Happy Marriage VS Scarry Marriage
OpiniJika ini terus dibiarkan negeri dengan bonus demografi pun bisa punah
ketika masa-masa fertilitas tidak digunakan tepat pada masa suburnya
_______________________
Penulis Yuli Mariyam
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Allah Swt. menciptakan manusia dengan segala potensi dan nalurinya. Salah satu potensi yang dimiliki manusia adalah bertumbuh dan berkembang biak. Manusia memenuhi kebutuhan jasmaninya dengan makan, minum, tidur, dan beraktivitas. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi bisa mengakibatkan pada kematian.
Potensi yang lain adalah rasa. Semua manusia dibekali dengan rasa marah, sedih, bahagia, dan malu. Dengan tujuan manusia bisa mengekspresikan diri dalam merespons sebuah kondisi. Syeikh Taqiyudin An Nabhani menuliskan dalam kitab Nizamul Islam bab 2 tentang qada dan qadar. Selain mempunyai potensi, manusia juga punya gharizah atau naluri yang dibagi menjadi tiga, yakni naluri berketuhanan atau gharizah tadayyun, naluri mempertahankan diri atau gharizah baqa’ dan naluri berkasih sayang atau gharizah nau’.
Ketiga hal tersebut juga harus dipenuhi. Jika tidak, manusia akan gelisah. Naluri berkasih sayang bertujuan untuk melestarikan keturunan. Adapun menikah adalah jalan satu-satunya yang dibolehkan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam surah Ar-Rum ayat 21 Allah Swt. menjanjikan bahwa dengan menikah manusia akan mendapatkan sakinah (ketenangan), mawaddah (rasa ingin membahagiakan pasangan), dan juga rahmah (kasih sayang).
Namun, pandangan pernikahan tersebut saat ini mengalami pergeseran nilai di masyarakat terutama pada generasi muda (Gen Z). Pernikahan yang harusnya mengantarkan pada kebahagiaan berubah menjadi hal menakutkan. Ya, scarry marriage menjadi tren di kalangan pemuda. Mereka lebih memilih hidup melajang dengan serba ada daripada harus menikah, tetapi dengan bayang-bayang kemiskinan. Hal ini dipicu oleh pandangan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan. (Kompas.com, 27-11-2025)
Ideologi Kapitalis Adalah Biang Masalah
Kapitalisme dengan asas sekularisme meniadakan keyakinan bahwa Allah adalah Sang Pemberi rezeki. Dalam kondisi kebutuhan pokok yang melambung tinggi, pendidikan yang hanya bisa dijangkau oleh yang berdompet tebal dan kesehatan yang mahal, lapangan kerja yang menyempit, membuat pemuda memilih menghidupi dirinya sendiri dari pada harus menambah beban dengan menikah. Ditambah lagi dengan sifat konsumtif generasi muda.
Hedonisme dan karir menjadi lebih penting dari sebuah pernikahan. Tak kalah penting adalah angka perceraian atau kematian yang meningkat tajam yang diekspos oleh media dengan berbagai penyebab seperti perselingkuhan, ekonomi sulit, KDRT makin memperkuat ketakutan Gen Z untuk menikah. Padahal jika ini terus dibiarkan negeri dengan bonus demografi pun bisa punah ketika masa-masa fertilitas tidak digunakan tepat pada masa suburnya. Negeri akan kehilangan generasi seperti Jepang dan Swiss.
Ada yang harus diubah dari pemahaman generasi ini agar sumber daya manusia tetap ada dan terjaga kelestariannya. Semua harus kembali kepada aturan yang sudah diberikan oleh Allah Swt. sebagai pencipta manusia. Dialah yang mengetahui apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Islam adalah sebuah aturan kehidupan yang sempurna dan paripurna.
Dalam memandang persoalan pernikahan, pendidikan yang berasaskan akidah Islam adalah kunci utamanya. Pemuda akan diberikan pengajaran secara formal dan nonformal akan ibadah terpanjang tersebut. Bagaimana kedudukan laki-laki sebagai qawwam atau pemimpin? Siapa saja yang dalam tanggungannya? Bagaimana harus menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka?
Seperti seruan Allah dalam Al-Qur'an surah At-Tahrim ayat 6: "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Perempuan juga akan mendapatkan pengajaran sebagai pendamping yang bisa mengantarkan kepada ketenangan pasangannya. Bagaimana cara dia harus menjaga diri, harta dan kehormatan suaminya, menjadi ibu dan juga pengatur rumah.
Tidak hanya pemuda yang akan menjalani biduk rumah tangga, orang tua juga punya peran menyiapkan anaknya untuk menikah. Jika seseorang belum menemukan pasangan saat usia dan pemikirannya sudah matang, negara harus berperan dengan mencarikan pasangan. Hal ini seperti kisah Rasulullah yang mencarikan pasangan bagi Zulaibib, seorang sahabat yang salih, tetapi tak segera mendapat pasangan karena buruk rupa dan miskin.
Bahkan, negara Islam akan memudahkan prosesi pernikahan dengan menggelar pernikahan massal agar pemuda tidak takut dengan biaya pernikahan yang disebut-sebut menjadi beban berat bagi kedua keluarga mempelai. Terkait dengan nafkah, negara Islam akan menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang murah dan terjangkau.
Negara akan menghidupkan tanah mati dengan memberi izin kepada umat yang mampu mengelola tanah tersebut. Dengan memperhatikan apakah tanah tersebut adalah tanah pertanian, perkebunan, hunian, dan bukan tanah pertambangan apalagi tanah hima yang harus dijaga kelestarian ekosistemnya.
Dengan pengelolaan sumber daya alam yang tepat, negara akan berdaya dalam memberikan pelayanan terbaik dalam pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat hanya perlu bekerja untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok saja yakni sandang, pangan, dan papan.
Alhasil, waktu mereka akan lebih disibukkan dengan urusan akhirat, sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah. Aktivitasnya menjadi khalifah di muka bumi semata-mata untuk menyiapkan jawaban atas pertanyaan di akhirat kelak, dan surga adalah sebaik-baik tempat kembali. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


