Islam Lindungi Anak dari Hegemoni Digital Kapitalisme
OpiniHegemoni digital kapitalisme telah menjadikan manusia, khususnya remaja sebagai komoditas ekonomi
Generasi saat ini tumbuh di tengah dunia yang serba cepat dan terkoneksi dengan mudah
______________________________
Penulis Siska Juliana
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Saat ini, aktivitas anak dan gadget tidak bisa dipisahkan. Mereka seakan sudah hidup di dua dunia, yaitu dunia nyata dan maya. Selain dampak positif, dunia digital juga menyimpan sisi gelap yang berbahaya bagi anak. Lantas, apa yang harus dilakukan agar terhindar dari bahaya tersebut? Sejauh mana dunia digital dapat memengaruhi perilaku anak?
Mengenal PP Tunas
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menerbitkan sebuah regulasi yang berkaitan dengan dunia digital, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Aturan ini diteken pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan bagi anak-anaka serta kelompok rentan.
Dalam PP ini, tercantum bahwa setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) wajib menyaring konten berbahaya, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, dan memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan.
Komdigi mengatur pembatasan akses anak terhadap aplikasi di ponsel dan media sosial berdasarkan kategori risiko rendah, sedang, dan tinggi. PP Tunas mengkategorikan pengguna bedasarkan umur, di antaranya:
Pertama, anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman seperti situs edukasi. Kedua, usia 13-15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah sampai sedang. Ketiga, usia 16-17 tahun dapat mengakses platform dengan risiko tinggi disertai pendampingan orang tua. Keempat, usia 18 tahun ke atas dapat mengakses semua platform secara independen. (cnbcindonesia.com, 22-11-2025)
Kelemahan PP Tunas
Adanya aturan ini membawa angin segar bagi perlindungan anak. Namun, ada beberapa hal yang masih membingungkan. Misalnya, aturan ini tidak menyebutkan platform mana yang tegolong rendah, sedang, atau tinggi.
Di sisi lain, Komdigi meminta platform seperti X, Instagram, atau Youtube untuk melakukan evaluasi mandiri dan melaporkan hasilnya. Alhasil, masyarakat belum memiliki rujukan media sosial apa yang pas untuk usia anak mereka. Jadi, mekanisme yang ada menyerahkan upaya perlindungan dan pembatasan akses ke orang tua.
Pengawasan yang terlalu ketat dapat berdampak pada pelanggaran privasi dan kebebasan ekspresi anak, terutama jika melibatkan sistem pemantauan yang invasif atau pengumpulan data berlebihan. Mekanisme pengawasan dan sanksi bagi platform media sosial juga tidak jelas. Jika tidak ada transparansi, maka kebijakan ini berpotensi disalahgunakan untuk menekan pihak tertentu.
Selain itu, kebijakan ini belum menetapkan standar teknis yang jelas tentang bagaimana data anak dikelola, diverifikasi, dan diaudit. Alhasil, membuka celah bagi pelanggaran privasi. Berbeda dengan aturan di Australia yang mewajibkan platform media sosial seperti Instagram, Youtube, dan Tiktok untuk membatasi usia penggunanya.
Dirjen Pengawasan Digital Komdigi Alexander Sabar menyatakan PSE diberikan waktu penyesuaian selama dua tahun untuk menyesuaikan sistemnya. Menanggapi hal tersebut, platform media sosial tidak menolak terhadap kebijakan tersebut. Sebagian besar platform sudah memiliki fitur yang sejalan dengan PP Tunas.
Akibat Digitalisasi
Perkembangan teknologi seiring dengan perkembangan zaman telah memaksa anak-anak hingga orang dewasa untuk mengikutinya. Fenomena rusaknya generasi saat ini tidak terlepas dari pengaruh hegemoni digital kapitalisme.
Banyak hal negatif yang dialami generasi akibat teknologi digital, di antaranya masalah kesehatan mental. Gejala seperti gangguan tidur, kecemasan, depresi hingga menurunnya kepercayaan diri makin sering muncul.
Intelijen Australia (ASIO) melaporkan bahwa sebanyak 60% pelaku ekstremisme mengalami perubahan pandangan ekstrem melalui ruang online. Salah satu kasusnya anak SMAN 72 yang merupakan kasus penyimpangan kenakalan remaja di ruang digital.
Hegemoni Kapitalisme
Hegemoni digital kapitalisme telah menjadikan manusia, khususnya remaja sebagai komoditas ekonomi. Generasi saat ini tumbuh di tengah dunia yang serba cepat dan terkoneksi dengan mudah. Layar menjadi arena bermainnya, bukan lagi di lapangan. Sayangnya, tidak semua informasi yang ditampilkan itu benar dan lengkap.
Semua ini terjadi karena dunia digital dikuasai kapitalisme. Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Hegemoni digital kapitalisme telah menguasai pola pikir, pola sikap, keinginan, hingga orientasi hidup generasi muda.
Generasi muda menjadi sasaran empuk dalam serangan hegemoni digital kapitalisme. Mereka dicekoki konten-konten yang menghibur, tetapi menumpulkan akal, lemah dalam berpikir, mengikis akhlak dan moral. Satu sisi tampak memikat, tetapi di sisi yang lain merusak masa depan.
Butuh Islam
Di tengah arus paparan digital, generasi muda membutuhkan jalan untuk mengenal Islam secara mendalam. Faktanya, konten Islam di media sosial mayoritas berkisar pada aktivitas ruhiyah, kebaikan individual, atau motivasi religius.
Memang hal tersebut baik, tetapi tidak cukup untuk membentuk kepribadian Islam. Hal itu malah mengaburkan Islam dari aspek paling penting, yaitu sistem hidup yang lengkap karena mengatur politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan seluruh aspek kehidupan. Alhasil, generasi muda beranggapan bahwa Islam hanya pelengkap spiritual, bukan solusi komprehensif yang memecahkan persoalan hidup.
Solusi Hakiki
Islam sebagai agama sekaligus ideologi (mabda) memiliki solusi sistemis dalam mengatasi hegemoni digital kapitalisme yang mampu menyelamatkan generasi dari kerusakan.
Pertama, pembinaan (tatsqif) generasi secara intensif yang dilakukan secara rutin sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. kepada para sahabat. Tujuannya untuk membentuk kepribadian Islam (pola pikir dan sikap Islam) yang menjadikan akidah sebagai fondasi dalam beraktivitas. Akan tetapi, pembinaan ini hanya bisa dilakukan saat Islam dipelajari sebagai ideologi.
Kedua, negara berperan menjaga generasi. Dalam sistem Islam, tujuan pendidikan untuk mewujudkan kepribadian Islam dengan menerapkan kurikulum yang berbasis akidah sehingga melahirkan generasi yang mampu memimpin peradaban.
Negara melalui departemen penerangan atau informasi melarang konten merusak dan memastikan media menjadi alat untuk mencerdaskan generasi sesuai syariat Islam. Kemudian masyarakat didorong untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.
Selain itu, sistem hukum diberlakukan secara tegas bagi yang melanggar hukum syarak dan pelaku kerusakan. Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam. Alhasil, sistem Islam tidak menjadikan ruang digital sebagai alat eksploitasi yang hanya memikirkan keuntungan materi tanpa memikirkan kerusakan yang ditimbulkan.
Khatimah
Negara dalam Islam menjadi pelindung generasi dari kerusakan pemikiran, ideologi, dan moralitas. Semua itu hanya akan terwujud dengan penerapan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah Islamiah.
“Imam (khalifah) itu laksana perisai, di belakangnya umat berperang dan berlindung. (HR. Muslim)
Wallahualam bissawab.


