Alt Title

Revisi Undang-Undang Desa, Membuka Potensi Maraknya Korupsi

Revisi Undang-Undang Desa, Membuka Potensi Maraknya Korupsi

Masa jabatan yang panjang ditambah kenaikan alokasi Dana Desa tentu akan berpotensi meningkatnya korupsi di tingkat desa

Hal ini mungkin terjadi mengingat ketika masa jabatan kepala desa lima tahun saja dengan dana yang lebih kecil, tindak korupsi di tingkat desa begitu marak, apalagi jika masa jabatan dan dana ditambah, maka potensi korupsi akan lebih tinggi lagi

_____________________________


Penulis Ummi Nissa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Salah seorang kepala desa di Kabupaten Serang, Banten, tepatnya Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa, menjadi tersangka korupsi Dana Desa dengan total kerugian negara mencapai Rp988 juta. Ia bernama Alkiani yang menjabat pada masa periode 2015-2021. Dirinya telah menghamburkan dana desa untuk kebutuhan pribadinya. Seperti pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan. (tirto[dot]id, 20 Juni 2023) 


Padahal, uang yang digunakannya untuk berfoya-foya tersebut diperuntukkan demi kegiatan pembangunan infrastruktur di Desa Lontar. Mulai dari rabat beton, gapura wisata, dan tembok penahan tanah (TPT). Kini Akiani ditahan untuk selanjutnya akan diadili di Pengadilan Negeri Serang. Atas tindakannya itu, ia dijerat Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).


Tindak pidana korupsi yang dilakukan Kepala Desa Lontar ini, semakin menambah deretan panjang pelaku korupsi di tingkat desa. Berdasarkan data yang dirilis oleh dari Indonesia Coruption Watch (ICW) bahwa Dana Desa yang dikucurkan pemerintah selama 2015-2021 mencapai Rp400,1 triliun. Selama periode itu terjadi 592 kasus korupsi dengan 729 orang ditetapkan sebagai tersangka. Akibat tindak korupsi selama kurun waktu tersebut, negara dirugikan sebesar Rp433,8 miliar.


Di sisi lain, Badan Legislasi (Baleg) DPR mulai menyusun draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, mengatakan bahwa, salah satu poin yang akan direvisi adalah masa jabatan Kepala Desa menjadi sembilan tahun untuk satu periode dan dapat dipilih kembali.


Selain itu, revisi UU Desa juga mengusulkan adanya penambahan alokasi Dana Desa. Dalam revisi tersebut, Dana Desa diusulkan menjadi 15 persen yang semula 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal tersebut diatur dalam Pasal 72 draf revisi Undang-Undang Desa.


Masa jabatan yang panjang ditambah kenaikan alokasi Dana Desa tentu akan berpotensi meningkatnya korupsi di tingkat desa. Hal ini mungkin terjadi mengingat ketika masa jabatan kepala desa lima tahun saja dengan dana yang lebih kecil, tindak korupsi di tingkat desa begitu marak, apalagi jika masa jabatan dan dana ditambah, maka potensi korupsi akan lebih tinggi lagi. 


Kejahatan korupsi terjadi karena tidak adanya ketakwaan individu sebagai pengendali, hingga mendorong pejabat berani bertindak korup. Sebab, saat ini pemimpin dipilih bukan berdasarkan ketakwaan, tapi hanya dilihat dari sisi integritas dan profesionalitas.


Selain itu, lemahnya sistem pengawasan negara dan kontrol masyarakat terhadap aliran dana desa, akan semakin berpeluang adanya penyalah gunaan alokasi dana desa hingga tidak tepat sasaran. Banyak aliran Dana Desa masuk ke desa fiktif yang tidak jelas keberadaannya. 


Sejatinya yang menjadi akar maraknya tindak pidana korupsi, tak lepas dari pengaruh penerapan sistem kapitalisme sekuler saat ini. Sistem kehidupan ini lebih mengutamakan keuntungan duniawi, sebaliknya mengabaikan kehidupan akhirat. Karenanya aturan agama dijauhkan dari kehidupan. Hingga berdampak pada pembentukan individu rakyat dan pejabat yang tidak memiliki kendali spiritual yang dapat membimbingnya agar tidak melakukan kejahatan seperti korupsi. Sebaliknya mereka hanya fokus pada orientasi hidupnya untuk memenuhi syahwat dunia berupa harta, tahta, dan wanita. Hingga tidak sedikit dari pejabat yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dan kenikmatan dunia. 


Lemahnya Lembaga pengawas yang mengontrol aliran dana negara pun tak luput dari pengaruh sistem kapitalisme sekuler. Aturan dibuat sesuai dengan kepentingan para penguasa. Pemecatan petugas yang memiliki integritas dan profesionalitas  di lembaga pengawasan ini, semakin memperlemah lembaga anti korupsi. Dengan lemahnya lembaga pengawasan pemberantasan korupsi semakin membuka lebar maraknya tindakan riswah (korupsi).


Semua hal tersebut berbeda dengan sistem pengaturan Islam yang melibatkan aturan agama dalam mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.

Oleh karena itu, sistem Islam berlandaskan pada akidah Islam. Ia memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Namun sistem Islam mencegah manusia termasuk penguasa untuk melakukan tindak korupsi sejak awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemik terkait pemberantasan korupsi.


Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama,  Penerapan aturan lslam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam, pemimpin negara diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Quran dan sunah, begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam.


Kedua, dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, sistem Islam menetapkan syarat takwa sebagai kriteria, selain syarat profesionalitas dan integritas. Ketakwaan menjadi pengendali sejak awal yang akan mencegah perbuatan maksiat dan tercela, seperti tindak pidana korupsi. Sebagaimana menurut para ulama tindak korupsi merupakan hal yang diharamkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:


" Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu." ( QS. An-Nisa: 29) 


Dengan ketakwaan, maka pejabat dan pegawai negara selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. dalam melaksanakan tugasnya. Sebagaimana tampak pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memadamkan lampu minyaknya, hingga berbicara dalam kondisi gelap dengan putranya tatkala yang dibicarakan adalah bukan kepentingan negara. Hal ini beliau lakukan karena dorongan ketakwaannya agar menggunakan kas negara hanya  untuk kepentingan rakyat. 


Selain takwa seorang pejabat juga mesti menghiasi sikapnya dengan sifat zuhud. Ketika takwa diimbangi dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanâ’ah dengan pemberian Allah Swt., maka pejabat atau pegawai negara akan amanah dalam menjalankan tugasnya. Karena, baginya dunia bukanlah tujuan. Bagi mereka tujuan hidup di dunia hanyalah meraih rida Allah Swt. Karena itu pejabat dan pegawai negara paham betul bahwa jabatan dan kekuasaan hanyalah sarana untuk mewujudkan kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.


Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik adalah ri’âyah syar’iyyah , yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan penguasa dan pemilik modal.


Keempat, penerapan sanksi yang tegas dan memberi efek jera bagi pelaku tindak kejahatan termasuk korupsi. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus yang sama muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.


Dengan demikian, hanya dengan penerapan sistem Islam semua permasalahan manusia dapat diatasi hingga tuntas. Begitu juga tindak pidana korupsi dapat dicegah dan diminimalisasi dengan penerapan hukum syariat Islam. Wallahualam bissawab. [GSM]