Sirine Darurat Kerusakan Ekologis Ekstrem
Opini
Berbagai bencana cuaca yang terjadi adalah wajah krisis iklim yang makin mendesak kehidupan kita
Sirine darurat kerusakan ekologis ekstrem
__________________________
Penulis Nahida Ilma
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kalau cuaca sekarang sudah terasa absurd, itu baru trailernya. Full movienya ada di 2050. Bayangkan di 2050 nanti kita akan hidup di tengah climate chaos. Bencana pun datangnya bukan satu-satu lagi, tetapi secara bersamaan. (Forest Watch Indonesia, 13 November 2025)
Sepanjang Januari-November 2025 terjadi sebanyak 2.919 bencana di mana hampir 99% banjir dan cuaca ekstrem. BNPB menyebutkan hampir seluruh bencana 2025 adalah bencana cuaca. Mirisnya, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Malaysia beberapa waktu lalu kembali mengalami banjir besar yang memaksa ribuan orang mengungsi.
Thailand dilanda banjir luas di wilayah selatan. Filipina yang sudah terbiasa menghadapi topan, sekarang berhadapan dengan badai yang lebih kuat dari kategori sebelumnya (Greenpeaceid, 27 November 2025). Krisis iklim juga membuat curah hujan makin tinggi dan angin makin kencang di G4za selama musim dingin tahun ini. (Tempo.co, 16 November 2025)
Narasi yang sama terus diulang setiap kali dunia sedang menghadapi bencana cuaca. Hujan menjadi kambing hitam karena sistem ekologi telah dirusak. Padahal hujan adalah salah satu proses alami yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem bumi. Hujan memang turun dari langit dan itu normal, tanah yang rusaklah yang membuat bencana. Ketika hutan masih utuh, bukit masih punya akar pepohonan dan tanaman punya daya serap. Hujan sederas apa pun tidak akan seketika menyebabkan banjir dan longsor.
Berbagai bencana cuaca yang terjadi adalah wajah krisis iklim yang makin mendesak kehidupan kita. Sirine darurat kerusakan ekologis ekstrem. Ketika hulu terus dibabat, hilir akan terus tenggelam. Krisis iklim yang bukan lagi ancaman masa depan, tetapi ia sudah hadir hari ini. Ketika ini dirasakan oleh seluruh belahan bumi, kita tentu perlu menduga bahwa ada masalah yang mendasar dan sistematis yang mengakibatkan semua ini terus terjadi.
Disampaikan dalam situs resmi un.org, sejak 1800-an aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim. Berhubungan dengan aktivitas manusia tidak terlepas dari cara pandangnya tentang kehidupan. Ketika kehidupan dilihat sebagai segala sesuatu yang dapat dikomoditaskan, hal ini menjadi faktor utama krisis iklim hari ini. Kehidupan dinilai sebagai kegiatan produksi dan konsumsi.
Hal ini ditegaskan Masoud Movahed peneliti ekonomi di New York University, “Pertumbuhan dan konsumerisme adalah inti sistem ekonomi kapitalisme. Tuntutan untuk terus meningkatkan produksi dan konsumsi telah mendorong eksploitasi SDA secara besar-besaran. Demi menekan biaya produksi dan memenangkan persaingan, para korporat tidak segan-segan mengorbankan kelestarian lingkungan.
Teori-teori penanganan krisis iklim dari berbagai sudut pandang tentu saja sudah lahir. Berbagai penemuan solusi praktis dan teknikal penanganan krisis iklim juga tak kurang-kurang lahir dari para peneliti. Tentu saja konferensi-konferensi terkait isu ini juga sudah berulang kali dilakukan. Namun, forum bergensi seperti Conference of the Parties (COP) tak ubahnya menjadi platform greenwashing terbesar di dunia ketika sudut pandang kapitalisme tetap melekat.
Perusahaan dan negara-negara pelaku polusi terbesar dapat menebus "dosa iklim" mereka dengan mengumumkan komitmen net-zero di tahun 2050, sambil terus mengekspansi proyek mineral, batu bara, minyak, dan gas. Mereka menciptakan narasi seolah-olah sedang bergerak. Padahal mereka hanya menendang masalah ke bawah tangan, ke pundak generasi mendatang. Jelaslah, kapitalisme paling bertanggung jawab atas krisis iklim hari ini.
Tuntutan logis bagi dunia ini adalah kembali pada sistem kehidupan yang berasal dari Zat Pencipta planet bumi, manusia, alam semesta dan kehidupan. Allah menciptakan planet bumi dan segala isinya dengan ukuran masing-masing sehingga serasi dan harmoni satu sama lain. Puluhan tahun sebelumnya, Allah sudah memberi pesan pada umat manusia melalui Rasul-Nya.
Sesuai Firman-Nya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41)
Dalam perspektif Islam, negara diposisikan sebagai pihak yang wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar dan kesejahteraan individu. Rasulullah saw. menegaskan: “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Atas dorongan keimanan, pemimpin dalam negara Islam memiliki kesadaran penuh bahwa amanah yang diembannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kacamata keimanan pula yang menghadirkan pemahaman bahwa setiap apa pun di alam semesta merupakan titipan Allah yang dapat dimanfaatkan untuk menopang kehidupan manusia tanpa merusaknya.
Negara sebagai subjek yang diamanahi oleh As-Syari untuk mengelola kepemilikan umum, yaitu SDA akan melakukan eksploitasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan publik. Produksi akan dilakukan jika dibutuhkan. Jika belum dibutuhkan akan digunakan sebagai cadangan.
Allah menyediakan seperangkat aturan kehidupan berupa sistem kehidupan Islam agar planet bumi lestari. Bukan hanya menjaga kelestarian, tetapi juga berfaedah maksimal bagi kehidupan masyarakat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


