PPN Naik Lagi, Rakyat Diperas Lagi
Opini
Bayangkan jika seluruh sumber daya alam dikelola oleh negara
Tentu negara tidak perlu memungut pajak sebagai sumber pendapatan
_________________________
Penulis apt. Siti Nur Fadillah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pemerasan Rakyat Lewat PPN
Bersisa ampas, masih juga diperas. Kabar memprihatinkan kembali muncul setelah pemilu berlalu. Beban pajak rakyat dipastikan naik menjadi 12% pada 2025. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan kenaikan tarif PPN akan berlanjut karena sudah keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Jokowi (CNBC, 08/03/2024). Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan dalam UU PPN pasal 7 ayat 3, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% (Tirto, 08/03/2024).
Kendati memiliki kewenangan untuk menurunkan PPN, kenyataannya pemerintah memilih untuk menaikkannya. Kebijakan ini tentu sangat membebani masyarakat, terutama di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok. Peneliti INDEF, Abdul Pulungan mengatakan, kenaikan PPN ini relatif tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Seperti Singapura hanya 9%, Thailand sebesar 7%, Vietnam 8%, dan Malaysia hanya 6%. Dampak dari kenaikan ini yakni lonjakan impor, karena produk luar negeri lebih murah. Selain itu, akan mempengaruhi daya beli masyarakat sebab harga kebutuhan juga akan ikut naik. Meskipun barang pokok seperti beras, daging, telur, susu, sayur tidak dikenakan kenaikan tarif, tetapi potensi kenaikan akan tetap ada karena respon dari penjual (Hukum Online, 21/03/2024).
Bobroknya Sistem Ekonomi Kapitalis
Tebal mukanya pemerintah memutuskan untuk menaikkan PPN, sejatinya adalah bukti nyata betapa bobroknya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi yang lahir dari demokrasi ini memang rusak sejak awal. Sudahlah mencabut peran Allah Swt. sebagai pembuat hukum, peran tersebut justru diberikan kepada manusia yang mudah lupa diri dan serakah. Di saat Allah Swt. telah menentukan aturan kepemilikan, aturan yang penting dalam pengelolaan negara, manusia dengan pongahnya membuang aturan tersebut. Ketika kepemilikan tidak diatur, harta negara yang seharusnya dikelola negara untuk dimanfaatkan bersama, justru hanya dikuasai para pemilik modal (re: kapitalis) yang serakah. Sementara masyarakat yang tidak memiliki modal, harus mengais sisa-sisa harta di bawah kaki para kapitalis. Maka tidak heran, sistem ini hanya menguntungkan para orang kaya, dan memiskinkan masyarakat biasa.
Habisnya harta negara di tangan para kapitalis, kini menyisakan negara yang kebingungan tidak memiliki sumber kekayaan. Dan di sinilah bukti selanjutnya mengapa sistem ekonomi kapitalis menyengsarakan rakyat. Negara yang tidak memiliki sumber kekayaan, kini mencari kambing hitam untuk dieksploitasi. Dan siapa lagi jika bukan rakyat yang menjadi kambing hitamnya. Rakyat yang siang malam banting tulang mencari nafkah, sekadar untuk menyambung nyawa di tengah melambungnya harga, masih dipaksa mengumpulkan pajak untuk negara. Rakyat diimingi dengan slogan palsu seperti “orang bijak taat pajak”, “bangga bayar pajak” agar secara sukarela menyerahkan hartanya. Mirisnya pemungutan ini dijadikan sumber utama pendapatan negara, yaitu 80% dari total pendapatan negara. Di mana manfaat dari pemungutan ini jarang sekali dirasakan oleh rakyat, sebab tingginya korupsi atau pemanfaatan dana yang kurang maksimal.
Rakyat Sejahtera dengan Islam Kafah
Jika kita berpikir secara rasional, penerapan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis tidak meninggalkan apapun, kecuali penderitaan. Maka sudah saatnya, sebagai Muslim beriman, untuk meninggalkan sistem bobrok yang mengacuhkan Allah sebagai pembuat hukum dan kembali kepada syariat Islam secara menyeluruh (kafah). Bila masih ada yang menganggap Islam tidak pernah mengatur sistem ekonomi dan politik, maka mereka belum memahami bahwa Islam pernah diterapkan secara kafah selama 1300 tahun dan telah menaungi ⅔ dunia. Dan rakyat hidup secara sejahtera, tanpa dipungut pajak.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang menerapkan aturan buatan manusia yang rentan rekayasa, negara Islam akan mengembalikan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum, menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum. Di antaranya dalam masalah aturan kepemilikan, Allah sudah mengaturnya melalui sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad yaitu,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
Dalam hadis tersebut, Allah jelas mengatur bahwa sumber daya alam baik air, hasil hutan, dan barang tambang, harus dimanfaatkan secara bersama dan tidak boleh diprivatisasi. Dan negara wajib mengelolanya untuk kemudian dikembalikan hasilnya kepada masyarakat.
Sebagai bukti betapa luar biasanya pengaturan Islam adalah dalam pengelolaan hasil tambang. Pendapatan PT. Freeport Indonesia, yang telah mengeksploitasi tanah Papua misalnya. Pada tahun 2022, pendapatan Freeport dari operasi di Indonesia saja sebesar Rp126,39 triliun. Pendapatan tersebut hanya dari satu lokasi tambang, bayangkan jika seluruh sumber daya alam dikelola oleh negara. Tentu negara tidak perlu memungut pajak sebagai sumber pendapatan. Dana terpenuhi dengan baik, pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan dapat diberikan secara gratis dan terbaik.
Kalaupun memang negara memerintahkan untuk memungut pajak, hal tersebut hanya jika dana negara telah habis. Pemungutan pajak tidak dibebankan pada seluruh warga negara, melainkan hanya kepada kaum muslim laki-laki yang baligh. Warga negara non-muslim, perempuan, dan anak-anak tidak termasuk wajib pajak. Pajak juga hanya diambil dari kaum muslim laki-laki yang mampu, setelah dikurangi seluruh kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional. Dengan kata lain, jika ada kaum muslim yang memiliki kelebihan, setelah dikurangi kebutuhannya, maka dia menjadi wajib pajak. Besaran pajak yang dibayar sama sekali tidak membebani, melainkan sekedar untuk membiayai kebutuhan yang diterapkan oleh syarak. Negara juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, seperti PPN, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli, dsb. Sehingga rakyat dapat hidup sejahtera, fokus beribadah, tanpa terbebani pajak-pajak yang memeras. Wallahualam bissawab. [GSM]