran telah membuat kerusakan di wilayah Tel Aviv dan menyebabkan orang-orang Isra*l bergegas pergi meninggalkan negaranya. Tentu saja kerusakan dan korban yang berjatuhan tidak sebanding dengan apa yang terjadi di P4lestina.


Namun, bak angin segar, kaum muslim dan masyarakat dunia yang membela P4lestina menganggap bahwa Iran akan membantu P4lestina padahal kenyataannya hingga saat ini, serangan yang dilakukan Iran kepada Isra*l tidak lantas menghentikan genosida di P4lestina. Bahkan di tengah penyerangan tersebut, Zion*s tetap melancarkan serangan ke P4lestina. Sungguh kebiadaban yang luar biasa. 


Sejatinya masyarakat dunia sudah marah dan muak dengan kebiadaban Zion*s. Banyak upaya dilakukan untuk terus meningkatkan kesadaran umat akan genosida yang terjadi di P4lestina. Seperti, berdonasi, memboikot produk yang berafiliasi dengan Zion*s, menyuarakan kebiadaban dan kebrutalannya di media sosial, para aktivis dunia yang berlayar ke P4lestina untuk misi kemanusiaan, dan yang terbaru gerakan “Global March to Gaza”, tetapi upaya tersebut tidak cukup menghentikan kebiadaban Zion*s. Sungguh umat ingin sekali membebaskan Palestina, namun apa daya, umat belum punya kekuatan sebanding yang mampu mengalahkan kebrutalan Zion*s dan sekutunya.


Two State Solutions Bukan Solusi Membebaskan P4lestina


Di tengah kemarahan masyarakat dunia terhadap genosida yang terjadi di P4lestina, para penguasa dunia justru mencoba menawarkan solusi bodoh dan absurd untuk mengatasi persoalan P4lestina, yakni dengan two-state solutions padahal solusi tersebut sudah lama ditawarkan dan dibahas di forum-forum internasional.


Namun, genosida di P4lestina terus terjadi hingga saat ini. Sejatinya mereka hanya membuang-buang waktu dengan mendiskusikan solusi tersebut di forum internasional karena forum internasional pun terbukti tidak akan pernah mampu memberikan solusi hakiki bagi persoalan P4lestina. Dengan demikian, apa yang mereka tawarkan hanya menambah penderitaan dan rasa sakit warga P4lestina akibat pengkhianatan para penguasa dunia.


Sebenarnya wajar jika solusi tersebut tidak akan mampu mengatasi persoalan P4lestina karena sampai kapan pun Amerika dan Zion*s tidak akan rela mengakui dan menerima kemerdekaan P4lestina secara penuh. Warga Palestina pun tidak akan menerima tanah mereka dirampas oleh musuh-musuh Islam karena mereka paham bahwa wilayah P4lestina adalah tanah kharajiyah, yaitu tanah yang diperoleh kaum muslim dari penaklukan dan tanah ini milik umat muslim. 


Ditambah mereka tidak akan mungkin mengkhianati perjanjian Umariyah, yaitu perjanjian yang dibuat oleh Khalifah Umar bin Khattab saat membebaskan tanah P4lestina. Berdasarkan hal ini, perjuangan warga P4lestina tidak akan pernah surut karena mereka paham telah banyak darah para syuhada yang berkorban untuk mempertahankan tanah tersebut. Jika demikian, maka pembantaian warga P4lestina akan terus terjadi.


Melihat kondisi ini, seharusnya kaum muslim sadar bahwa tidak ada satu pun negeri yang mampu menolong P4lestina, termasuk negeri muslim. Ini akibat sekat nasionalisme yang menjadi pengikat di setiap negeri-negeri muslim. Nasionalisme menjadikan negeri-negeri muslim terpecah menjadi bagian-bagian kecil dan menjadikannya acuh tak acuh dengan kondisi negeri lain, sekalipun yang tertindas adalah saudara muslim. 


Inilah yang menyebabkan para penguasa negeri muslim tidak bisa mengirimkan bantuan militer ke P4lestina dengan alasan bahwa negerinya tidak dapat ikut campur urusan negeri lain. Belum lagi adanya intervensi Amerika di setiap negeri muslim hari ini, membuat penguasa negeri muslim tidak berdaya, karena terikat hutang budi dengan negara adidaya tersebut. Parahnya, ada juga penguasa negeri muslim yang justru mendukung agenda penjajahan Amerika dan Zion*s kepada P4lestina.


Jihad dan Khil4fah Solusi Pembebasan P4lestina 


Adanya fakta-fakta di atas seharusnya membuat kaum muslim sadar bahwa untuk membebaskan P4lestina hanya dapat ditempuh dengan jihad. Namun, perlu diingat seruan jihad tidak dapat dilakukan secara individual, melainkan harus melalui satu komando seorang pemimpin kaum muslim yang satu, yaitu khalifah.


Sayangnya, saat ini kaum muslim tidak mempunyai sosok pemimpin itu, karena seorang khalifah tidak akan hadir saat dunia masih menerapkan kapitalis sekuler sebagai asas hidupnya. Khalifah hanya hadir dalam sebuah institusi yang menerapkan Islam sebagai asas kehidupan, yaitu Khil4fah Islamiah. Inilah yang harus diperjuangkan oleh kaum muslim saat ini, menghadirkan sosok seorang pemimpin dalam bingkai Khil4fah.


Islam berpandangan bahwa seorang pemimpin atau penguasa adalah pelindung bagi rakyat dan orang yang ia pimpin. Ia memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan hidup rakyatnya, karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.,


"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud) 


"Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari)


Berdasarkan hal ini, maka menghadirkan sosok pemimpin yang mampu memberikan komando untuk melawan sekutu-sekutu Islam, sangatlah penting. Maka diperlukan kesadaran dan persatuan kaum muslim di seluruh dunia untuk terus menyuarakan urgensi mengembalikan Khil4fah Islamiah yang mengikuti metode kenabian karena hal ini telah terbukti selama 13 abad Islam memimpin peradaban, rakyat diberikan perlindungan dan dijamin keamanan jiwa dan hartanya.


Dengan demikian, solusi hakiki untuk menolong dan membebaskan P4lestina dari kebengisan Zion*s adalah dengan mewujudkan persatuan umat dalam mendukung dan bergerak bersama kelompok dakwah ideologis dalam berjuang menegakkan syariat Islam dalam bingkai Khil4fah di dalam kehidupan saat ini. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]

Islam Pelindung Anak dari Perundungan

Islam Pelindung Anak dari Perundungan




Hanya syariat Islam yang bisa mengatasi kasus perundungan anak

dan hanya negara Islam yang mampu mewujudkan tempat pelindung yang aman dan nyaman untuk anak


____________________



KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Viral di media sosial video aksi perundungan anak yang terjadi di Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat. Korban dipukuli dan ditendang secara bergiliran oleh para pelaku. Bahkan, salah satu pelaku sempat mengancam dengan obeng akan membunuh korban, pada Kamis (Kompas.com, 08-06-2025)


Kasus perundungan yang berujung kekerasan fisik juga terjadi di Bandung. Seorang bocah SMP yang berlumuran darah di kepalanya usai ditendang hingga terbentur batu, diceburkan ke sumur gara-gara tolak minum tuak.(CNNIndonesia.com, 26-06-2025)


Penyebab Perundungan 


Penyebab banyaknya kasus perundungan anak karena anak yang menjadi korban mungkin takut melaporkan kejadian tersebut. Baik kepada orang tuanya, gurunya, maupun kepada pihak berwajib sebab takut tidak dipercayai, takut memperburuk situasi atau takut terhadap ancaman pelaku.

 

Kasus perundungan terhadap anak terjadi akibat kurangnya kesadaran masyarakat. Masyarakat mungkin tidak menyadari tanda-tanda perundungan anak atau tidak tahu bagaimana melaporkannya. Kurangnya sistem perlindungan anak sehingga tidak efektif dalam mendeteksi dan menangani kasus perundungan anak.


Meski pemerintah sudah mengeluarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk perundungan. Hal ini menunjukkan gagalnya regulasi untuk mencegahnya karena masih terjadi perundungan terhadap anak-anak Indonesia sehingga UU tidak bisa diharapkan dapat melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk perundungan.


Lemahnya Hukum


Lemahnya sistem sanksi bagi pelaku perundungan yang masih di bawah umur tidak diberi hukuman sehingga pelaku dapat terus melakukan perundungan terhadap korbannya. Di sisi lain, juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan yang sekuler.


Banyaknya kasus perundungan anak akibat agama makin terpinggirkan dalam ranah publik. Agama tidak boleh mengatur dalam kehidupan. Hanya boleh mengatur dirinya sama penciptanya saja sehingga generasi sekarang minim akhlak dan moral.


Banyaknya kasus perundungan merupakan buah buruk penerapan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik dalam semua aspek kehidupan. Sistem ini mengusung kebebasan berperilaku sehingga seseorang bebas berbuat sesuka hatinya meskipun melakukan perundungan.


Dengan demikian, dibutuhkan adanya perubahan yang hakiki juga mendasar dan menyeluruh. Untuk mengatasi perundungan anak, tidak cukup dengan menyusun regulasi atau sanksi yang memberatkan bagi pelaku. Namun, pada paradigma kehidupan yang harus diemban oleh negara.


Larangan Perundungan dalam Islam 


Islam menjadikan perundungan sebagai perbuatan yang haram dilakukan oleh seseorang, baik verbal, psikis, apalagi fisik karena semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Islam menjadikan balig sebagai titik awal pertanggungjawaban seorang manusia. Mereka akan dibebani dengan kewajiban syariat Islam, seperti salat, puasa, dan lain-lain. 


Hadis Nabi ï·º menunjukkan hal itu dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tiga golongan yang tidak ditanyakan (artinya tidak dibebani syariat secara sempurna sebelum usia baligh): orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sadar." (HR. Abu Dawud)


Oleh karena itu, penting bagi orang tua, masyarakat, dan negara untuk memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak-anak tentang kewajiban syariat Islam setelah mereka menjadi balig. Negara Islam juga memberikan sanksi yang tegas, dan berat kepada pelaku perundungan yang sudah balig.


Misalnya, sanksi kisas terhadap orang yang melukai orang lain, sebagaimana terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 45: "Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada kisasnya."


Sedangkan sanksi yang diberikan kepada anak di bawah umur dan belum balig yang melakukan perundungan akan dihukum jinayah takzir seperti hukuman berbentuk pengajaran dan pendidikan (ta'dib), ganti rugi dan diat. Hanya syariat Islam yang bisa mengatasi kasus perundungan anak dan hanya negara Islam yang mampu mewujudkan tempat pelindung yang aman dan nyaman untuk anak. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Anis Nuraini 

Kisruh Haji di Mana Tanggung Jawab Negara?

Kisruh Haji di Mana Tanggung Jawab Negara?



Sistem sekuler kapitalisme telah mengubah cara pandang terkait ibadah haji

yang seharusnya diurus dengan niat karena Allah, malah dianggap sebagai komoditas ekonomi

_________________________

Penulis Sunarti 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Sosial


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pasukan keamanan haji Arab Saudi menangkap 49 orang, terdiri dari 18 warga lokal dan 31 warga asing, termasuk warga Indonesia (WNI). Alasannya, karena mengangkut 197 jamaah tanpa izin resmi untuk menunaikan ibadah haji. (Makkah, Beritasatu.com)


Jemaah Haji Mengalami Beragam Persoalan


Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengatakan bahwa ibadah haji tahun ini menuai beragam persoalan seperti: jemaah yang tertinggal rombongan, jemaah haji diusir dari tempat istirahat pada malam hari, kapasitas maktab di Armuzna yang dinilai tidak memadai, tidak manusiawi, berisiko besar pada keselamatan dan kenyamanan jemaah, Syirkah MCDC yang memaksakan kapasitas hingga 200 kasur di maktab besar dan 181 kasur di maktab kecil, keterlambatan distribusi konsumsi, dan lain-lain. (Tempo.com, 08-06-2025)


Selain itu, permasalahan lain yang ditemukan oleh timwas ibadah haji adalah layanan transportasi dan kesehatan yang belum memenuhi standar pelayanan minimum, terutama bagi jemaah lansia. Selain itu,adanya keterlambatan penerbitan serta pendistribusian kartu masuk yang menjadi syarat masuk ke Masjidil Haram yang merugikan para jemaah. (Tempo.com, 03-06-2025)


Sekelumit persoalan pada pelaksanaan ibadah haji tahun ini tidak lepas dari peran dan tanggung jawab negara. Arab Saudi adalah negara penyelenggara ibadah yang dinilai bertanggung jawab penuh, tetapi malah mengeluarkan aturan baru yakni larangan visa non-haji dan konsep syirkah dalam penanganan Armuzna. Selain Arab Saudi, pemerintah Indonesia juga bertanggung jawab atas jemaahnya.


Tidak adanya sinkronisasi antara pengaturan kloter ketika berangkat dari Indonesia dengan pembagian kelompok di Arab Saudi, sehingga jamaah terpisah-pisah. Ini membuktikan kurang maksimalnya tanggung jawab pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji.


Polemik pelaksanaan ibadah haji tidak hanya pada tahun ini saja, tetapi menjadi persoalan yang terus berulang. Seperti persoalan haji yang terjadi pada tahun 2023, di mana akomodasi dan transportasi jemaah haji selama Armuzna tidak dikelola dengan baik dan berakibat sulitnya jemaah Indonesia memperoleh makanan di Muzdalifah.


Sementara itu, pada tahun 2024 timwas haji menemukan 5 masalah yang rumit tentang penyelenggaraan ibadah haji, yaitu buruknya layanan dasar, ketersediaan toilet, penempatan tenda tidak sinkron dengan maktab, alokasi kuota tambahan jamaah yang dinilai tidak sesuai aturan, dan kenaikan ongkos naik haji. Persoalan haji yang terjadi setiap tahun tidak hanya terkait dengan pelayanan yang buruk, tetapi juga dipicu oleh banyaknya kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Kementerian Agama dari beberapa periode. 


Said Aqil Al Munawwar Menteri Agama periode 2001-2004 yang terbukti melakukan korupsi penyelenggaraan ibadah haji dan Dana Abadi Umat (DAU). Selain itu, periode 2009-2014 Menteri Agama Suryadharma Ali juga terjerat kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2010-2013. Disusul Menteri Agama 2020-2024 Yaqut Cholil Qoumas juga terseret kasus yang sama, hingga jual beli kuota haji. 


Sistem Sekuler Kapitalisme Akar Persoalan


Persoalan ibadah haji yang terus berulang adalah salah satu bentuk kerusakan sistem sekuler kapitalisme (memisahkan agama dari kehidupan). Di mana keuntungan dan manfaat di atas segala-galanya. Tidak heran jika soal ibadah begitu mudah dikapitalisasi. 


Syirkah dalam sistem sekuler kapitalisme bertujuan untuk mencari keuntungan perusahaan. Namun, di sisi yang lain justru mengabaikan kemaslahatan jemaah. Negara lepas tangan dan jemaah yang menjadi korban.


Sistem sekuler kapitalisme telah mengubah cara pandang terkait ibadah haji yang seharusnya diurus dengan niat karena Allah, malah dianggap sebagai komoditas ekonomi yang sangat menguntungkan oleh para pejabat dan kroninya. Inilah akar persoalan yang sesungguhnya.


Pengurusan Ibadah Haji dalam Sistem Islam


Berbeda dalam sistem Islam yang disebut Khil4fah. Pengurusan ibadah haji adalah sesuatu yang wajib dilakukan disertai iman dan takwa, bukan hanya sekadar perkara teknis dan administrasi. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima dan diwajibkan bagi yang mampu.


Allah Swt. berfirman: "Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah Swt. adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (TQS. Ali Imran(3): 97)


Penyelenggaraan ibadah haji seharusnya memudahkan jemaah yang beribadah. Baik dalam hal menyediakan fasilitas selama menjalankan ibadah haji, seperti penyediaan penginapan, tenda, kebutuhan-kebutuhan lain di Armuzna, transportasi, konsumsi, dan sebagainya. Semua ini adalah tanggung jawab negara. penguasa merupakan raain (pengurus) semua urusan rakyat dengan baik, termasuk dalam pengurusan ibadah haji.


Negara akan menyiapkan mekanisme  dan layanan terbaik bagi para tamu Allah Swt.. Layanan yang maksimal ini memang hanya mungkin terjadi apabila sistem keuangan negara kuat. Hal tersebut terwujud jika negara Khil4fah menerapkan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam yang membuat harta Baitulmal negara melimpah ruah dari sumber-sumber pendapatan yang beragam dan sangat besar.


Jemaah haji yang sudah terkategori wajib berangkat, mampu dari segi keuangan, fisik, psikis dari masing-masing wilayah perlu dilakukan pendataan. Yang berusia lebih tua diutamakan sehingga akan meminimalisir jemaah haji yang meninggal di tanah suci akibat usia keberangkatan sudah tua renta dan rentan sakit.


Aturan yang diberlakukan oleh Arab Saudi sebagai pemegang kunci pelaksanaan ibadah haji pastinya wajib diketahui oleh khalifah sebagai pemimpin umum kaum muslim seluruh dunia, baik yang menyangkut teknis maupun sistem. Demikianlah sistem Islam mengatur pelaksanaan ibadah haji sehingga berbagai persoalan bisa diminimalisir. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Kesejahteraan Guru dalam Balutan Kapitalisme

Kesejahteraan Guru dalam Balutan Kapitalisme



Mereka digaji sesuai jam kerjanya mengikuti upah minimum regional (UMR)

yang besarannya berbeda-beda tiap daerah bahkan lebih rendah lagi

_________________________


Penulis Ni'matul Afiah Ummu Fatiya

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Kebijakan Publik 


KUNTUMCAHAYA.com,OPINI - Sungguh ironis, di satu sisi guru diberikan tugas mencetak generasi emas, tetapi di sisi lain jaminan kesejahteraan guru malah makin membuat mereka cemas.


Beberapa hari yang lalu ratusan massa dari Aliansi Guru menggelar aksi demo di depan Gedung Negara Provinsi Banten. Hal ini terjadi di tengah ricuhnya sistem pendidikan saat ini, mulai dari adanya kecurangan pada sistem penerimaan siswa baru, tingginya angka putus sekolah, serta tingginya biaya UKT perguruan tinggi. 


Ada 2 tuntutan yang mereka ajukan dalam aksi tersebut. Pertama, mengenai tunjangan tambahan (tuta) yang belum dibayarkan sejak Januari 2025. Kedua, adalah tentang pengangkatan pengawas sekolah dan pengangkatan guru honorer. Tunjangan tambahan adalah hak para tenaga pendidik baik ASN maupun non-ASN yang mendapat tugas tambahan dari kepala sekolah seperti wali kelas, guru BP/BK, pembina ekstrakurikuler, dan pengelola perpustakaan.


Meskipun beberapa wakil dari massa berhasil menemui Gubernur Andra Soni, tetapi pertemuan tersebut belum menghasilkan keputusan. Alasannya, akan dicek dulu kondisi keuangan dan akan dilakukan pengkajian lebih lanjut.


Kebijakan yang Kontraproduktif 


Ditundanya atau bahkan dihapuskannya tunjangan tambahan ini otomatis akan mengurangi pendapatan para guru. Terlebih, bagi mereka yang tidak punya penghasilan sampingan hanya mengandalkan gaji dari hasil mengajarnya. Hal ini juga akan berefek pada menurunnya kinerja guru.


Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan pengelolaan keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten Hj. Rina Dewiyanti menegaskan bahwa tunjangan tugas tambahan memang tidak lagi dimasukkan ke dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2025. Itulah sebabnya mengapa tunjangan tambahan tersebut tidak kunjung dibayarkan sejak Januari lalu. (TangerangNews.co.id, 24-06-2025)


Penyesuaian penundaan tersebut, menurutnya masih merupakan hasil pembahasan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, dengan merujuk Inpres No 1 Tahun 2025.


Sementara itu, Plh Sekda Deden Apriandhi menyatakan bahwa alasan dihapuskannya tuta dari APBD karena adanya peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan riset, serta Teknologi (Permendikbud Ristek) bahwa jabatan wakil kepala sekolah, terus ke bawah merupakan tupoksi para guru sehingga tak diperkenankan lagi mendapat tunjangan tambahan.


Harum Namamu Tidak Seharum Gajimu


Permasalahan gaji atau upah memang sering kali menjadi pemicu unjuk rasa di negara-negara yang menerapkan kapitalisme. Hal ini mencerminkan bahwa kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan gaji atau upah masih bermasalah.


Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan guru. Tugas seorang guru atau pendidik tidaklah mudah. Di pundak mereka beban dan tanggung jawab besar untuk mencetak generasi emas. Di tangan mereka pula nasib generasi mendatang ditentukan. Maka sudah selayaknya mereka mendapat gaji yang besar sehingga fokus pada tugas dan tujuan pendidikan. Tidak disibukkan mencari pekerjaan sampingan yang pada akhirnya malah mengesampingkan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.


Namun sayang, dalam sistem kapitalis saat ini posisi guru dianggap sama dengan posisi pekerja pada umumnya. Mereka digaji sesuai jam kerjanya mengikuti upah minimum regional (UMR) yang besarannya berbeda-beda tiap daerah atau bahkan lebih rendah lagi. Statusnya sebagai seorang guru pun harus dikotak-kotakan dengan perbedaan guru ASN, non-ASN, P3K, dan honorer. Semua itu berimbas pada besaran gaji yang diterimanya.


Sistem kapitalis telah menjadikan utang dan riba sebagai pijakan ekonomi negara. Maka, memberikan gaji besar untuk para guru dianggap hanya menambah beban negara.


Negara yang seharusnya mengurus masalah pendidikan, malah berlepas tangan. Sedikit demi sedikit, dengan memberikan otoritas pengelolaan pendidikan termasuk pembiayaan kepada sekolah swasta. 


Guru Sejahtera dalam Islam 


Dalam Islam, posisi guru sangat dihargai dan dihormati. Negara tidak segan-segan memberikan gaji yang besar mengingat peran strategis mereka dalam membina generasi dan memajukan peradaban. Hal ini bisa kita temukan dalam sejarah kekhil4fahan. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, menggaji guru sebesar 15 dinar per bulan. 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas, maka kalau dikonversikan sekarang nilainya mencapai puluhan juta rupiah.


Besarnya gaji guru yang diberikan tidak terlepas dari kondisi keuangan negara yang memiliki pemasukan dari berbagai sumber. Salah satunya adalah dari pengelolaan sumber daya alam. Islam telah mengatur kepemilikan SDA sebagai kepemilikan umum. Pengelolaannya diserahkan kepada negara, sementara hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat seperti untuk membiayai pendidikan.


Dengan pembagian kepemilikan harta yang jelas, Islam menetapkan mana harta yang bisa dimiliki oleh individu, dan mana harta yang menjadi milik umum, serta mana harta yang hanya boleh dimiliki oleh negara. Islam mengharamkan individu atau kelompok menguasai harta milik umum seperti SDA karena akan menghalangi individu lain untuk memperoleh manfaatnya seperti yang terjadi dalam sistem saat ini.


Khatimah 


Demikianlah Islam yang sempurna telah mengatur masalah kesejahteraan guru karena kesejahteraan guru akan berdampak pada kualitas pendidikan yang diberikan. Maka, kondisi perekonomian guru juga harus diperhatikan. Guru sejahtera bukan sekadar harapan, tetapi kenyataan. Semua itu hanya bisa didapatkan dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]

Catatan Nikah Jangan Dipersulit

Catatan Nikah Jangan Dipersulit



Catatan nikah itu penting untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial

Namun, cara mendapatkankannya begitu sulit

________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Pemerintah Kabupaten Bandung menyoroti masih banyak warga yang belum memiliki catatan pernikahan resmi. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, terutama saat mereka hendak mengurus dokumen penting seperti akta kelahiran anak atau kartu keluarga.


Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Diskupil) dan kemenag membuat program Gebyar Sidang Isbat Nikah Terpadu dan Pelayanan Administrasi Pasca Isbat Nikah (Pelaminan Cantik). Namun, mampukah Gebyar Pelaminan Cantik menjadi solusi?


Dalam Islam, nikah adalah bentuk ibadah yang syarat-syaratnya ditentukan. Seperti adanya wali, kedua mempelai, mahar dan saksi dari kedua mempelai. Ketika syarat tersebut terpenuhi dan berlangsung akad nikah, menjadi pasutri yang sah menurut agama. 


Namun, terkait keharusan adanya catatan nikah. Hal itu urusannya dengan administrasi agar tercatat di KUA. Sayang, dalam sistem kapitalis pelaksanaan nikah dibatasi oleh jam kerja di KUA karena untuk menikah bisa jadi gratis jika dilangsungkan di KUA sesuai jam kerja dari pukul 07.00-16.00 WIB tidak dikenakan biaya.


Jika di luar KUA dan di luar jam kerja akan dikenakan biaya dengan besaran yang variatif dari Rp600.000 hingga Rp1.250.000. Akhirnya, banyak warga Kabupaten Bandung yang tidak  melangsungkan pernikahan di KUA. Cukup dengan nikah secara agama yang penting rukun nikahnya terpenuhi, tetapi tidak tercatat di KUA.


Catatan nikah itu penting untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial. Namun, cara mendapatkankannya begitu sulit. Hal tersebut terjadi karena lahir dari akarnya yakni sistem kapitalis di mana semua perkara dilihat dari manfaatnya.


Salah satunya catatan nikah yang seharusnya dipermudah sebagai pegangan untuk memudahkan pelayanan pendidikan kesehatan dan bantuan sosial. Jika administrasi nikah tidak terpenuhi, maka catatan nikah sulit didapatkan. Akhirnya, banyak warga Kabupaten Bandung yang tidak memilikinya. 


Islam memudahkan urusan yang berkaitan dengan pelayanan umat dan sistem kapitalis berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, nikah adalah ibadah yang dianjurkan oleh Rasulullaah saw. untuk menyempurnakan agama.


Nikah adalah ibadah terpanjang yang harus dipermudah untuk pelaksanaannya, termasuk pemberian catatan nikah dari KUA. Sudah seharusnya negara mengurus semua kebutuhan umat, termasuk urusan nikah. 


Namun, dalam sistem kapitalis perkara nikah banyak aturan baik biaya dan usia calon pengantin dibatasi diatur dengan UU sehingga nikah menjadi masalah besar terutama sulitnya mendapatkan buku catatan nikah. 


Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, nikah itu dipermudah yang penting terpenuhi syarat dan rukunnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz saat beliau menjadi seorang khalifah. Ia mengurus umat dengan menikahkan para pemuda pemudi, dengan biaya ditanggung oleh negara dari Baitulmal. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Ummu Bagja Mekalhaq

Menakar Efektivitas Penanganan Kawasan Kumuh di Bekasi

Menakar Efektivitas Penanganan Kawasan Kumuh di Bekasi



Kawasan kumuh tumbuh menjamur bukan sekadar masalah infrastruktur

tetapi ini merupakan persoalan sistemik


_____________________


Penulis Ummu Zhafira

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Ibu Pembelajar 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Kawasan kumuh menjadi salah satu problem yang muncul di era pembangunan modern. Di balik gemerlap kota dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit tersimpan kelamnya hidup kaum terpinggirkan. Mereka tidur beralaskan kardus, berpayung angkuhnya modernisasi. Lantas, siapa yang akan peduli?


Kolaborasi Penanganan Kawasan Kumuh Bekasi


Dilansir dari Tribunnews.com (29-06-2025), Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bekasi, terus melakukan upaya penanganan kawasan kumuh di wilayahnya. Disperkimtan berkolaborasi tidak hanya dengan perangkat daerah terkait tapi pemerintah provinsi.


Setidaknya ada tiga strategi utama yang mereka lakukan. Pertama, menggunakan landasan regulasi kolaboratif berupa Perbup No. 50/2024 dan koordinasi OPD. Kedua, digitalisasi data kawasan dengan pemanfaatan aplikasi SIPATUH. Ketiga, pelaksanaan inovatif di lapangan lewat program Bang Fatur Berdasi dan Berkumis, dan program faskum seperti Rutilahu, SPALD‑S.


Berdasarkan data yang dilaporkan pihak Disperkimtan terlihat adanya penurunan jumlah kawasan kumuh yang cukup signifikan. Awalnya lahan kumuh di wilayah Kabupaten Bekasi mencapai 1.800 hektare (2022), kemudian turun menjadi 1.600 hektare (2023), dan 2024 lalu hanya tersisa 671 hektar yang masih perlu untuk ditangani. (Radarbekasi.id, 07-11-2024)


Hal tersebut juga didukung dengan capaian infrastruktur sepanjang tahun ini. Dikutip dari Bekasikab.go.id (26-05-2025), Disperkimtan setidaknya telah merealisasikan jalan lingkungan sebanyak 265 titik dan 71 saluran drainase. Selain itu, mereka telah menyalurkan Rumah Gotong Royong 1.670 unit, dan membangun Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat (SPALD-S) 1.652 unit, serta 1.246 Penerangan Jalan Umum Lingkungan (PJUL). (Bekasikab.go.id, 02-06-2025)


Bukan Hanya Persoalan Infrastruktur


Kawasan kumuh tumbuh menjamur bukan sekadar masalah infrastruktur, tetapi ini merupakan persoalan sistemik. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini telah memunculkan berbagai macam ketimpangan struktural, peminggiran sistematis rakyat kecil, dan absennya negara dalam menjamin kebutuhan dasar sebagai hak.


Dalam sistem ini, pembangunan senantiasa berorientasi pada keuntungan, bukan kemaslahatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya kawasan industri yang sejalan dengan makin megahnya pusat kota, perkantoran, hiburan dan menjamurnya kawasan permukiman bahkan kota mandiri dengan berbagai macam fasilitas lengkap.


Sudah jelas, itu semua hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat dengan pendapatan tinggi sedangkan mereka yang berada di kelas menengah ke bawah semisal buruh pabrik atau bahkan pekerja informal kesulitan untuk mengakses itu semua. Akhirnya, mereka terpaksa bertahan hidup di bantaran sungai atau rel kereta api, di bawah jembatan layang, dan di sudut-sudut kota dengan rumah non permanen beserta fasilitas seadanya.


Tabiat kapitalisme adalah justru menjadikan kota sebagai arena persaingan antara pemilik modal dan warga miskin. Kawasan informal yang menjadi tempat bertahan hidup masyarakat terpinggirkan dianggap “ilegal”. Tidak heran kawasan ini sering digusur, bukan malah diintegrasikan. Berapa banyak konflik lahan yang terjadi, kemudian para pemilik modal muncul sebagai pemenang?


Sudah begitu, negara melepaskan tanggung jawabnya untuk benar-benar memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Rumah dengan fasilitas penunjangnya merupakan kebutuhan mendasar. Negara sudah seharusnya memastikan bahwa setiap kepala keluarga mampu menyediakan rumah yang layak bagi keluarganya. Jika ada yang tidak mampu, negara harus memberikannya. Bukan sekadar memberikan akses ke KPR dengan akad ribawi, bahkan dengan banyak fasilitas rumah yang tidak layak.


Solusi Parsial atau Substansial?


Ketika problem utamanya adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis, semua program yang dilakukan pemerintah dalam menangani kawasan kumuh tidak efektif. Semua program tersebut masih merupakan tindakan “kuratif” atau tambal sulam, bukan mengubah akar sistemik yang menciptakan problem itu muncul.


Bagaimana pun bagusnya sistem pendataan kawasan kumuh dan pembangunan rumah disertai sarana prasarana pendukung kalau masih membiarkan lahan dikuasai oleh para pemilik modal maka rakyat kecil akan terus terpinggirkan sehingga kawasan kumuh yang diharapkan bisa dikurangi itu justru akan terus muncul kembali.


Dalam jangka pendek, program ini mungkin akan berhasil. Hal ini bisa dilihat dengan adanya perbaikan di titik-titik tertentu. Namun, dalam jangka panjang kawasan kumuh akan muncul kembali di tempat-tempat lain. Bisa jadi jumlahnya lebih banyak dari yang ada sebelumnya karena ketimpangan struktural masih dibiarkan, dan negara juga tidak benar-benar hadir untuk bisa menjamin kebutuhan dasar masyarakat, baik itu sandang, pangan maupun papan.


Islam Wujudkan Lingkungan Aman, Nyaman, dan Sehat


Islam memandang bahwa kemiskinan dan keterpurukan sosial yang melahirkan tumbuh suburnya kawasan kumuh bukan hanya karena minimnya sumber daya, tetapi karena adanya kecacatan dalam distribusi kekayaan. Negara dengan sistem Islam sebagai pelaksana hukum syarak akan memastikan lancarnya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai mekanisme.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur: Pasal 125, bahwa rumah adalah kebutuhan pokok yang wajib dijamin oleh negara Islam. Oleh sebab itu, negara wajib menjamin pendidikan dan ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga mendorong kaum laki-laki memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Ketika masih ada yang belum mampu memiliki rumah, maka negara wajib memberikannya.


Islam juga melarang keras tindakan monopoli tanah. Ini sejalan dengan pendapat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264. "Tanah tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh para pemilik modal atau ditelantarkan. Siapa pun yang menelantarkan tanah selama tiga tahun, maka tanah itu akan ditarik dan diberikan kepada orang lain."


Hal ini segaris dengan apa yang disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud)


Prinsip pembangunan di dalam Islam harus berbasis maslahah bukan keuntungan semata. Dengan demikian, pembangunan baik kota maupun desa dilakukan untuk memenuhi semua kebutuhan semua lapisan masyarakat. Masyarakat dengan berbagai lapisan dipastikan bisa menjangkau semua fasilitas yang disediakan. Masa kekhil4fahan telah membuktikannya.


Salah satunya adalah pembangunan kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan peradaban Islam di era Khil4fah Abbasiyah. Kota yang didirikan oleh Khalifah Al-Manshur (762 M) itu dirancang melingkar. Istana dan masjid dijadikan sebagai pusat yang dikelilingi oleh berbagai fasilitas pasar, sekolah, dan permukiman. Semua sarana umum seperti jalan, taman, air, dan rumah sakit juga dibangun oleh negara. Hal ini masih disempurnakan dengan banyaknya wakaf yang menyediakan perumahan rakyat, penginapan musafir, dapur umum (sabil), sekolah dan madrasah.


Tidak ditemukan kawasan kumuh pada masa itu karena sejak awal pembangunan tidak berorientasi pada estetika semata apalagi bisnis. Lebih daripada itu, pembangunan ditujukan untuk kebermanfaatan dan kemuliaan hidup manusia.


Oleh karena itu, untuk menangani kawasan kumuh tidak hanya sekadar dibutuhkan program-program teknokratik saja, tetapi harus ada perubahan sistem secara fundamental, yakni kembali kepada sistem Islam dengan seluruh kebaikannya. Dengannya akan terwujud lingkungan yang nyaman, aman dan sehat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Ketika Jaminan Pendidikan Gratis Sulit Diraih

Ketika Jaminan Pendidikan Gratis Sulit Diraih



Dalam kapitalisme saat ini pendidikan ibarat barang mewah

yang sulit dijangkau terutama oleh rakyat miskin

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA- Dalam rangka mengurangi banyaknya angka putus sekolah, Kementerian Sosial bersama pemerintah Kabupaten Bandung berencana menargetkan 150 anak terkategori miskin dan miskin ekstrem agar memperoleh pendidikan dengan mendirikan Sekolah Rakyat gratis yang penerimaannya akan dilaksanakan di wisma atlet komplek Sarana Olahraga (SOR) Jalak Harupat, Kutawaringin, Kabupaten Bandung. 


Enjang Wahyudin, selaku Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bandung menegaskan bahwa jenjang yang akan dibuka mulai dari SD, SMP dan SMA. (pikiranrakyat.com, 8-6-2025)


Program Sekolah Rakyat gratis ini di satu sisi dianggap sangat membantu karena merupakan bentuk kepedulian negara terhadap masyarakat miskin. Namun sayang, keberadaanya justru  menimbulkan masalah yang lebih besar, salah satunya adalah terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat.


Antara si kaya dan si miskin seolah terdapat jurang pemisah yang sangat dalam. Anak-anak yang berada pada sekolah tersebut akan mendapat dampak tekanan psikologis tersendiri bahkan mungkin bisa jadi sampai ke ranah pembulian. Sementara mereka yang bersekolah umum bahkan elite tentu akan menimbulkan kesombongan dan merasa dirinya lebih tinggi. 


Pendidikan saat ini ibarat barang mewah yang sulit dijangkau terutama oleh rakyat miskin. Jumlah sekolah dibanding jumlah anak usia sekolah tidak sebanding. Andaikan pemerintah serius memikirkan nasib generasi ke depan, maka anggaran pendidikan haruslah lebih diutamakan. 


Jika daya tampung Sekolah Rakyat gratis hanya 150 bagaimana dengan nasib anak yang lain? Mereka adalah anak bangsa, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Karena pendidikan adalah hak dasar yang harus dijamin dan dipenuhi oleh negara. Sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap rakyat berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayai kebutuhan pendidikan rakyatnya."


Dengan anggaran yang sangat minim tidak mungkin negara mampu merealisasikan amanat undang-undang sampai kapanpun. Apalagi utang negara terus membengkak, PHK massal terus berlangsung, lapangan pekerjaan minim, akan banyak para orangtua yang sulit menyekolahkan anak walaupun hanya tingkat dasar. 


Itulah konsekuensi dari penerapan kapitalisme sekuler. Penguasa tidak diposisikan sebagai periayah atau pengurus tapi hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Kalaupun mengurusi tidak totalitas dan diserahkan kepada swasta. Oleh sebab itu, pendidikan dalam sistem kapitalis dijadikan ladang bisnis yang hanya memikirkan untung rugi sehingga biaya pendidikan saat ini dari tahun ke tahun terus meningkat.


Berbeda dalam sistem Islam, karena selain sandang, pangan dan papan, kebutuhan pendidikan juga termasuk hal pokok yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Khalifah akan menyiapkan sarana dan prasarana seperti gedung sekolah, laboratorium, asrama, juga masjid sebagai sarana pendidikan formal dan nonformal. Semua akan disediakan secara cuma-cuma atau gratis karena dalam lslam pemimpin adalah raa'in (pengurus), sebagaimana sabda Rasulullah saw., yang artinya: “Imam adalah raa’in (pengurus rakyatnya) dan dia bertanggung jawab pada rakyatnya.” (HR. Bukhari) 


Syariat juga telah menetapkan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib karena keberadaannya ibarat air di padang tandus, yaitu sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup manusia. “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)


Dalam penyelenggaraannya biayanya ditanggung oleh negara walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang berinfak demi mendapatkan pahala jariah. 


Sejarah Islam telah mencatat pada masa Khil4fah Umayah di Andalusia, Spanyol, Khalifah Abdurrahman l membangun Masjid Agung Cordoba yang memiliki perpustakaan dan sekolah terkenal dan menjadi tempat bagi ilmuwan dan siswa untuk belajar ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Selain sebagai simbol kekuasaan dan kebudayaan lslam Masjid Agung Andalusia berkembang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang penting, dan berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan lslam di Eropa.


Adapun dari sisi pembiayaan, negara mengambil dari Baitulmal yang sumber dananya berasal dari pengelolaan SDA, jizyah, kharaj, dan lain-lain. Bukan berasal dari pajak atau APBN seperti yang terjadi di kapitalisme. Sedangkan untuk kurikulum pendidikan, sistem ekonomi dan politk harus sesuai dengan syariat Islam sehingga output yang dihasilkan selain ahli dalam ilmu pengetahuan tetapi sekaligus menjadi individu-individu yang bertakwa kepada Allah Swt..


Sejatinya pendidikan gratis adalah hak bagi setiap rakyat, tanpa memandang agama, ras, warna kulit, kaya atuapun miskin. Semua itu akan terwujud hanya ketika umat Islam mau menerapkan syariat Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]


Ari Wiwin

State Capture: Keniscayaaan dalam Sistem Demokrasi

State Capture: Keniscayaaan dalam Sistem Demokrasi



State capture merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi

karena sejatinya sistem demokrasi memang berbiaya mahal


_______________________


Penulis Nina Marlina, A.Md.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Segudang permasalahan terus menghinggapi negeri ini, tak terkecuali masalah kolusi dan korupsi. Hal ini diakui oleh presiden sendiri saat berada dalam sebuah pertemuan di Rusia. 


Presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yaitu state capture. State capture adalah kolusi antara kapital (pemilik modal) besar dan pejabat pemerintahan beserta elite politik. Kolusi ini tidak membantu mengentaskan kemiskinan atau memperluas kelas menengah. Menurutnya, setiap negara harus punya filosofi ekonomi yang sesuai dengan budaya dan sejarahnya masing-masing.


Dalam hal ini, presiden akan memilih jalan kompromi yaitu mengambil yang terbaik dari sosialisme dan kapitalisme. Prabowo menyebut dirinya memilih jalan tengah. Dirinya ingin menggunakan kreativitas kapitalisme, inovasi, inisiatif. Ia juga menyebutkan perlu intervensi pemerintah untuk memberantas kemiskinan, kelaparan, dan melindungi yang lemah.


Ia menambahkan bahwa filosofi ekonomi bisa dirangkum dalam satu kalimat yaitu kebaikan terbesar untuk sebanyak mungkin orang. Pemerintah harus bekerja untuk memberikan sebanyak mungkin kebaikan untuk rakyatnya. Presiden meyakinkan bahwa pemerintahan harus bersih dari korupsi karena inilah kunci pembangunan yang cepat. (Kumparannews.com, 20-06-2025)


Demokrasi Menyuburkan Kolusi Korupsi


Dalam sistem politik demokrasi yang berasaskan kapitalisme sekuler, tentu materi dan kepuasan duniawi akan dijadikan sebagai tujuan para pemangku jabatan. Para pejabat akan menghalalkan segala cara demi meraih kepentingan dan kekuasaannya. State capture merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi karena sejatinya sistem demokrasi memang berbiaya mahal. Hanya orang yang bermodal besar yang bisa menang dalam kontestasi politik ini.


Sistem demokrasi meniscayakan terjadinya politik transaksional karena penguasa tentu membutuhkan kucuran dana yang besar dari pengusaha untuk bisa maju dalam kontestasi. Dengan itu, secara otomatis pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang terpilih dengan bantuan pengusaha tersebut. Akhirnya, terjadilah praktek kolusi korupsi dalam sistem demokrasi ini. Ironisnya, pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan belum tentu capable, mampu dan amanah dalam menjalankan kekuasaannya. 

 

Sudah kita ketahui bersama, banyak kasus korupsi kelas kakap yang terjadi di negeri kita. Korupsi ini tiada lain didahului oleh kongkalikong antara pengusaha dan penguasa demi memuluskan kepentingan mereka yang saling menguntungkan. Yang paling marak terjadi saat ini adalah penguasa yang memberikan izin pertambangan kepada para pengusaha bermodal besar.


Mereka juga sering kali membiarkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan misalnya terkait pencemaran lingkungan dan kerusakan alam. Seperti yang sedang hangat diperbincangkan yaitu kasus kerusakan lingkungan di pertambangan nikel Raja Ampat Papua Barat.


Kolusi korupsi memang bisa menjerat siapa saja, baik kepala daerah, menteri bahkan penegak hukum sekalipun dengan modus korupsi yang beragam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menindak korupsi, di antaranya dengan pembentukan lembaga KPK. Namun faktanya, hal tersebut belum mampu memberantas korupsi.


Bahkan, pihak-pihak yang merasa terancam melakukan pelemahan terhadap lembaga KPK. Rakyat menjadi ragu akankah korupsi mampu diberantas hingga ke akarnya. Mereka geram karena korupsi telah menyebabkan kerugian besar kepada negara yang berujung kesengsaraan rakyat.


Dalam agenda Islamic Collaboration Forum, Sabtu 28 Juni 2025 Mantan Penasihat KPK Dr. Abdullah Hehamahua, SH., M.M. menyampaikan bahwa akhir tahun 2024 Indonesia dilantik sebagai negara terkorup di dunia. Menurutnya, tingkat kreativitas dalam korupsi sangat tinggi. Adapun motif korupsi itu ada tiga. Pertama, korupsi karena keserakahan. Kedua, korupsi karena ada peluang. Ketiga, korupsi yang telanjang. Ia menambahkan bahwa target korupsi itu tidak selalu berupa materi. Namun, berupa politik misalnya korupsi melalui pembuatan UU untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu seperti untuk pilpres dan pilkada.


Sistem Islam Melahirkan Pejabat Amanah


Sistem demokrasi telah terbukti menyuburkan praktik korupsi atau mewujudkan state capture. Sementara itu, Islam sebagai sebuah agama dan ideologi telah mempunyai solusi jitu dalam mengatasi korupsi dan melahirkan pejabat yang amanah. Hal ini dapat diwujudkan dengan berbagai upaya.


Pertama, Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan setiap individu. Hal ini akan menjadikan setiap individu berbuat jujur. Islam juga menjadi asas negara sehingga para penguasa tidak akan menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dengan perbuatan curang. Islam memandang jabatan adalah amanah, dan dijalankan sesuai dengan tuntunan hukum syarak dan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Mereka tidak akan berani mengkhianati rakyat, Allah dan Rasul-Nya. Keimanan dan ketakwaan yang dimiliki para pejabat akan mampu mengerem dari perilaku maksiat dan curang.


Kedua, dalam sistem Islam, para pejabat akan dihitung jumlah kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kelebihan harta yang tidak wajar, akan diteliti cara pemerolehannya sesuai syariat atau tidak. Jika terbukti korupsi, disita dan dimasukkan ke dalam Baitulmal (kas negara). Negara juga memiliki suatu badan untuk mengawasi secara ketat terkait keuangan sehingga mencegah kecurangan para pejabat.


Ketiga, dalam Islam negara akan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku kejahatan termasuk para koruptor. Baik dengan cara publikasi, penyitaan harta, cambuk hingga hukuman mati. Karena itu, korupsi akan dapat dicegah dalam negara yang menjalankan aturan Islam secara kafah


Khatimah


Berbagai kerusakan yang nampak dan kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat hari ini berpangkal dari sistem yang rusak yakni demokrasi sekuler. Rakyat terus menjadi korban dari kezaliman penguasa dan penerapan sistem rusak ini. Maka, sudah saatnya kita campakkan demokrasi.


Saatnya Islam kembali hadir mengatur kehidupan umat termasuk dalam kehidupan bernegara. Niscaya keadilan dan kesejahteraan akan tercipta. Wallahualam bissawab.[Dara/MKC]