Alt Title

Kapitalisme Bukan Bencana Nasional tetapi Bencana Kehidupan

Kapitalisme Bukan Bencana Nasional tetapi Bencana Kehidupan




Tidak ditetapkannya banjir Sumatra dan Aceh menjadi bencana nasional membuktikan bahwa 

sistem kapitalisme sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com SURAT PEMBACA- Alasan banjir sumatera belum ditetapkan sebagai bencana nasional menjadi tanda tanya publik.


Banjir yang menerjang wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sontak menjadi perhatian berbagai negara. Banyaknya jumlah korban dan kerusakan infrastruktur membuat masyarakat menanti penetapan banjir sumatera sebagai bencana nasional. (Detiknews.com, 04-12-2025) 


Pemerintah belum juga menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional padahal data BNPB (6-12-2025) menjelaskan korban jiwa 916 jiwa, orang hilang 274 jiwa, korban luka mencapai  4.200 jiwa. 


Presiden Prabowo Subianto tidak meninjau secara keseluruhan titik-titik korban bencana sehingga mengatakan bencananya sudah mulai membaik. Pemerintah tidak menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional karena kurangnya APBN (Anggaran Pendapat dan Belanja Negara) untuk membantu korban bencana dan faktanya pejabat sendirilah yang memberikan izin untuk merusak alam di Pulau Sumatra.


Ketika dijadikan bencana nasional maka akan terungkap bahwa bencana Sumatra bukan semata- mata karena faktor alam, melainkan alih fungsi lahan seperti deforestasi yang mengubah hutan menjadi kebun kelapa sawit,  rusaknya ekosistem hulu,  rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh industri ekstraktif, penggundulan hutan yang sangat luas dan eksploitasi tambang. Dengan semua faktor tersebut maka terjadilah bencana banjir dan longsor di Sumatra.


Hutan yang gundul tidak mampu lagi menampung air yang sangat deras sehingga terjadi longsor, akses jalan terputus, listrik mati, sinyal hilang, dan korban terisolir. Begitulah gambaran bencana yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. 


Sungguh sangat menguras air mata dengan bencana yang terjadi di tiga provinsi. Pemerintah tidak menjadikannya sebuah bencana nasional. Alhasil, yang terjadi di lapangan adalah korban bantu korban, warga bantu warga.


Dalam sistem kapitalisme, pemimpin hadir bukan untuk mengurus rakyatnya namun ingin mencari keuntungan dan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Hutan diprivatisasi sebagai lahan ekonomis untuk menambah pundi-pundi cuan sehingga yang kaya hanya segelintir individu, tetapi dampaknya kerusakan lingkungan dirasakan oleh jutaan masyarakat.


Sistem kapitalis menjadikan kekayaan alam tidak dikelola untuk kemaslahatan rakyatnya, tetapi dikuasai oleh oligarki dengan izin para penguasa. Alhasil, nampak jelas ketimpangan di tengah masyarakat yang kaya akan makin kaya dan yang miskin makin miskin. 


Penguasa dan oligarki yang dengan mudahnya menguasai hutan mengubah hutan menjadi tidak berfungsi menjaga alam. Rakyat tidak mendapatkan hasil hutan, tetapi rakyatlah mendapatkan bencana banjir dan longsor.  


Pulau Sumatra dijadikan pihak penguasa dan oligarki untuk dikeruk sumber daya alamnya dan setelah bencana terjadi  penguasa seolah angkat tangan. 

 

Solusi dalam Islam


Islam mengklarifikasi kepemilikkan menjadi tiga bagian. Kepemilikkan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Hutan termasuk lahan milik umum maka haram dimiliki perorangan.


Rasulullah saw. bersabda, "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR. Abu Daud) 


Haram jika hutan, laut, danau, sungai, pulau, gunung dan lain sebagainya dijadikan milik individu karena dalam lslam kaum muslim memiliki hak berserikat didalamnya.


Haram jika melarang orang  lain mengakses dan memanfaatkan tanah milik umum. Setiap individu berhak  memanfaatkan tanah, danau, sungai, hutan, laut yang bisa dimanfaatkan masyarakat serta tidak merusak lingkungan.


Jika Hutan dikuasai oleh Hak Pengusaha Hutan  (HPH)  kepada perusahaan - perusahaan swasta untuk privatisasi maka jelas haram dan zalim karena kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang.


Dalam Islam, negara wajib mengelola hutan dan mengusahakannya untuk kesejahteraan rakyat karena didalamnya terdapat hajat orang banyak.  Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslim itu bersaudara satu sama lain. Mereka bersama-sama memiliki air dan pepohonan." (HR. Abu Dawud dan ath Thabrani)


Maka sudah selayaknya kita mengganti sistem kapitalisme yang telah rusak dan merusak semua lini kehidupan. Saatnya kita melanjutkan kembali kehidupan Islam berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah yang pernah menaungi ⅔ dunia dengan kemajuan dan keadilannya yang dirasakan langsung baik muslim maupun nonmuslim. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]


Tina Sitorus