Membangun Jati Diri Generasi di Era Digital
OpiniPembentukan jati diri muslim dalam menyelamatkan anak-anak muda
di tengah gempuran era digital dan hegemoni sekuler kapitalistik dianggap sangatlah penting
______________________________
Penulis Aksarana Citra
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di era digital, Gen Z berada pada persimpangan besar antara kemudahan teknologi dan tantangan menjaga jati diri sebagai muslim. Digitalisasi di era modern kini memang menawarkan fasilitas yang sangat baik, tetapi di saat yang sama membawa arus pemikiran, gaya hidup, budaya seringkali menjauhkan generasi dari nilai-nilai islami.
Di tengah derasnya informasi dan aktivitas daring, aktivitas Gen Z pun mudah terpengaruh pada arah yang tidak sesuai dengan prisip-prinsip syariat sehingga untuk menemukan jati diri muslim harus punya kesadaran penuh dan berpegang teguh pada identitas keimanan.
Generasi kini tidak bisa lepas dari dunia digital. Semua aktivitas manusia bergantung padanya. Mau itu anak remaja, dewasa, dan orang tua semuanya bisa merasakan manfaatnya. Segala kemudahan ditawarkan, informasi dalam hitungan detik tersebar, komunikasi berlangsung tanpa batas.
Fenomena viral pun menjadi hiburan mendadak bahkan alat marketing yang ampuh serta pencitraan di era digital ini. Seseorang bisa menjadi terkenal karena video atau foto yang viral di jagad sosial media hingga bisa jadi aktris dadakan atau pun sebaliknya seseorang bisa mengalami cancel culture atau pemboikotan konten tertentu.
Di sisi lain, ekonomi digital berkembang pesat. Bisnis daring tumbuh di berbagai sektor, sementara itu toko-toko online siap menawarkan barang dan jasa yang komplit untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hiburan juga hadir setiap harinya, menghidupkan dimensi lain dan menjadikan ruang sosial baru yang menjadi dunia kedua bagi banyak orang.
Segala macam hal itu bisa diakses di rumah tanpa harus keluar, cukup denga satu klik di layar gawai, hampir segala sesuatu kebutuhan terpenuhi secara instan, dan kehidupan digital pun menjadi ruang yang membentuk kebiasaan cara berpikir bahkan menjadi jati diri generasi modern saat ini.
Namun di balik semua kemudahan itu, digitalisasi juga membawa dampak buruk bukan sekadar terbawa arus zaman. Realitas kini menunjukkan gambaran bagaimana generasi muda kini banyak yang terjerat pada persoalan yang berat seperti judi online, pinjaman online, perundungan, menjadi target seksualitas, masalah kesehatan mental, kriminalitas, dan maraknya kasus bunuh diri dikalangan remaja serta ancaman narkoba.
Terlebih perkembangan teknologi berjalan seiringan dengan penerapan sistem sekuler kapitalis liberal yang menjadikan digitalisasi makin menjauhkan generasi kita dari nilai-nilai spiritual dan membentuk generasi materialistis yang mengukur kesuksesan seseorang dan pencapaian duniawi semata dan kebebasan menjadi kebebasan yang salah arah yang membuka peluang besar bagi eksploitasi dan kerusakan moral.
Tak hanya itu, banyak pula konten keagamaan yang berseliweran, tetapi sebagian banyak menyimpang, materi dakwah dipotong-potong, dipelintir, dan diambil yang sesuai dengan selera mereka. Akibatnya, ajaran agama kehilangan makna dan berubah menjadi konsumsi hiburan semata, serta menciptakan generasi yang mengenal agama secara dangkal, cepat percaya oleh potongan potongan video, dan mudah terpengaruh tren yang belum tentu sesuai dengan syariat.
Gen Z, generasi yang dikenal paling dekat dengan era digital. Generasi yang sering dianggap lemah. Gen Z, generasi yang dibesarkan dengan arus digital yang cepat dan kebebasan tanpa batas, hidup seakan seperti roller coaster yang cepat dan berubah.
Loncatan informasi yang terus-menerus dari satu informasi ke informasi berikutnya, dari tren satu ke tren lainnya berubah dengan sangat cepat, tiap minggu, bulan, tahun tren baru tercipta, dan tantangan yang dihadapi generasi ini adalah untuk selalu mengikuti tren agar diterima di oleh lingkungan sosialnya.
Ruang digital yang seharusnya menjadi sarana ekspresi malah berubah menjadi ruang penuh tekanan karena harus mengikuti arus tren yang ada. Flexing, bullying atau cyberbullying, konten sensasional, dan challenge yang berbahaya, cancel culture, oversharing menjadi budaya media sosial yang buruk yang kini marak di era digital ini.
Di mana itu semua memicu anxiety atau kecemasan, rendah diri bahkan depresi. Kebebasan yang mereka tawarkan nyatanya malah menjadi jeruji pembelenggu mereka. Ketidakpuasan pada diri sendiri. Adanya standar kecantikan yang mendorong para remaja untuk membandingkan diri dengan orang lain, rasa percaya diri rendah kadang ada yang overconfident.
Mereka harus memenuhi ekspektasi orang lain cuma hanya ingin diterima. Penelitian yang menunjukan bahwa 70% remaja perempuan di Kabupaten Cianjur berusia 11-20 tahun memiliki citra tubuh dalam kategori sedang. Ini berarti mengindikasikan adanya ketidakpuasan pada penampilan fisik mereka. Tidak hanya itu 60% remaja tidak percaya diri dengan foto atau video yang mereka unggah di akun media sosial.
Menurut penelitian, 81% anak muda mengaku melihat status story seseorang di medsos dan berujung membandingkan diri sendiri. 46% rentang usia 13-17 tahun mengatakan medsos membuat pandangan buruk pada diri mereka sendiri. Akibatnya apa? Mental anak-anak kita terancam. (detiknews.com, 21-04-2025)
Ruang digital yang tidak netral dan budaya digital yang buruk, serta didominasi oleh nilai sekuler kapitalis yang tidak menjadikan akidah Islam sebagai standar. Kapitalisme digital yang membuka pintu besar eksploitasi demi keuntungan. Popularitas dan uang menjadi standar baru yang dikejar, walaupun menggadaikan harga diri.
Tubuh dijadikan alat komoditas, sementara moralitas dan kehormatan tidak penting lagi. Agama ditempatkan di tempat privat bukan sebagai pengatur kehidupan. Akhirnya, manusia bebas melakukan apa pun asal tidak melanggar hukum negara. Kebebasan menjadi nilai tertinggi.
Setiap individu mempunyai hak penuh atas diri, tubuh, dan pilihan hidup, ekspresi bahkan perilaku. Seks bebas kini dianggap biasa tidak lagi tabu, bahkan sebuah pencapaian. Karena sistem ini, anak-anak tidak mempunyai arah hidup yang jelas, generasi rapuh secara spiritual, dan mudah dimanipulasi oleh alogaritma dan terjebak dalam pencarian validasi.
Di era digital ini, kenakalan remaja sudah tidak bisa dibendung lagi bahkan lebih agresif dan mengarah kepada kriminalitas serta merugikan orang lain bahkan bisa menghilangkan nyawa seseorang. Seperti kejadian pemboman di SMA 72 Jakarta diakibatkan perundungan yang dialami pelaku. Pelaku mengakses dark web dengan konten-konten kekerasan ekstrem dan mengidolakan pelaku penembakan masal.
Dari semua hal buruk itu, banyak hal positifnya yakni ada activism global, yaitu gerakan atau upaya yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok dari berbagai dunia untuk memperjuangkan isu-isu yang berdampak lintas negara, misalnya gerakan menyuarakan kebebasan P4lestina oleh Greta Thunberg asal Swedia yang belayar dengan kapal Madleen pada Juni 2025.
Kapal yang membawa bantuan kemanusiaan tersebut dicegat dan ditangkap oleh Angkatan Laut Isra*l. Aktivitas Greta terkait P4lestina mampu menarik perhatian global terhadap krisis kemanusiaan di G4za aksi flotillanya pada 2025 memicu solidaritas 44 negara melalui Global Sumud Fotilla dan menekan Isra*l untuk mengakhiri blokade lautnya dan memperjuangkan hak asasi manusia di G4za.
Selain itu, pergerakan generasi muda Indonesia saat memprotes kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR RI kenaikan pajak dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, telah menjadi inspirasi para pemuda di negara lain yang melakukan pergerakan serupa yang dipicu oleh isu yang sama dan dipimpin oleh Gen Z, seperti di Filipina, Nepal, Timor Leste dan Maladewa.
Hal positif lainnya generasi mudah belajar, mencari informasi untuk menambah ilmu pengetahuan dengan mudah, menambah skill baru, dan ide kreatif kreativitas tinggi dan ekspresi diri lebih bebas karena media digital membuka ruang bagi anak muda, dan banyak anak muda yang sukses karena kreativitas di platform digital.
Namun, negatifnya anak-anak muda kini minus problem mental, seperti anxiety, depresi, kecaduan gadget game dan medsos, serta burnout atau kelelahan mental karena tuntutan sosial. Inklusif progesif dalam mempertanyakan agama otentik. Mengaku inklusif atau menerima segala perbedaan, bersifat progesif ingin perubahan cepat dan bebas, tetapi pada saat yang sama mempertanyakan agama yang besifat tetap dan otentik.
Fenomena ini menggambarkan pemikiran modern yang mengutamakan kebebasan dan relatisme, menganggap agama harus berubah dan mengikuti zaman sehingga mempertanyakan atau menolak ajaran Islam yang asli dan tetap. Memiliki nilai yang berbeda dengan generasi tua.
Jurang antara generasi atau biasa disebut generasi gap. Generasi muda menilai generasi yang lebih tua itu kaku dan kolot, tetapi sebaliknya yang muda disebut nyolot, songong, dan ekspresif. Konsep ini tersounding di banyak platform digital seperti Instagram, tiktok, x, karena banyak konten-konten yang bermuculan mengambil konsep ini sebagai ide kontennya.
Ini tidak hadir secara kebetulan, tetapi hasil dari alogaritma. Konten tentang konflik antargenerasi ini cenderung emosional, lucu, dan relate yang berakibat jurang perbedaan nyata dan besar. Namun, dari itu semua kepentingan ideologis dari tatanan sistem sekuler kapitalis yang bermain di dalammnya dan menganggap ideologi Islam sebagai ancaman karenanya dengan perpecahan dan mengklasifikasi generasi ini termasuk generasi gap didorong dan dieksploitasi secara besar-besaran, agar nilai-nilai spiritual dan akhlak islami diabaikan.
Pembentukan jati diri muslim dalam menyelamatkan anak-anak muda di tengah gempuran era digital dan hegemoni sekuler kapitalistik dianggap sangatlah penting. Dengan cara mengembalikan fondasi akidah yang kuat, meyakinkan bahwa Islam adalah satu-satunya pedoman hidup.
Menguatkan literasi Islam memahami Al-Qur'an dan Sunnah memahami fikih dan hukum-hukum dasar. Bijak dalam menggunakan teknologi digital. Menanamkan pola pikir dan pola sikap Islam agar membentuk kepribadian Islam. Negara berperan sebagai penjaga umat.
Jika semua itu hadir, maka generasi muslim tidak hanya selamat dari hegemoni sekuler kapitalis dan arus global, tetapi mampu memimpin peradaban dengan jati diri muslim yang kuat. Mengubah paradigma berpikir yang sekuler kapitalis ke paradigma berpikir Islam.
Kita harus mengarahkan pergerakan generasi. Di mana generasi kini sudah menyadari bahwasanya sistem sekuler kapitalis nyatanya rusak secara sistemik. Kita arahkan generasi muda ke sistem Islam yang berlandaskan paradigma Islam dengan berfokus pada pembinaan akidah dan ilmu, edukasi, dan perubahan pemikiran. Memahamkan mereka bahwasanya Islam bukan sekadar agama, tetapi ideologi dan pedoman kehidupan.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Selain itu, sinergi keluarga yang kuat masyarakat dan negara dibutuhkan untuk menyelamatkan generasi dan mengarahkan pada pergerakan yang sahih. Keluarga merupakan benteng awal dalam membentuk pola pikir dan pola sikap generasi dengan menanamkan akidah dari kecil, membatasi penggunaan gadget, membangun kedekatan emosional antara generasi tua dan muda.
Masyarakat di mana interaksi sosial terjadi dan pembentukan karakter. Maka perlu ada penjagaan kultur Islam, masyarakat membendung segala macam tindak penyimpangan. Peran negara wajib dalam menjamin generasi yang bertakwa. Tanpa negara, keluarga dan masyarakat tidak akan mampu mengubah generasi. Negara sebagai pelindung generasi, penata sistem, dan mengarahkan generasi ke kehidupan Islam dan memastikan para generasinya tumbuh menjadi generasi yang kuat dan bersyakhsiah Islam.
Maka membentuk jati diri muslim pada generasi muda di tengah arus digitalisasi menjadi keniscayaan agar mereka tetap teguh di atas nilai Islam dan mampu menjadikan teknologi sebagai sarana yang bermanfaat dan menuju kebaikan, dan menjadikan generasi kita kuat mental cerdas berwawasan islami. Wallahualam bissawab.


