Tunjangan Ala Kapitalis: Tidak Merata dan Membuat Sengsara
Surat Pembaca
Para pemberi kerja pun ikut diberatkan oleh kebijakan THR dari negara
Kebijakan yang ada mengharuskan dan memaksa para pemberi kerja untuk memberikan berbagai tunjangan kepada pegawai mulai dari kesehatan, kematian, termasuk tunjangan hari raya ini
_________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURATPEMBACA - Memasuki bulan ramadan tentu saja disambut suka cita umat muslim di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Bagaimana tidak, bulan ramadan merupakan bulan yang dinanti untuk memperbanyak amalan baik karena pahala yang didapat akan dilipat gandakan. Tak hanya itu, bagi para pegawai yang mengabdi pada negara pun, pendapatan akan berlipat sebab mereka akan mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) pada bulan ramadan. Hal ini tentu menambah kebahagiaan dalam melalui bulan ramadan ini.
Namun skema tunjangan dalam sistem kapitalis tentu saja tidak seindah apa yang terdengar, sebab selalu saja ada peluang kerusakan di dalamnya dikarenakan pengaturannya diambil dari pemikiran manusia. Salah satunya seperti yang dilansir dari antaranews.com, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa perangkat desa dan honorer bukanlah bagian dari aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana telah diatur dalam undang-undang sehingga tidak berkewajiban bagi pemerintah untuk memberikan THR atau gaji ke-13 ini. Padahal baik ASN maupun non ASN keduanya telah bekerja dengan mengabdi kepada negara, yang seharusnya keduanya pun mendapat hak yang sama.
Apalagi sumber dana THR bagi para ASN ini berasal dari APBN, maka sudah menjadi keharusan semua yang mengabdi kepada negara mendapatkan hal yang sama. Kebijakan yang tidak merata ini menunjukan bahwa negara tidak adil dalam menentukan sebuah kebijakan, pemerintah menganaktirikan para pegawai non ASN bahkan hal ini bisa dikatakan bentuk dari kezaliman
Selain para pegawai non ASN, para pemberi kerja pun ikut diberatkan oleh kebijakan THR dari negara ini. Kebijakan yang ada mengharuskan dan memaksa para pemberi kerja untuk memberikan berbagai tunjangan kepada pegawai mulai dari kesehatan, kematian, termasuk tunjangan hari raya ini. Pemerintah berlepas tangan pada swasta untuk menangani pemenuhan tunjangan-tunjangan tersebut tanpa memikirkan bagaimana usaha-usaha yang cenderung kecil. Padahal kewajiban seorang pemberi kerja dalam Islam adalah pemberian gaji/upah yang telah disepakati oleh pekerja dan pemberi kerja di awal.
Istilah berbagai tunjangan ini dilahirkan oleh sistem kapitalisme sekulerisme, yang mana negara ingin berlepas tangan dari penanganan kebutuhan masyarakat. Dalam Islam negaralah yang berperan dalam menyejahterakan masyarakat dalam berbagai bidang termasuk pemenuhan tunjangan-tunjangan tersebut. Sebagai contoh dalam bidang kesehatan, seharusnya bukan mejadi beban pemberi kerja atau pekerja untuk menanggung biaya kesehatan sebab seharusnya hal itu dilaksanakan oleh negara.
Namun hal ini tentu sangat sulit dilakukan oleh negara penganut sistem kapitalis yang mana tentu saja pengelolaan keuangannya pasti berkaitan dengan untung rugi. Berbeda halnya dengan sistem pengelolaan keuangan dalam Islam, yang dikelola oleh baitul mal yang memiliki 15 pos penerimaan kas. Penerimaan kas ini berasal dari fai dan kharaj, kepemilikan umum dan sedekah yang jika dipecah menjadi 15 pos. Dari 15 pos penerimaan ini sangat wajar negara Islam memiliki kas yang begitu besar, yang pada akhirnya dapat memenuhi seluruh tunjangan fasilitas bagi rakyatnya. Bahkan pemenuhan tunjangan ini bukan hanya pada momen-momen tertentu saja, tetapi dapat dinikmati kapan pun dan oleh siapapun.
Maka jika hal seperti ini dapat dipenuhi oleh negara, pegawai atau rakyat akan menikmati momen ramadan dan idul fitri dengan kekhusuan ibadah tanpa memikirkan bagaimana kondisi ekonomi mereka kedepannya. Wallahualam bissawab. []
Rheiva Putri R.Sanusi, S.E.
Aktivis Muslimah