Alt Title

Antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, di Mana Letak Keadilan?

Antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, di Mana Letak Keadilan?



Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul representasi dari dua kelas masyarakat yang berbeda

Dengan bentuk ketimpangan yang dilembagakan ini, negara seolah ingin berkata, “Tidak semua anak berhak atas pendidikan terbaik.”

_________________________


Penulis Fatimah Al-Fihri

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Apoteker 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di negeri ini, fenomena anak putus sekolah menjadi problematika yang tak kunjung usai. Bukan karena tak mau belajar, tetapi karena sekolah bukanlah prioritas ketika isi dapur belum terpenuhi. Menurut data dari www.tirto.id (19-05-2025), sejumlah 3,9 juta lebih anak tak bersekolah dan kesulitan ekonomi menjadi faktor penyumbang paling besar. Selain itu, kesenjangan akses pendidikan antara keluarga miskin dan kaya masih cukup besar. Ini adalah realita pahit bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, masih belum sepenuhnya bisa diakses secara merata.


Upaya pemerintah memang patut diapresiasi. Berbagai program bantuan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah lama disalurkan untuk membantu keluarga miskin. Belum lama ini, pemerintah juga merancang program Sekolah Rakyat yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, serta Sekolah Garuda Unggul yang menyasar kalangan menengah atas. Beberapa daerah bahkan mulai memberlakukan sekolah swasta gratis bagi siswa tidak mampu, seperti yang dilakukan di Jawa Tengah. Pemerintah telah berusaha memperluas akses pendidikan, tetapi apakah program-program ini mampu menjawab akar persoalan sistem pendidikan?


Solusi Tambal Sulam


Alih-alih menyelesaikan akar masalah, kebijakan terbaru ini justru semakin melanggengkan ketimpangan pendidikan. Munculnya dua tipe sekolah, satu untuk si miskin, satu lagi untuk si kaya. Seolah menegaskan bahwa pendidikan hari ini telah mengalami segmentasi kelas sosial. Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul menjadi representasi dari dua kelas masyarakat yang berbeda. Dengan bentuk ketimpangan yang dilembagakan seperti ini, negara seolah ingin berkata, “Tidak semua anak berhak atas pendidikan terbaik."


Pemberian bantuan finansial seperti BOS dan KIP memang membantu, tetapi hanya bersifat jangka pendek. Program seperti ini berfungsi sebagai bantalan sosial, bukan solusi tuntas masalah struktural. Ketika biaya pendidikan terus meningkat, sementara akses terhadap kualitas pendidikan masih dipengaruhi oleh daya beli, maka ketimpangan akan terus berulang dari generasi ke generasi. Alih-alih menghapus akar kemiskinan melalui pendidikan, sistem pendidikan hari ini justru menunjukkan ketimpangan ekonomi melalui skema biaya pendidikan yang tinggi, khususnya untuk pendidikan berkualitas.


Kapitalisme dan Komodifikasi Pendidikan


Ketimpangan akses pendidikan hari ini adalah hasil dari logika tambal sulam yang khas dari sistem kapitalisme. Negara tidak bertanggung jawab menjamin hak pendidikan, melainkan sekadar menyalurkan bantuan. Sistem ini meniscayakan transformasi pendidikan dari yang mulanya hak dasar warga negara menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Lembaga pendidikan hari ini baik swasta maupun negeri berlomba-lomba menjual gelar, sertifikat, dan jenjang karir dengan harga yang tinggi.


Dalam paradigma kapitalisme, ji pendidikan dipandang sebagai investasi individu. Artinya, hanya mereka yang mampu berinvestasi yang akan menikmati hasilnya. Ini melahirkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Pendidikan akhirnya menjadi jalur untuk memperbaiki nasib ekonomi, bukan sebagai proses pembentukan karakter, peradaban dan nilai luhur. Anak-anak dari keluarga kurang mampu pun harus menerima realita bahwa masa depan mereka ditentukan oleh kondisi ekonomi keluarga, bukan oleh semangat dan kecerdasan mereka.


Islam Menjamin Pendidikan


Berbeda dengan paradigma kapitalistik, Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar yang bersifat syar’i. Artinya, negara wajib memenuhinya tanpa dikaitkan dengan status sosial atau daya beli. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan secara gratis dan berkualitas bagi seluruh warganya. Negara tidak boleh menyerahkan pendidikan kepada swasta sebagai komoditas ekonomi, karena pendidikan adalah amanah yang menentukan arah peradaban.


Pendidikan dalam Islam bukan sekadar untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi, tetapi membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiah), serta mencetak generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan siap memimpin peradaban. Negara bertanggung jawab atas kurikulum, tenaga pendidik, fasilitas, dan pembiayaan. Sumber dananya berasal dari Baitul Mal, termasuk zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam yang halal dan sah menurut syariat.


Model pendidikan Islam juga terbukti berhasil dalam sejarah. Pada masa Khilafah Islam, institusi-institusi pendidikan seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad dan universitas-universitas di Andalusia terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa biaya. Ilmuwan dari berbagai latar belakang mampu lahir dari sistem yang tidak mengenal kasta sosial. Anak dari keluarga miskin dan kaya akan duduk di ruang kelas yang sama, dididik oleh guru yang sama, dengan kurikulum yang sama.


Islam menawarkan kerangka sistem yang menyatukan antara tanggung jawab negara dengan prinsip keadilan. Paradigma inilah yang perlu dikaji dan ditawarkan kepada bangsa ini. Sebab jika kita terus bertumpu pada sistem yang menciptakan jurang ketimpangan, maka kita tidak hanya mengabaikan hak anak-anak kita, tapi juga mengorbankan masa depan bangsa.


Sudah saatnya kita memikirkan ulang arah pendidikan generasi selanjutnya. Kita tidak bisa terus mengandalkan solusi-solusi jangka pendek yang bersifat populis, apalagi membiarkan pendidikan terjebak dalam logika pasar bebas. Jika pendidikan adalah hak, maka ia harus dijamin. Jika pendidikan adalah dasar kemajuan bangsa, maka negara harus hadir secara penuh. Wallahualam bissawab. [GSM-MKC]