Alt Title

Takut Nikah Bukan Takut Jodoh: Luka Ekonomi Kapitalisme

Takut Nikah Bukan Takut Jodoh: Luka Ekonomi Kapitalisme



Ketakutan terhadap pernikahan sejatinya bukan soal mentalitas generasi muda yang manja

tetapi produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang menciptakan ekosistem hidup yang mahal dan tidak manusiawi


________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Ketika Ekonomi Membayangi Cinta
Di tengah gencarnya kampanye pernikahan dini dan keutamaan membentuk keluarga muda, justru generasi saat ini dihadapkan pada realita yang jauh dari romantis.


Kalimat “marriage is scary” tak lagi terdengar sebagai canda di media sosial, melainkan refleksi nyata dari keresahan generasi muda yang menyaksikan beban hidup orang tuanya, menyadari sulitnya memiliki rumah, dan menyimpan kekhawatiran besar akan stabilitas finansial pasca-menikah.


Menurut laporan Kompas.id (5 Oktober 2025), makin banyak anak muda yang merasa bahwa kestabilan ekonomi jauh lebih penting daripada segera menikah. Di kota-kota besar, fenomena ini kian terasa.


Harga kebutuhan pokok melonjak, biaya sewa, dan cicilan hunian makin tak terjangkau, serta persaingan kerja yang makin ketat. Semua ini membentuk persepsi bahwa menikah hanya akan menambah daftar beban hidup yang belum sempat tertangani.


Lebih dari itu, narasi populer tentang pernikahan yang penuh tuntutan dan berujung pada perceraian makin menegaskan bahwa generasi muda tak hanya takut gagal dalam cinta, tetapi takut tak mampu bertahan dalam tekanan ekonomi. Mereka menyaksikan banyak keluarga yang berpisah bukan karena kurang cinta, tetapi karena tak kuasa menahan beban hidup bersama.


Luka Kapitalisme dalam Ruang Privat


Ketakutan terhadap pernikahan sejatinya bukan soal mentalitas generasi muda yang manja, tetapi produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang menciptakan ekosistem hidup yang mahal dan tidak manusiawi. Dalam sistem ini, seluruh kebutuhan dasar mulai dari pangan, papan, hingga pekerjaan diletakkan dalam mekanisme pasar bebas yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat banyak.


Upah rendah tidak sebanding dengan inflasi kebutuhan dasar. Negara alih-alih menjadi pelindung dan pengayom, justru berperan sebagai regulator pasif yang membiarkan rakyat bergulat sendiri dengan kompetisi dan ketidakpastian. Tak heran, banyak generasi muda yang merasa bahwa menikah hanya membuka pintu pada ketidakpastian finansial yang lebih besar.


Lebih buruk lagi, pendidikan sekuler dan media liberal tak mendidik generasi untuk hidup sederhana dan berpandangan jauh, tetapi justru menanamkan nilai-nilai hedonistik dan konsumtif. Materialisme menjadi tolok ukur suksesnya rumah tangga, bukan ketahanan nilai, visi hidup, atau komitmen ibadah.


Akibatnya, pernikahan yang sejatinya adalah ibadah dan sarana menjaga fitrah. Kini, dianggap sebagai beban sosial dan ekonomi. Mereka lebih takut jatuh miskin daripada takut hidup sendiri.


Pernikahan dalam Naungan Sistem Illahi


Islam memandang pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza perjanjian agung yang tak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga membangun generasi pelanjut umat. Dalam Islam, negara memiliki peran aktif untuk memastikan pernikahan bukan hanya mungkin terjadi, tetapi tumbuh dalam kesejahteraan dan keberkahan.


Sistem ekonomi Islam menjamin kebutuhan dasar setiap warga negara. Pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan dengan memastikan kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) dikelola negara, bukan swasta atau asing. Hasil pengelolaan sumber daya alam, energi, dan infrastruktur publik dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.


Lapangan kerja disediakan luas, bukan dibatasi dengan kompetisi gaya kapitalisme. Negara juga mendorong pendidikan berbasis akidah Islam, membentuk generasi yang berkarakter kuat, visioner, dan tidak terjebak gaya hidup hedonistik. Pendidikan seperti ini akan menumbuhkan kesadaran bahwa menikah bukan soal mampu atau tidak secara duniawi, tetapi panggilan syariat untuk membangun keluarga yang saleh dan salihah.


Dalam sistem Islam, menikah bukan keputusan menakutkan sebab negara menjadi penjamin kehidupan, bukan sekadar pengatur pasar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah: orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin memerdekakan dirinya, dan orang yang menikah demi menjaga kehormatannya.” (HR. Tirmidzi, no. 1655)


Menikah Tanpa Takut, Asal Sistemnya Berpihak


Generasi muda tidak anti menikah. Mereka hanya takut menanggung beban hidup yang terlalu besar tanpa jaminan keamanan dan keadilan sosial. Ketakutan ini wajar dalam sistem kapitalistik yang menindas rakyat kecil dan mempersulit jalan menuju ketenangan hidup.


Namun, Islam hadir membawa sistem yang menyejahterakan, mendidik, dan menjaga. Dalam sistem Islam, pernikahan bukan mimpi buruk ekonomi, tetapi jalan menuju rida Allah dan peradaban yang agung.


Saatnya umat kembali memperjuangkan sistem yang menguatkan, bukan melemahkan. Agar generasi muda tak lagi berkata, “aku takut nikah,” tetapi justru merindukan keberkahan dalam ikatan suci itu. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Perawati