Saat Pengakuan Jadi Pengkhianatan
Surat PembacaBagi mereka yang ingin berkompromi tidak ada pengakuan atas negara penjajah
tanpa menyepelekan para syuhada Pal*stina
________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Prabowo Subianto yang baru saja memenangkan pemilihan presiden menegaskan bahwa Isra*l dapat diakui keberadaanya oleh Indonesia asalkan Pal*stina dimerdekakan terlebih dahulu. "Kalau Pal*stina diberi kemerdekaan, kita siap akui Isra*l," ucap Presiden Prabowo pada konferensi pers dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka pada 28 Mei 2025. (cnnindonesia.com, 30-05-2025)
Presiden Prabowo juga menyampaikan bahwa Indonesia akan menjamin keamanan dan kedaulatan Isra*l sebagai negeri yang berdaulat, serta akan mengirimkan pasukan perdamaian di perbatasan. Pernyataan di atas blak-blakan ini menuai pro dan kontra di dalam negeri.
Beberapa tokoh seakan mendukung dengan alasan yang disebut “strategi diplomatik” dan “taktik realis”. Ketua Umum PBNU Kiyai Haji Yahya Cholil Staquf sudi malah berujar bahwa normalisasi hubungan dengan Isra*l bisa saja dilakukan asalkan untuk perdamaian. (tempo.co, 31-05-2025)
Namun, narasi ini justru pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Pal*stina dan umat Islam di belahan dunia lain. Bukan karena harus jadi begini, namun lebih tepatnya alasan tersebut hanya bualan “solusi dua negara” yang sengaja didesakkan Inggris dan Amerika untuk mempertahankan penjajahan zion*s di tanah suci umat Islam.
Normalisasi atas Nama Perdamaian Adalah Kata Sandi
Solusi dua negara menjadi propaganda yang “dijual” oleh pihak Barat bukan untuk ditegakkan. Sejak diusulkan oleh PBB tahun 1947, yang terjadi justru penguatan posisi Isra*l dan pelemahan posisi rakyat Pal*stina. Faktanya, hingga saat ini masih tidak ada peta jalan yang benar-benar dihadirkan untuk membangun negara Pal*stina merdeka dan berdaulat.
Sikap Prabowo rasional pada permukaan, tetapi membuka jalan legitimasi kolonisasi lebih dari 75 tahun sebelumnya. Perang kolonial pada akhirnya akan memanggil. Bagi mereka yang ingin berkompromi, tidak ada pengakuan atas negara penjajah, tanpa menyepelekan para syuhada Pal*stina. Korban Nakba ‘48, Intifada ‘87, dan gelombang perlawanan lainnya sampai agresi 2023-2024 yang rugikan ratusan ribu nyawa Gaz*.
Narasi disela-sela semacam ini tak diberhentikan akan menciptakan preseden buruk bagi Indonesia. Negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak di dunia. Sebelumnya juga tidak direspons oleh Isra*l, lalu harapan “diplomasi Indonesia akan didengar” dioptimistiskan.
Demokrasi Sekuler Akar dari Politik Cacat
Pernyataan normalisasi ini tidak dapat dipisahkan dari demokrasi sekuler yang menghasilkan sistem batil. Kebijakan luar negeri dalam sistem ini dibentuk oleh kompromi politik, diplomasi pragmatis, dan tekanan geopolitik dari kekuatan global daripada aturan halal-haram atau kepentingan umat Islam.
Demokrasi mengutamakan suara elite politik daripada kebenaran Islam atau suara rakyat. Mereka yang berkuasa dalam sistem ini hanya perwakilan dari kepentingan asing, bukan penjaga masyarakat. Ini masuk akal untuk mempertimbangkan hubungan dengan negara penjajah seperti Isra*l hanya sebagai strategi diplomatik daripada mengkhianati darah syuhada dan kehormatan kaum muslim.
Selain itu, sistem ini menghilangkan kemampuan orang untuk memberikan respons yang jelas dan menyeluruh. Seharusnya menjadi solusi strategis untuk membebaskan Pal*stina, jihad justru dihilangkan dari peradaban politik umat manusia. Demokrasi mengaburkan arti jihad dengan menggunakan istilah "perdamaian" padahal ketidakadilan adalah syarat untuk damai.
Jihad Global di Bawah Daulah
Islam tidak mengajarkan kompromi terhadap penjajahan. Dalam sejarah, Islam memandang tanah yang dikuasai secara zalim harus dibebaskan, bukan dinegosiasikan. Ketika Pal*stina jatuh ke tangan pasukan Romawi dan kemudian disusul oleh pasukan Salib, umat Islam tidak duduk di meja perundingan. Melainkan, mengerahkan jihad semesta di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dan kemudian Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Allah Swt. berfirman: “Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.’” (QS. An-Nisa: 75)
Tidak ada solusi bagi Pal*stina kecuali pembebasan total, bukan negosiasi. Ini hanya bisa diwujudkan bila umat Islam memiliki kekuatan politik dalam bentuk institusi negara—yakni Daulah Islamiah. Hanya dengan Daulah, jihad bisa menjadi kebijakan negara bukan sekadar seruan personal atau ormas.
Daulah akan menyatukan kekuatan umat, memobilisasi sumber daya militer dan diplomasi global untuk menekan Isra*l dan sekutunya. Inilah solusi hakiki yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. melalui tariqah nubuwwah. Pernyataan tersebut melawan hakikat mengakui Isra*l atas dasar “jika Pal*stina merdeka” merupakan tindakan tukar guling yang melukai prinsip dan perjuangan umat Islam.
Bukanlah siasat diplomatik, melainkan tindakan pengkhianatan terhadap Al-Aqsa dan darah para syuhada. Umat janganlah tertipu dengan narasi perdamaian palsu. Saatnya umat Islam membangkitkan kembali semangat jalan keluar yang sesungguhnya: Daulah Islamiah. Daulah Islamiah yang mengenakan jihad pembebasan Pal*stina adalah saat Al-Aqsa dibebaskan seperti dulu. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]
Mannasalwa