Alt Title

Tapera, Tabungan atau Pemerasan?

Tapera, Tabungan atau Pemerasan?

 


Hidup yang sudah dalam keadaan sulit akan menjadi bertambah sulit

Derita rakyat seakan tak pernah berakhir, rakyat senantiasa dijadikan sumber pemasukan dana bagi pemerintah

______________________________


Penulis Siti Solechah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat baru-baru ini menjadi perbincangan masyarakat. Suatu kebijakan baru yang secara perlahan akan digulirkan kepada masyarakat baik Pegawai Negeri Sipil (PNS), swasta, ataupun mandiri. Kebijakan ini tentunya akan menambah beban bagi rakyat ataupun para pengusaha. Banyak penolakan yang terjadi di masyarakat.


Dilansir dari TEMPO.com, Sabtu (01/06/2024) bahwa Komisioner Pengelola Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan, penetapan regulasi ini bertujuan untuk mengatasi backlog atau belum terpenuhinya unit perumahan bagi masyarakat. Heru juga menyatakan bahwa tujuan Tapera adalah untuk mengatasi masalah rumah layak huni.


Ada sekitar 29,6 juta rumah tidak layak huni saat ini. Namun menurutnya bukan hanya untuk mengatasi masalah backlog kepemilikan saja, ujarnya di Kantor Tapera. Ditemui di lokasi yang sama, Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana BP Tapera Sid Herdi Kusuma mengatakan tujuan utama Tapera memang untuk mengatasi kebutuhan perumahan, kepemilikan, dan renovasi rumah.


Diharapkan nantinya pemenuhan kebutuhan rumah dapat dilakukan tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. “Beri kesempatan mekanisme tabungan ini berjalan agar para MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) bisa memiliki rumah ke depan," ujarnya.


Pemerintah membuat ketentuan baru tentang iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan Tapera. Aturan tersebut mewajibkan tambahan beban bagi pekerja sebesar 2,5% dan pemberi kerja 0,5% dari gaji.


Alih-Alih Sejahtera, Rakyat Malah Merana

Rumah merupakan kebutuhan primer bagi setiap individu, sehingga kita berusaha untuk memilikinya. Karena rumah merupakan tempat paling nyaman setelah beraktivitas di luar. Seperti belajar, bekerja, bermuamalah, hingga aktivitas sosial lainnya.


Dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Tapera, maka rumah impian sulit terwujud. Bahkan kebijakan yang digulirkan pemerintah bahwa setiap PNS, pegawai swasta nantinya akan dikenakan pemotongan gaji yakni sebesar 2,5% bukan hanya menjadi beban, namun justru akan mempersulit terpenuhinya kebutuhan rumah.


Hidup yang sudah dalam keadaan sulit akan menjadi bertambah sulit. Derita rakyat seakan tak pernah berakhir, rakyat senantiasa dijadikan sumber pemasukan dana bagi pemerintah. Alih-alih  memberikan subsidi menyediakan hunian yang nyaman bagi rakyatnya, justru pemerintah memaksa rakyatnya menjadi konsumen dari setiap kebijakan yang digulirkan.


Pasalnya, rakyat dipandang hanya menjadi beban bagi pemerintah. Rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhannya sendiri, baik primer ataupun sekunder. Padahal Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam telah mengancam dalam sabdanya,


Kalian semuanya pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya akan kepemimpinannya. Seorang suami memimpin keluarganya dan akan ditanya kepemimpinannya. Seorang ibu memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang hamba (buruh) pemimpin harta milik majikannya akan ditanya tentang pemeliharaannya. Camkan bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari).


Mekanisme Pemenuhan Rumah dalam Islam

Dalam perspektif Islam, rumah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu selain sandang dan pangan. Rasulullah saw. sebagai kepala negara hingga para khalifahnya telah menetapkan dan menjalankan kebijakan ini.


Ada beberapa cara dalam Islam untuk memenuhi kebutuhan rumah, di antaranya: 

1. Memerintahkan keluarga

Negara mewajibkan semua laki-laki (yang mampu) bekerja untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Negara akan memfasilitasi mereka dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.


2. Kewajiban kepala keluarga, ahli waris, dan kerabat 

Bagi mereka yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, baik karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka pada gilirannya menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris, dan kerabatnya sebagaimana hukum Islam dalam menyantuni makanan dan pakaian.


Allah Swt. berfirman dalam QS Ath-Thalaq ayat 6, yang artinya ”Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal.”


Rasulullah saw. pun bersabda, “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu, kemudian kerabatmu yang jauh.” (HR An Nasa’i).


3. Kewajiban negara

Jikalau tahap 1 dan 2 tidak juga menyelesaikannya, maka negara berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau hasil ijtihad untuk kemaslahatan umat.


Maka khalifah bisa menjual (secara kredit atau tunai dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan, atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkannya. Sehingga tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah, dan menjadi tunawisma.


Di negeri yang berasaskan liberal kapitalisme, hunian nyaman sulit terwujud. Kalau tidak mempunyai dana yang cukup, maka rumah menjadi hanya sebatas impian. Rumah pun dikapitalisasi hingga muncullah Tapera yang sejatinya tanggung jawab pemerintah bagi individu yang tidak mampu dalam pemenuhan kebutuhannya.


Untuk itu, hanya Islamlah yang mampu memberikan rumah bahkan secara gratis. Karena Islam memandang rakyat adalah tanggung jawab pemimpin yaitu khalifah. Tak ada harapan selain pada Islam kafah. Campakkan liberal kapitalisme, gantikan dengan Islam kafah. Sehingga rahmatan lil alamiin terasa dan terwujud bagi umat Islam di seluruh dunia. Wallahualam bissawab. [SJ]