Alt Title

Kasus Pinjaman Fiktif Petani Miskin: Tidak Ada Jaminan Sekuritas Data Pribadi di Negara Kapitalisme

Kasus Pinjaman Fiktif Petani Miskin: Tidak Ada Jaminan Sekuritas Data Pribadi di Negara Kapitalisme

Dalam sistem Kapitalisme jaminan keamanan jiwa maupun harta tidak diperhatikan oleh negara
Mereka hanya memosisikan diri sebagai regulator saja. Sementara, jaminan keamanan akhirnya dibebankan di pundak masing-masing masyarakat

____________________________________


Penulis Susi Ummu Zhafira

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Liberalisme kehidupan memang melahirkan para pelaku kejahatan yang mempunyai seribu satu cara untuk berlaku curang. Tidak peduli seberapa besar kerugian yang diderita korban, apapun dilakukan asal bisa mendapatkan banyak keuntungan. Halal dan haram sudah tidak lagi masuk dalam hitungan kamus kehidupan. Sebagaimana kasus yang menimpa para petani miskin belum lama ini.


Dilansir dari Serambinews[dot]com (16/01/2024), seorang warga Kampung Cikarang, Desa Jayamulya, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang bernama Kacung Supriatna (63) tiba-tiba ditagih utang 4 miliar rupiah oleh pihak lembaga keuangan milik negara (BUMN). Bak disambar petir di siang bolong, Pak Kacung yang kesehariannya hidup sederhana harus berurusan dengan utang yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Padahal ia mengaku tidak memiliki utang seratus ribu rupiah, apalagi yang nilainya fantastis seperti yang ditagihkan kepadanya. 


Ironis memang, setelah dilakukan penelusuran ternyata didapati banyak kejanggalan. Dalam berkas-berkas yang dilihat, tanda tangan korban dan sang istri berbeda di e-KTP dan surat penyetujuan hak tanggungan untuk lembaga keuangan hingga adanya surat nikah keduanya. Selain itu, dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang seharusnya masih atas nama orang tua korban tapi telah mengalami perubahan menjadi atas nama korban.


Kejadian serupa juga terjadi di Probolinggo, Jawa Timur. Setidaknya terdapat lima orang petani di Desa Banyuanyar Tengah, Kecamatan Banyuanyar yang diduga jadi korban pemalsuan dokumen dan perbankan. Kelimanya tiba-tiba mempunyai utang masing-masing 25 juta rupiah di salah satu perbankan di Probolinggo. Sedangkan menurut pengakuannya, mereka tidak pernah mengajukan pinjaman. Setelah ditelusuri, diduga ada oknum dari pemerintah desa setempat yang mengajukan pinjaman melalui program kartu tani yang menggunakan data pribadi para petani.


Pertanyaannya, mengapa pihak bank atau lembaga keuangan begitu sembrono menerima jaminan palsu dan terkesan kejar target mencari nasabah? Lebih mengherankan lagi pada kasus yang menimpa petani di Cikarang, Kabupaten Bekasi lembaga keuangan yang terkait adalah milik BUMN yang seharusnya mempunyai standar jaminan keamanan yang lebih baik. 


Setidaknya ada dua hal yang bisa kita soroti dari kasus pinjaman fiktif para petani. Pertama, adanya kejahatan sistem perbankan ribawi. Lembaga keuangan terkesan kejar target mendapatkan nasabah dalam persoalan tersebut. Sering kali syarat-syarat yang diminta oleh lembaga keuangan dalam pencairan pinjaman sangat mudah, cukup dengan KTP atau jaminan surat-surat berharga lainnya. 


Tentu, kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk mencari keuntungan dari bunga dan denda yang sebesar-besarnya. Inilah mekanisme sistem ekonomi ribawi dalam konsep hidup Kapitalisme liberal. Padahal di dalam Islam sangat jelas riba merupakan dosa besar, pelakunya diibaratkan tengah melakukan peperangan dengan Allah dan Rasul-Nya.


Allah berfirman, "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu." (QS. Al-Baqarah ayat 279)


Kedua, tidak adanya jaminan perlindungan atau sekuritas data pribadi di negara penganut sistem Kapitalisme. Begitu banyak kasus penipuan yang melibatkan bank atau lembaga keuangan lainnya kita temukan karena data pribadi masyarakat tersebar tanpa adanya perlindungan dari pihak yang berwenang. Betapa lemahnya sekuritas data pribadi di negara ini. 


Dalam sistem Kapitalisme jaminan keamanan jiwa maupun harta tidak diperhatikan oleh negara. Mereka hanya memosisikan diri sebagai regulator saja. Sementara, jaminan keamanan akhirnya dibebankan di pundak masing-masing masyarakat. Tidak mengherankan jika kasus penyalahgunaan data pribadi ini marak sekali terjadi. 


Negara seharusnya memiliki kewenangan untuk melindungi data pribadi warganya hingga tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Secara sistemis Islam memiliki konsep yang jelas dalam hal ini. Negara harus menciptakan iklim yang kondusif agar setiap data milik individu tidak disalahgunakan oleh siapapun dan dengan tujuan apapun karena negara hadir sebagai perisai sekaligus pe-riayah umat. 


Negara harus mengelola data pribadi setiap individu dengan menjaga keamanannya dan melakukan perlindungan nyata. Harus ada edukasi yang dilakukan negara terkait hak milik individu dan umum. Data pribadi terlarang untuk diakses secara umum jika data tersebut memang merupakan kewenangan individu. Hal ini dikecualikan jika negara diamanahi untuk mengelola data masyarakat untuk merealisasikan kemaslahatan umat.


Selain itu, negara harus menerapkan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelaku yang melakukan pencurian dan penyalahgunaan data. Syariat Islam memandang perampasan atau penyalahgunaan hak milik individu sebagai tindakan kriminal. Negara akan melakukan ijtihad untuk menentukan hukum yang akan diberlakukan sehingga negara dapat menjatuhkan sanksi berupa penjara hingga hukuman mati. 


Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa ayat 29)


Lebih dari itu, negara wajib memastikan terciptanya atmosfer keimanan di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang akan menjadi pengontrol baik individu, masyarakat maupun negara untuk benar-benar merealisasikan keamanan data pribadi. Tentu, kondisi seperti ini tidak akan pernah ditemui di negara penganut Kapitalisme yang memiliki atmosfer liberal. Wallahualam bissawab. [Dara]