Anak Jadi Sasaran Judol Kapitalisme Biang Kehancuran Generasi
OpiniKetika penerapan sistem kapitalis yang menjadi landasan aturan
maka akan kita dapati tidak adanya perlindungan terhadap anak-anak
________________________________
Penulis Sri Wulandari
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penggunaan sosial media di kalangan anak-anak tanpa adanya kontrol dan sikap tegas orang tua mengakibatkan turunnya daya pikir terhadap anak. Akhir-akhir ini sering terjadi kasus yang melibatkan anak-anak di bawah umur karena pengaruh sosial media. Bukan hal yang aneh saat ini mendengar anak-anak mulai dari kalangan usia belasan tahun terjerat kasus judi online (judol).
Berdasarkan data kuartal I-2025 Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan yang dikumpulkan oleh PPATK memperlihatkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain judol berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar sedangkan deposit yang tertinggi dari usia antara 31-40 tahun mencapai Rp2,5 triliun. (cnbcindonesia.com, 11-05-2025)
Hal tersebut bukanlah sekadar angka, tetapi ini menunjukkan dampak sosial. Selain itu, menjadi ancaman serius untuk generasi ketika judol tidak diberantas sampai akarnya. Tidak terbayang nasib generasi mendatang jika anak-anak dan remaja menjadi korban judol saat ini.
Dampak dari kecanduan judol adalah kondisi seseorang ketika tidak bisa mengontrol keinginannya untuk berjudi secara online padahal telah jelas mengetahui risiko dan konsekuensi negatifnya. Faktor yang membuat seseorang bisa kecanduan judol adalah seseorang yang merasa senang dan terpuaskan karena kemenangannya. Hal ini memicu keinginan untuk terus bermain. Faktor lingkungan juga memengaruhi karena tidak adanya kontrol diri dalam mengkases sosial media.
Masalah ini memiliki dampak pada perkembangan psikologis anak. Termasuk masalah perilaku dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan. Akibatnya, memberikan perilaku negatif kepada anggota keluarga, seperti berbohong dan memendam masalah sendiri. Bahkan dapat berujung kepada perceraian di antara suami istri.
Ketika penerapan sistem kapitalis yang menjadi landasan aturan, maka akan kita dapati tidak adanya perlindungan terhadap anak-anak sebab dalam sistem kapitalis hal tersebut bisa dijadikan sebagai lahan keuntungan materi. Sistem kapitalistik memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk mengikat anak-anak dengan bantuan digital. Inilah wajah asli sistem kapitalis yang rakus dan tidak mengenal batas moral.
Negara yang diharapkan sebagai junnah (pelindung) pun tidak nampak upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Pemutusan akses dilakukan hanya sebatas awalnya tidak ada jangka panjang, sementara banyak situs lain tetap aktif. Masalah ini membuktikan bahwa kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.
Peran orang tua juga menjadi hal penting dalam mengawasi anak-anak agar tidak terjerat judol. Orang tua hendaknya melakukan pendampingan terhadap anak-anaknya ketika menggunakan smartphone. Memberikan benteng terdepan agar tidak merusaki moral anak-anak. Namun, peran ini akan sulit dilakukan jika orang tua sendiri terbebani oleh impitan ekonomi sistem kapitalis seperti saat ini. Tatkala semua kebutuhan naik pesat, orang tua fokus mencari penghidupan. Akibatnya, mendidik dan mengawasi anak menjadi terabaikan.
Selain itu, sistem pendidikan juga menjadi landasan paling penting. Namun, seperti yang kita tahu bahwa sistem pendidikan yang diterapkan saat ini adalah kapitalisme. Sistem ini hanya memfokuskan pada hasil nilai akademik dan nilai materi. Tidak serius dalam membentuk generasi yang kuat mental dan spritualnya.
Dengan jelas negara ini mengambil sistem sekuler kapitalis sehingga sistem pendidikannya pun sistem pendidikan kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam hal ini, judol adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Sudah jelas disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada bidang akademik. Akan tetapi, juga membentuk pola pikir dan sikap anak sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk memahami dan menjadikan halal-haram sebagai tolok ukur dalam berperilaku, termasuk literasi digital yang tidak melanggar batasan syariat.
Negara dalam Islam (Khil4fah) wajib menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara akan menutup semua akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten yang merusak akidah dan akhlak anak. Digitalisasi akan diarahkan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyat sehingga rakyat dapat dengan tenang dan aman dalam memanfaatkan perkembangan digitalisasi yang pesat bagi keluarganya.
Negara harus terus memperbaharui dan mengembangkan perangkat lunak, perangkat keras, dan pusat datanya sendiri. Dengan demikian, semua infrastruktur digitalnya mulai dari properti digital hingga aksesnya berada di bawah kendalinya. Agar kasus judol tidak bisa diakses oleh seluruh kalangan terutama anak-anak.
Demikianlah pengaturan dalam sistem Islam. Tidak akan ada celah bagi transaksi ekonomi yang diharamkan syariat termasuk judi dalam bentuk apapun, baik online ataupun offline. Sistem Islam (Khil4fah) akan memberlakukan sanksi yang tegas bagi para pelakunya sehingga generasi akan terselamatkan dari berbagai kerusakan, termasuk judol. Wallahualam bissawab. [Eva/MKC]