Alt Title

Road to 2024 (32): Wayahe Rakyat Diurusi, Ora Diapusi

Road to 2024 (32): Wayahe Rakyat Diurusi, Ora Diapusi

Politik mengurusi inilah yang sejatinya digariskan oleh Islam. Sebagaimana masa nabi-nabi yang mengurusi umatnya. Kemudian dilanjutkan para khalifah sesudahnya

Gambaran aplikasi politik Islam telah tertulis dalam tinta sejarah peradaban

___________________________________________


Penulis Hanif Kristianto

Analis Politik-Media



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Bertebaran janji di jalan-jalan. Menawarkan sebuah mimpi indah akan kesejahteraan. Tampaknya sebuah rasa sakit (pain) menjadi daya tarik untuk meraih suara publik. Seolah ini gagasan baru. Padahal ini remake gagasan lama yang belum terwujud meski pemilu berulang kali adanya. Kalau ada harapan wis wayahe Prabowo pasca rezim Jokowi-Ma’ruf Amin. Hal ini mengonfirmasi pada pelanjut takhta masih dari trah Presiden Jokowi. Sebab di situ ada Gibran Rakabuming sebagai cawapresnya Prabowo Subianto seolah mendapatkan kesempatan setelah beberapa kali mencalonkan belum bisa jadi.


Harapan untuk mengurusi kehidupan rakyat bukan saja kali ini digaungkan. Pada setiap pemilu kata-kata ini menjadi mantra. Seolah gagasan baru demi terpilih untuk menjadi pembela rakyat. Tak hanya itu, capres-cawapres pun menjanjikan hal yang sama untuk tidak lagi membohongi rakyatnya. Sayangnya, politik demokrasi kerap mengulangi kesalahannya. Tidak ada jaminan mutu akan terwujudnya janji-janji itu. Rakyat sementara dihipnotis. Kemudian kembali ke kehidupan yang sama seolah tak terjadi apa-apa.


“Wayahe Rakyat Diurusi, Ora Diapusi” (waktunya rakyat diperhatikan urusannya tidak dibohongi) akan terus menggema dan menjadi pembuktian apakah bisa diwujudkan? Rasanya ada pesimisme di benak rakyat sebagai pemilih. Sebab, rakyat kerap menjadi komoditi politik sebagai dagangan dan banyak sekali aturan yang dihasilkan pun tidak pro rakyat. Akankah pasca-Pemilu 2024 rakyat akan diperhatikan? Atau sebaliknya tetap dalam penelantaran oleh sistem politik demokrasi?


Diurusi Tapi Kadang Diapusi?


Politik sejatinya bukan cara perebutan kekuasaan yang selama ini dipraktikkan politisi. Apalagi sekedar suksesi kepemimpinan dan susunan di dalam gedung dewan. Lebih dari itu, politik sesungguhnya pengurusan urusan rakyat secara menyeluruh. Jadi, siapapun yang menjadi pejabat negara dan pemerintahan harusnya menyadari arti penting pengabdian kepada rakyat. Bukan sebaliknya ingin dilayani dan dihormati rakyat. Ibaratkan pekerjaan, menjadi pejabat negara dan pemerintahan itu berat. Kalau tidak kuat menerima amanah bisa jadi kualat akibat khianat.


Fakta selama ini, rakyat sudah diurusi tapi kadang masih diapusi. Mengurusinya masih setengah dan gimmick agar rakyat tidak bergejolak. Sebab, masih banyak juga temuan yang sangat memilukan berupa aturan yang tidak pro rakyat seperti undang-undang pro oligarki. Pelayan publik yang masih menjadi beban rakyat. Hingga belum terjangkaunya alat pemenuhan kebutuhan rakyat. Seperti BBM yang naik, pajak melilit, hingga perlakuan kepada rakyat yang dianggap biasa.


Bagaimana memandang pengurusan rakyat saat ini di tengah arus liberalisasi politik? Pengabaian urusan rakyat selama ini bisa dianalisis sebagai berikut:


Pertama, politik demokrasi tidak segampang teorinya ketika rakyat memiliki kedaulatan. Sebaliknya, demokrasi menjadi jalan bagi siapapun untuk berkuasa dengan sedikit melibatkan rakyat. Pelibatan rakyat sekadar pada masa pemilihan untuk meraup dukungan.


Kedua, politisi demokrasi memahami biaya mahal untuk sebuah kemenangan. Bermula biaya kampanye, tim pemenangan, hingga eksistensi di sosial media. Hal ini dipengaruhi oleh liberalisasi politik yang semakin brutal tanpa memandang kawan dan lawan. Pada pilihan legislatif, caleg pun bersaing dengan ratusan yang lain baik sesama partai atau partai lainnya. Belum lagi alat peraga kampanya di jalan dan baliho yang dipasang. Silakan publik menghitung sendiri kalkulasinya.


Ketiga, pengabaian urusan rakyat kerap terjadi karena politisi yang jadi berubah orientasi. Kepedulian kepada rakyat di awal hanya pancingan. Kemudian mau tak mau berpikir pragmatis untuk berselancar demi balik modal. Pragmatisme politik ini menjadi penyakit akut yang menjangkiti politisi demokrasi.


Keempat, rakyat sekadar menjadi komoditi jual beli suara. Hitung-hitungan kepada rakyat di awal saja. Kalaupun ketika menjabat demi kepentingan rakyat sebenarnya itu mengikuti arus konstitusi yang sudah ada dan mengontrol saja. Tak ubahnya untuk membuat lompatan yang penting bagi pengurusan rakyat yang betul-betul tuntas. Coba tengok ketika dana subsidi untuk rakyat banyak yang disunati. Giliran demi kepentingan pejabat diam-diam yang penting mulus sesuai kepentingan.


Kelima, karakter politik demokrasi bukanlah politik mengurusi. Fakta ini bisa dilihat pada perhatian penguasa kepada rakyatnya. Tatkala rakyat membutuhkan perlindungan, penguasa kerap tidak hadir. Arogansi penguasa pun tampak ketika berkuasa kerap menyelewengkan kekuasaan dan konstitusi. Rakyat kerap menjadi korbannya.


Alhasil, memang rakyat diurusi tapi masih setengah hati. Sebaliknya, bersembunyi di balik konstitusi dan citra diri rakyat dibuat terkecoh. Hal ini pun ditambah dengan pragmatisme rakyat yang jauh dari berpikir politik kritis. Rakyat pun sebenarnya sudah muak tapi tak memiliki jalan lain.


Menghadirkan Politik Mengurusi


Jika politik dimaknai sebagai upaya mengurusi urusan rakyat secara keseluruhan. Kemudian dibalut dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menjalankan kekuasaan. Maka siapapun yang akan menjadi pejabat negara yang di pundaknya ada amanah akan menata niat awalnya. Tujuan berkuasa bukan untuk mencari dunia, tapi sebagai pengabdian untuk memudahkannya masuk surga. Jadi visinya juga keakhiratan.


Politik mengurusi inilah yang sejatinya digariskan oleh Islam. Sebagaimana masa nabi-nabi yang mengurusi umatnya. Kemudian dilanjutkan para khalifah sesudahnya. Gambaran aplikasi politik Islam telah tertulis dalam tinta sejarah peradaban. Bahkan, Rasulullah Muhammad menjadi orang nomor 1 yang dikagumi karena sebagai nabi juga sebagai pemimpin yang membawa kemajuan.


Islam menggariskan kepada siapa pun yang akan menjabat menjadi pemimpin, wakil umat, dan pejabat negara untuk menjadikan rida Allah di atas segalanya. Islam pun memberikan seperangkat aturan dalam pemerintahan dan kekuasaan yang khas. Hal yang perlu diingat bahwa tanggung jawab kekuasaan itu tidak hanya dalam selembar laporan di hadapan rakyat. Lebih dari itu ada pertanggungjawaban yang berat kelak di akhirat. Sudahkah calon pemimpin, wakil rakyat, dan pejabat itu berpikir? Wayahe rakyat diurusi ora diapusi akan terwujud dengan politik islami. [By]