Alt Title

Perangkap Algoritma Kapitalis Cara Menarik Judol dan Pinjol

Perangkap Algoritma Kapitalis Cara Menarik Judol dan Pinjol




Sudah jelas kita melihat bahwa ruang digital saat ini

sepenuhnya tunduk pada logika keuntungan kapitalis


_______________________


Penulis Sari Yuliyanti

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari ini, masyarakat banyak disuguhkan dengan data banyaknya anak muda yang terjerumus ke dalam permainan judi online dan pinjaman online. Data yang dikeluarkan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa jumlah utang pinjol warga Indonesia hingga Juli 2025 meningkat sekitar 22,01% dari tahun sebelumnya. Saat ini mencapai Rp84,66 triliun dari sebelumnya Rp69,39 triliun. Angka ini juga terus membesar setiap harinya. (detik.com, 05-09-2025)


Yang mengejutkan adalah ternyata peminjam usia muda 19-34 tahun (milenial dan Gen Z) memiliki porsi pinjaman sekitar 57% dari keseluruhan total pinjaman. (kabar24.bisnis.com, 16-03-2024)

 

Kelompok usia inilah yang disinyalir mendominasi kredit macet pinjol alias gagal bayar. Tidak sampai di situ, lebih memprihatinkan lagi survei terbaru di tahun 2025 menunjukkan angka 58% Gen Z pengguna pinjol termotivasi menggunakan pinjol untuk kebutuhan konsumtif alias sekadar memenuhi gaya hidup. (surabaya.kompas.com, 07-05-2025)


Sementara untuk judol, sebanyak 960.000 pelajar dan mahasiswa di Indonesia terlibat kasus judol (kompas.com, 22-11-2025). Data demografi menunjukkan angka yang lebih detail, yaitu pemain judol usia di bawah 10 tahun terdapat 80.000 orang (2% dari total pemain), sebaran pemain antara usia 10-20 tahun sebanyak kurang dari 440.000 orang (11% dari total pemain), dan pemain usia 21-30 mencapai 520.000 orang (13% dari total pemain). Sisanya adalah pemain dari kalangan usia 30-di atas 50 tahun.(ppatk.go.id, 26-07-2024)


Sangat miris sekali, angka-angka ini adalah indikasi serius bahwa generasi muda sangat rentan sekali terseret permainan judol dan pinjol dalam ruang digital. Generasi muda yang sudah terjebak dengan permainan ini merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah karena kekhilafan semata. Namun, apakah benar?


Nyatanya jika ditelisik lebih dalam lagi, yang terjadi jauh lebih sistematis dari sekadar kata “khilaf”. Anak-anak muda ini tidak sekadar tergoda, tetapi memang sedang diarahkan oleh perangkap algoritma kapitalis. Perangkap itu dibuat agar semua yang masuk dalam permainan dan tidak bisa keluar kecuali terus mengikuti putaran permainan hingga keputusasaan menggerogoti hidupnya. 


Lalu, bagaimana permainan tersebut bisa menjebak generasi muda Indonesia? 


Dalam dunia digital kita mengenal ada istilah algoritma. Algoritma media sosial dan platform digital bekerja dengan satu tujuan utama yaitu membuat pengguna media sosial mampu bertahan selama mungkin di dalam aplikasi. Setiap yang dilakukan pengguna dari mulai klik, pencarian, tontonan, dan scroll akan direkam. Dari sanalah, akhirnya sistem memetakan kondisi psikologis pengguna. Apakah ia dalam kondisi sedang cemas, membutuhkan tambahan uang, merasa haus validasi dan ingin diakui, atau lainnya. 


Bagi anak muda yang kehidupannya berada dalam tekanan ekonomi, sinyal ini sangat jelas dan mudah dibaca oleh algoritma. Ketika mereka mencari cara cepat dapat uang, menonton konten flexing, atau sering melihat konten motivasi menjadi kaya di usia muda, algoritma akan membaca hal-hal tersebut. Hingga muncullah iklan pinjaman online yang cair hanya “5 menit” dan konten judi online yang biasanya akan menjanjikan perubahan hidup hanya dalam satu klik saja. 


Hal inilah, yang tidak disadari oleh anak-anak muda. Bahwa sebenarnya konten itu tidak muncul secara acak melainkan karena telah diprogram untuk menemukan orang yang tepat dan rentan di saat yang paling rapuh. Platform digital disetting bukan untuk memprioritaskan keselamatan pengguna, tetapi ia akan menghitung keuntungan yang bisa mereka hasilkan dari para pengguna.


Aplikasi judol dan pinjol adalah dua jenis produk dengan iklan yang mahal, konversi tinggi, dan sifat adiktif yang besar. Karena itu, algoritma akan melihat keuntungan besar dari dua jenis produk tersebut. Tak heran, algoritma akan terus mendorongnya semakin ke atas yang efeknya berarti makin mudah diakses oleh banyak pengguna media sosial. Konten berbahaya tidak akan dihentikan karena trafficnya tinggi. Keselamatan mental, finansial, dan moral anak-anak muda inilah yang akan dikorbankan atas nama engagement.


Anak-anak muda ini akhirnya masuk dalam lingkaran psikologis yang sangat berbahaya. Lingkaran harapan, klik, rasa hampir berhasil, candu, mengulang, dan begitu seterusnya. Ini adalah rekayasa perilaku sistemik yang akan menelan banyak korban. Uniknya, si korban merasa ia yang memilih, tetapi sebenarnya ia masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan dengan arahan-arahan menggiurkan. 


Dari rangkaian kerja algoritma di atas, sudah jelas kita melihat bahwa ruang digital saat ini sepenuhnya tunduk pada logika keuntungan kapitalis. Manusia adalah ladang data dan sumber uang yang menguntungkan bagi mereka. Generasi muda yang seharusnya jadi aset emas masa depan, dihitung sebagai pasar potensial yang bisa dikorbankan untuk kepentingan para kapital. Sangat miris bukan?


Lalu apa yang bisa kita lakukan?


Dalam perspektif Islam, akar masalah ini bukan perilaku individu melainkan sistem. Sistem kapitalisme yang sangat membahayakan sudah merancang banyak permainan untuk menjebak korban hanya karena keuntungan sehingga perlu ada perubahan sistemik untuk bisa menghentikan permainan-permainan berbahaya ini. Perubahan sistemik itu tidak lain dengan mengubah sistem yang diterapkan dari sistem kapitalisme menjadi sistem Islam di bawah naungan Khil4fah Rasyidah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. 


Sistem Islam dalam Khil4fah akan merancang sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan rakyatnya tiap individu per individu. Negara berkewajiban memastikan kebutuhan primer rakyat terpenuhi yaitu sandang, pangan, papan. Alhasil, tidak ada lagi rakyat yang memiliki kecemasan dan merasa perlu jalan pintas karena kesulitan hidupnya.


Pendidikan dalam Islam harus dapat membentuk kepribadian Islam, yaitu membentuk pola pikir dan pola sikap yang terikat dengan konsep halal dan haram. Yang ditanyakan oleh seorang muslim bukan menguntungkan atau tidak, tetapi halal ataukah haram. Dengan paradigma ini, generasi muda muslim akan lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya dan tidak akan mudah tergiur dengan permainan yang menguntungkan namun masuk kategori haram.


Di sisi lain, infrastruktur digital dalam naungan Khil4fah akan dibangun atas paradigma Islam bukan profit. Algoritma akan diarahkan untuk melindungi generasi. Konten merusak berbahaya akan diblokir sebagai langkah preventif, normalisasi atas perbuatan kemaksiatan akan dicegah, dan kriminalitas digital akan ditindak tegas bahkan dari hulunya. 


Walhasil, jika negara terus berdiri di sisi algoritma kapitalis, generasi emas kaum muslim akan terus dijadikan mangsa. Mari selamatkan generasi dengan perubahan sistemik menuju Khil4fah Alaa Minhajin Nubuwah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]