Jadi, pengelolaan tanah dengan menggunakan hukum selain hukum Allah, berarti telah melenceng dari konteks hukum Islam
Haram hukumnya mengambil serta menggunakan hukum buatan manusia
______________________________
Bersama KH. M Siddiq Al-Jawi, M. Si
KUNTUMCAHAYA.com, FIKIH - Beberapa waktu yang lalu saudara-saudara kita di Rempang Batam Kepulauan Riau, terlibat bentrok dengan aparat keamanan. Mereka menolak untuk direlokasi, meninggalkan tanah kelahiran yang sudah mereka tempati secara turun-temurun. Hal itu memicu aparat keamanan kemudian menyemprotkan gas air mata, akibatnya beberapa anak SD dan SMP pingsan.
Lalu seperti apa sih hukum pertanahan di dalam syariat Islam? Berikut ini adalah penjelasan rincinya, yang dipaparkan secara gamblang oleh guru kita KH. M Siddiq Al- Jawi, M. Si, dalam kajian online "Rubrik Tanya Jawab Fikih". Dan diunggah oleh channel YouTube Ngaji Subuh.
"Tema kajian kita kali ini tentang hukum pertanahan dalam pandangan Islam, terutama terkait kasus Rempang. Bagaimana sih kedudukannya, bagaimana pula pandangan di dalam syariat Islam? Mohon penjelasan Pak Kiai," kata host Muhammad Supriadi mengawali kajian.
"Jika kemudian Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyanggah deadline bahwa penduduk Rempang harus keluar, segera mengosongkan tanah-tanah yang mereka hidup di dalam secara turun-temurun itu tidak ada, maka sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah hanya menunda. Sementara prosesnya tetap berjalan. Yaitu lewat door to door yang dilakukan oleh aparat. Rakyat didekati secara door to door, bukan lagi dengan kekerasan," ungkap Kiai Haji Siddiq mengawali penjelasannya.
Terkait dengan hukum pertanahan, sekiranya sangat penting bagi kita untuk mempelajarinya. Sebenarnya, masalah pertanahan di dalam Islam bukan sekadar pembebasan tanah yang dilakukan oleh negara. Yang awalnya tanah milik rakyat, kemudian negara mengambil alih karena memerlukannya.
"Bukan hanya itu! Di sini saya akan coba memberikan wawasan yang luas terkait hukum pengelolaan tanah dalam syariat Islam. Namun, karena materinya sangat panjang, dan juga dibatasi oleh waktu, untuk itu kita akan membagi menjadi dua sesi," ungkapnya.
Pertama, hukum pertanahan di dalam Islam
"Yaitu hukum-hukum mengenai tanah khususnya dalam tiga hal: satu, milkiyyah atau kepemilikan. Kemudian dua, pemanfaatan atau at- tasharruf serta yang ketiga yaitu pendistribusian tanah atau at-tauzi," Kiai melanjutkan penjelasannya.
Dalam kitab fikih modern hukum pertanahan juga disebut dengan Ahkamul Ardh seperti yang disebut dalam kitab Nizham Iqtishadi karya Imam besar Syekh Taqiyuddin An-Nabhani.
Sedangkan dalam kitab-kitab fikih terdahulu banyak juga ulama-ulama yang membahas tentang tanah. Dibahas dalam Kitab Al-Kharaj yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Beliau wafat pada tahun 193 H, yang berarti kurang lebih 1200 tahun lalu.
Kitab yang sama juga ditulis oleh Imam Yahya bin Adam. Kitab Al- Amwal ditulis oleh Imam Abu Ubaid. Serta kitab Al-Ahkamul Sulthaniyah karya Imam Mawardi dari Mazhab Syafi'i. Kitab yang sama pun ditulis oleh Imam Abu Ya'la, beliau bermazhab Hambali.
Sedangkan dalam kitab-kitab modern kita mengenal kitab Al-Amwal fii Daulah Khilafah karya Syekh Abdul Qodim Zallum. Kemudian, ada kitab yang ditulis oleh Achif Abu Zaid Sulaiman yaitu kitab Ihyya 'Al-Ard Al Mautti fii Al-Islami yang artinya menghidupkan tanah mati dalam Islam.
"Sayangnya, hukum pertanahan di Indonesia saat ini menggunakan hukum peninggalan penjajah Belanda.Yang menganggap bahwa tanah yang tidak mempunyai sertifikat menjadi tanah milik negara. Artinya, rakyat yang tinggal di situ tidak mempunyai hak atas kepemilikannya. Semua milik negara. Akibatnya, pemerintah merasa berhak mengusir mereka jika tanah itu diperlukan. Dan itulah yang diterapkan oleh pemerintah atas Pulau Rempang. Negara merasa berhak mengambil alih tanah karena merasa diperlakukan. Untuk apa? Diberikan kepada investor asing," ungkapnya.
Kedua, filosofi kepemilikan tanah
Islam memandang bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah Swt.. Hal itu sesuai dengan apa yang tertulis di dalam Al-Qur'an. Allah Swt berfirman:
"Dan milik Allah-lah, kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembali (seluruh makhluk)." (QS. An-Nur (24): 42).
Dalam firman Allah Swt. yang lain.
"Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, termasuk tanah. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Hadid (57):2).
Meski begitu, Allah Swt. sebagai pemilik hakiki atas tanah, memberikan kuasa atau amanah kepada manusia untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan hukum-hukum Allah Swt..
Sesuai dengan ayat dalam Al-Qur'an, Allah Swt. berfirman:
"Dan nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu penguasanya (amanah)." (QS. Al- Hadid (57):7).
Ayat ini merupakan dalil bahwa asal-usul kepemilikan, adalah milik Allah Swt. dan manusia tidak mempunyai hak, kecuali memanfaatkannya. Tentu, dengan cara yang diridai oleh Allah Swt. yaitu dengan syariat Islam.
Jadi, pengelolaan tanah dengan menggunakan hukum selain hukum Allah, berarti telah melenceng dari konteks hukum Islam. Haram hukumnya mengambil serta menggunakan hukum buatan manusia. Hukum peninggalan penjajah Belanda, meskipun di Indonesia telah diadaptasi ke dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Ketiga, kepemilikan tanah dan implikasinya
Kepemilikan dalam bahasa arab disebut dengan milkiyyah. Yaitu hak atau izin yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk memanfaatkan suatu benda. Dan hukum yang mengatur kepemilikan itu lahir dari hukum Allah Swt., bukan dari manfaat yang ada pada benda tersebut. Begitu juga dengan tanah. Bahwa hukum yang mengatur persoalan tanah bukan berasal dari tanah itu sendiri, melainkan dari wahyu Allah Swt..
Berbeda dengan hukum positif yang diterapkan di Indonesia. Kepemilikan tanah tidak diatur oleh hukum Allah Swt., tetapi diatur berdasarkan pandangan manusia terhadap tanah itu sendiri. Hal ini karena paham yang memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Agama tidak boleh mengatur persoalan ekonomi, politik, budaya, sosial dan lain-lain. Termasuk juga persoalan tanah.
Syariat Islam telah mengatur persoalan tanah secara rinci. Dengan mempertimbangkan dua aspek. Aspek zat tanah (Raqabattul Ardh) dan manfaat tanah. Apakah penggunaannya untuk pertanian atau untuk pemukiman.
Terkait dengan aspek zat tanah, dikategorikan menjadi dua yaitu tanah 'Usyriyyah dan tanah Kharajiyyah. Tanah 'Usyriyyah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan. Contohnya adalah, Madinah al Munawaroh, Indonesia, seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan termasuk Mekah, dan tanah mati yang dihidupkan oleh seseorang. Secara hukum semuanya termasuk milik Individu baik dari segi zatnya, maupun manfaatnya. Artinya individu boleh menjual-belikan, menghibahkan, dan boleh juga diwariskan. Tapi, tidak boleh digadaikan apalagi untuk jaminan utang.
Jika dalam bentuk lahan pertanian, akan dikenai 'Usr atau zakat pertanian. Sebesar 10 persen jika diairi dengan air hujan. Namun, jika diairi dengan irigasi maka zakat yang harus dibayar 5 persen dari hasil pertanian.
Untuk tanah 'Usyriyyah yang yang berbentuk pemukiman penduduk, maka tidak ada zakatnya. Kecuali, jika tanah tersebut diperdagangkan. Maka, akan terkena zakat perdagangan sebesar 2,5 persen dari harga tanah setelah mencapai nisab dan haulnya. Jika tanah 'Usyriyyah dibeli oleh orang kafir, tidak terkena kewajiban zakat. Karena orang kafir tidak terbebani kewajiban zakat.
Sementara tanah Kharajiyyah adalah tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui peperangan. Misalnya Irak, Syam, Mesir, kecuali Jazirah Arab. Juga tanah yang dikuasai melalui perdamaian, misalnya tanah Bahrain dan Khuraizan. Pemanfaatannya milik kaum muslimin, sementara kepemilikannya diwakili oleh Baitulmal. Ini berarti menjadi tanah milik negara. Individu hanya memiliki hak guna, boleh diperjualbelikan, namun tidak boleh diwakafkan.
Jika tanah Kharajiyyah berbentuk lahan pertanian, maka akan terkena kewajiban Kharaj, yaitu pajak tanah yang diambil negara satu tahun sekali dari hasil pertanian. Kharaj hukumnya tetap. Artinya, wajib dibayar baik tanah ditanami ataupun tidak. Kharaj tidak akan gugur meskipun pemiliknya masuk Islam, atau dijual oleh nonmuslim kepada muslim.
Adapun tanah Kharajiyyah yang dikuasai dengan perdamaian hukumnya ada 2 yaitu:
Satu, jika perdamaian menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin, maka Kharajnya abadi meski dijual kepada sesama muslim.
Dua, jika perdamaian menetapkan tanah menjadi milik nonmuslim, maka kedudukan Kharajnya sama dengan Jizyah. Artinya, kewajiban Kharajnya akan gugur, jika pemiliknya masuk Islam atau dijual kepada muslim.
Tiga, jika tanah itu berbentuk pemukiman penduduk, maka tidak ada kewajiban Kharaj dan tidak ada juga 'Usr atau zakat. Kecuali, jika diperjualbelikan maka akan terkena zakat perdagangan setelah terpenuhi nisab dan haulnya.
"Lalu, bagaimana jika ada Kharaj dan 'Usr yang harus dibayar bersama dalam satu tanah? Jika ada tanah Kharaj yang dikuasai melalui perang. Lalu, tanah itu dijual kepada muslim, maka akan terkena kewajiban zakat atau 'Usrnya. Kharaj dibayar terlebih dahulu dari hasil pertanian. Dan, jika sisanya mencapai nisab, maka zakatnya pun wajib dikeluarkan. Hanya empat komoditi pertanian yang terkena zakat yaitu, gandum, jewawut, kurma, dan kismis," imbuhnya.
Keempat, cara-cara memperoleh kepemilikan tanah
Cara memperoleh tanah menurut syariat Islam yaitu:
1. Jual beli secara sukarela bukan paksaan
2. Waris
3. Hibah
4. Menghidupkan tanah mati
5. Tahjir atau membuat batas pada tanah mati
6. Pemberian negara kepada rakyatnya.
Menghidupkan tanah mati yang tidak diambil manfaatnya oleh siapa pun. Artinya, memanfaatkan tanah itu misalnya untuk bercocok tanam atau dibangun bangunan diatasnya. Dan ketika seseorang menghidupkan tanah mati, maka kedudukan tanah itu menjadi hak miliknya, meskipun tidak ada sertifikatnya.
Hal itu sesuai dengan hadis Rasulullah saw.
"Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah mati itu menjadi miliknya." (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan Tahjir atau membuat batas pada tanah mati, ini pun sesuai dengan hadis dari Rasulullah saw.
"Barang siapa yang membuat batas pada tanah mati, maka tanah mati itu menjadi miliknya." (HR. Al-Bukhari).
Pemberian negara kepada rakyatnya. Sebagaimana yang Nabi Muhammad saw. lakukan. Beliau memberikan tanahnya kepada Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, juga kepada Zubair bin Afwan ketika hijrah ke Madinah.
Kelima, yaitu hilangnya kepemilikan tanah pertanian
Menurut syariat Islam, jika tanah pertanian ditelantarkan dalam waktu 3 tahun berturut-turut, maka hak kepemilikan terhadap tanah tersebut akan hilang. Negara berhak menarik kepemilikan tanah tersebut, untuk kemudian diberikan kepada orang yang mampu untuk mengolahnya. Meliputi tanah pertanian yang dimiliki oleh rakyat berdasar Qiyas Sahabat. Hal itu karena adanya persamaan hukum yaitu penelantaran tanah selama 3 tahun berturut-turut
Begitulah penjelasan dari KH.M Siddiq Al-Jawi untuk sesi kali ini.
Wallahualam bissawab. (Tinah Ma'e Miftah)