Alt Title

Hukum Laki-Laki Memakai Daster dalam Rangka 17-an

Hukum Laki-Laki Memakai Daster dalam Rangka 17-an

 


"Demikianlah Islam sebagai agama yang sempurna telah menjelaskan keharaman menyerupai jenis lain. Ditambah juga menjelaskan hukuman tegas bagi para pelaku perbuatan haram tersebut," ujarnya.

______________________________


KUNTUMCAHAYA.com, FIKIH - Perayaan hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus, tidak terlepas dari kegiatan perlombaan. Tak jarang kita melihat perlombaan yang pesertanya laki-laki tetapi memakai daster perempuan. Misalnya dalam pertandingan sepak bola. Lantas, bagaimana pandangan Islam? Apa hukumnya laki-laki memakai daster saat pertandingan sepak bola dalam rangka peringatan hari kemerdekaan?


K.H. M. Shiddiq al-Jawi menjawab bahwa haram hukumnya laki-laki menyerupai perempuan (tasyabbuh bi an-nisaa) sebagaimana haram perempuan menyerupai laki-laki (tasyabbuh bi ar-rijal).


"Dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwasanya, “Rasulullah ﷺ telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan (melaknat) para wanita yang menyerupai para lelaki," jelasnya. 


"Dengan demikian, telah jelas apa yang ditanyakan, yaitu laki-laki mengenakan daster yang dipakai perempuan, adalah haram hukumnya tanpa keraguan lagi," tegasnya. 


Ustaz mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan menyerupai (tasyabbuh) di sini adalah menyerupai jenis lain dalam segala hal (berjalan, berbicara, berpakaian, dan lain-lain) yang memang menjadi ciri khas jenis lain tersebut. 


"Contohnya laki-laki memakai pakaian yang secara khusus dipakai wanita saja, seperti daster, rok, kerudung, jilbab, kebaya, dan sebagainya. Atau laki-laki memakai anting, cincin emas, kain sutra, dan sebagianya. Atau sebaliknya, perempuan memakai pakaian khusus yang dipakai laki-laki, seperti celana panjang, sepatu, dan sebagainya yang merupakan pakaian khas laki-laki. Ini semuanya haram," ungkapnya. 


"Jika suatu pakaian sudah biasa dipakai baik laki-laki maupun perempuan, misalnya sarung, maka hukum memakainya tidaklah haram. Karena pada kondisi tersebut tidak terdapat tindakan menyerupai jenis lain sebagaimana yang dijelaskan pada hadis di atas. Sehingga tidak berlaku pada kondisi seperti ini," tambahnya. 


Ustaz menceritakan, jika kita memahami hadis di atas dan akan menerapkan kandungan hukumnya pada masyarakat sekuler saat ini, maka banyak sekali penyimpangan hukum syarak dalam menyerupai jenis lain tersebut. 


Contohnya seorang waria (wanita pria) yang berjenis kelamin laki-laki, tetapi berpenampilan seperti perempuan. Dari cara berdandan, berpakaian, berbicara, semuanya seperti perempuan. Maka jelas ini haram. 


Ustaz menegaskan, haram pula ketika memberi peluang dan sarana untuk mengukuhkan eksistensi waria. Misalnya, memfasilitasi waria dalam organisasi atau perkumpulan, menyelenggarakan kontes-kontes kecantikan waria, menyuntik para waria dengan hormon perempuan sehingga penampilannya semakin mirip dengan perempuan yang sesungguhnya. Bahkan yang lebih parah mengoperasi kelamin mereka. Semua ini tindakan haram. 


"Haram pula hukumnya bagi artis laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Selain artis, penghasilan rumah produksi dan stasiun TV yang memproduksi dan menayangkan mereka juga haram dan tidak akan berkah," bebernya. 


"Selain itu, haram juga laki-laki yang secara kejiwaan merasa dirinya sebagai perempuan, berpakaian dan bersikap seperti perempuan, misalnya berkerudung, padahal jenis kelaminnya jelas laki-laki. Alasan psikologis semacam itu kadang dijadikan dalih untuk menolak takdir Allah yang telah menetapkan jenis kelamin seseorang. Tentu alasan itu harus ditolak, karena sesungguhnya jiwa merekalah yang sakit dan harus dirombak total agar kembali kepada fitrahnya yang sehat," cakapnya. 


Ustaz mengingatkan bahwa Islam tidak akan membiarkan adanya perilaku menyimpang di masyarakat. Oleh karena itu, Islam mempunya sanksi yang tegas bagi setiap laki-laki yang menyerupai perempuan maupun sebaliknya. Yaitu wajib diusir dan dikucilkan dari lingkungan masyarakat. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh kadi hisbah (muhtasib). 


"Demikianlah Islam sebagai agama yang sempurna telah menjelaskan keharaman menyerupai jenis lain. Ditambah juga menjelaskan hukuman tegas bagi para pelaku perbuatan haram tersebut," ujarnya. 


"Sangat jauh berbeda dengan kehidupan sekuler saat ini. Di mana perbuatan menyerupai jenis lain malah dilindungi dengan dalih HAM. Sehingga perbuatan tersebut semakin merajalela di tengah masyarakat. Ini jelas tidak boleh dibiarkan. Wajib dihentikan karena merupakan kemungkaran," pungkasnya. 


Wallahualam bissawab. [Siska]