Alt Title

Benarkah, Sistem Demokrasi Mampu Memberantas Korupsi atau Hanya Ilusi?

Benarkah, Sistem Demokrasi Mampu Memberantas Korupsi atau Hanya Ilusi?

Politik riayah bertujuan mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa

Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elite rakus

_________________________________________


Penulis Eka Ummu Hamzah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Masalah Publik



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Korupsi di negeri ini seolah tidak pernah mati. Bahkan setiap tahunnya terus meningkat. Seperti kanker yang sudah menjalar dengan kuat. Sebab budaya korup ini tidak hanya dilakukan oleh individu, tapi juga dilakukan secara berjamaah. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara selamat. Upaya pencabutan sampai ke akarnya nampaknya tidak kuat.


Pada saat menghadiri acara Puncak Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di Istora Senayan, Gelora Bung Karno Jakarta, Selasa (12 Desember 2023). Presiden RI Joko Widodo menilai bahwa hukuman yang diberikan berupa penjara ternyata tidak mampu memberikan efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi.


"Hukuman penjara ternyata tidak memberikan efek jera bagi terpidana korupsi, karena sekarang korupsi sudah makin canggih, makin kompleks bahkan lintas negara dan multi-yuridiksi dan mengunakan teknologi yang cangggih," ungkapnya dalam forum tersebut. (Bisnis[dot]com, 12 Desember 2023)


Mengguritanya kasus korupsi di negeri ini membuat kita bertanya apa sih penyebabnya? Seakan-akan korupsi ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para elite politik. Sebenarnya ada banyak faktor yang memicu korupsi diantaranya yaitu:


Money Politic (Politik Uang)

 

Sikap korup bisa dipicu oleh biaya politik yang mahal. Sudah menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi bahwa siapa pun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, maka jalan mulusnya dengan asas keuangan. Partai politik yang menjadi kendaraan dalam menggapai kekuasaan tidak serta-merta memberikan tiket gratis. Ada harga yang harus dibayar untuk bisa berlabuh di kursi kekuasaan. 


Berdasarkan riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada tahun 2014, dibutuhkan Rp250-500 juta untuk caleg DPRD. Untuk DPR RI mencapai Rp750 juta-4 miliar. Bagaimana dengan sekarang? Pastinya jauh lebih mahal. 


Jika uang dijadikan segala-galanya untuk meraih kekuasaan, maka ini menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi begitu korup. Hasilnya, tumbuh subur praktik korupsi dengan ragam caranya.


Belum lagi korupsi yang juga melibatkan jaringan oligarki dan konglomerat yang merugikan negara. Semua bisa berdampak pada kemelaratan rakyat. Rakyat yang seharusnya berhak untuk diurusi kehidupannya, terabaikan karena korupsi. 


Perjumpaan elite yang haus kekuasaan dan oligarki politik menjadikan korupsi bercokol dari bawah ke atas. Tak akan pernah ada niat baik untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya. Kalaupun ada, gertakan itu pun terasa hambar. Karena itu, selama demokrasi bercokol di negeri ini, korupsi akan makin subur.


Islam Solusi Hakiki


Sistem politik demokrasi  telah memberikan celah bertindak korupsi. Bahkan para pelaku bisa saling membantu untuk menutupi kebobrokan mereka. Lord Acton pernah menyatakan, "Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen." Pernyataan ini bisa jadi benar jika disematkan pada sistem demokrasi ini. Hal ini tentu berbeda dengan Islam. 


Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab ini tidak hanya di dunia, tapi juga nanti di hadapan Allah di akhirat. Sistem Islam mencegah sedari dini sebelum terjadinya tindakan korupsi. Islam memberikan solusi secara sistematis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. 


Inilah langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya:


1. Ideologi Islam


Islam tidak sekadar mengatur ritual, tapi juga mengatur kehidupan. Termasuk dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Begitupun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariat Islam.


Pengangkatan dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah, dan tidak berbiaya tinggi. Ini untuk menekan korupsi, suap, dan lainnya. Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara.


2. Takwa dan zuhud


Selain syarat profesionalitas, ketakwaan juga menjadi syarat utama dalam mengangkat pejabat negara. Karena ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela.


Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana'ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tapi rida Allah dan pahala yang menjadi standarnya.


3. Politik riayah


Politik riayah bertujuan mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa. Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elite rakus. Karena itu untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi rakyat, pemerintah Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. 


Dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah, karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok seperti sandang, papan, pangan bisa diperoleh dengan harga yang murah.


Calon pejabat dan pegawai negera akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apakah penambahannya sesuai syar'i atau tidak. Jika terbukti korupsi, maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya akan diproses hukum. 



4. Sanksi tegas dan efek jera


Sanksi dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegahan kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukum mati.


Seperti yang pernah dilakukan Umar ketika memimpin, pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua. Setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam.


Ketentuan-ketentuan di atas hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam. Karena itu, penerapan sistem Islam secara totalitas sangatlah dibutuhkan negeri ini khususnya dunia secara keseluruhan saat ini. Penerapan Islam secara total akan menyelesaikan seluruh masalah umat, termasuk korupsi. Wallahu alam bissawab. [SJ]