Alt Title

Fantasi Sedarah: Robohnya Nilai Keluarga dalam Bayang Sekularisme

Fantasi Sedarah: Robohnya Nilai Keluarga dalam Bayang Sekularisme



Grup “Fantasi Sedarah” bukan sekadar kasus menyimpang

Ia adalah alarm bahaya yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang sakit

_________________________


 Penulis Vina

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Nutrisionis 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Belakangan terungkap grup facebook bernama “Fantasi Sedarah” yang menjadi momok baru di Indonesia khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Grup ini memuat konten dan diskusi yang mengagungkan fantasi inses (hubungan seksual sedarah), bahkan melibatkan narasi yang menjijikkan ayah kepada anak, kakak kepada adik, hingga anak laki-laki kepada ibunya.


Sebelumnya, grup ini telah ramai diperbincangkan warganet di platform sosial media lain. Hingga akhirnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendesak Direktorat Tindak Pidana Siber agar kasus ini segera ditindaklanjuti. (newsreplubika.com, 17-05-2025)


Komnas Perempuan juga mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas fenomena ini karena dinilai sebagai bentuk kekerasan seksual siber yang sangat serius dan menjijikkan. (beritasatu.com, 17-05-2025)


Pemerintah merespons melalui Wakil Menteri Angga Raka Prabowo, pihaknya mengatakan telah menghubungi Meta dan Facebook untuk menghapus akses grup tersebut, mengutuk penyebaran konten amoral di media sosial, serta mendorong lembaga hukum menyelidiki orang dibaliknya. (bisnisupdate.com, 16-05-2025)


Fenomena ini bukan semata-mata kasus kejahatan dalam dunia digital. Namun, potret buram dari kondisi masyarakat yang tengah berada dalam jurang degradasi moral yang dalam. Lebih mencengangkan, komunitas ini ternyata telah bertahan selama lebih dari sepuluh tahun. Ribuan anggota yang tergabung mencoba menormalisasi perilaku inses dengan secara aktif terlibat dalam diskusi dan saling berbagai kisah. Ini bukan hanya mencerminkan penyakit individu, tetapi juga mengindikasikan adanya kerusakan sistemik pada tatanan sosial dan nilai yang dianut masyarakat.


Bangsa “Religius”, Tetapi Mengapa Rusak?


Indonesia sering menyebut dirinya sebagai bangsa religius. Lima agama resmi diakui di negeri ini, pendidikan agama diwajibkan di sekolah, dan tempat ibadah berdiri megah di berbagai sudut kota. Namun, apakah semua ini cukup menjadi bukti bahwa bangsa ini benar-benar religius?


Fakta bahwa ada komunitas publik di media sosial yang terang-terangan menyebarkan penyimpangan seperti inses, dan dapat bertahan selama bertahun-tahun, adalah bukti nyata bahwa ada kontradiksi besar antara klaim religiusitas dan realitas moral yang ada. Religiusitas yang tampak hanya sebatas simbol dan ritual. Sementara dalam praktik kehidupan nilai-nilai agama ditinggalkan. Manusia hidup tanpa pagar syariat. Hukum Tuhan tidak dijadikan standar dan kehidupan dijalankan sesuai keinginan pribadi, didorong oleh akal dan hawa nafsu belaka.


Pengabaian Aturan Agama: Hidup Bebas bagai Binatang


Ketika agama ditepikan, maka yang berkuasa adalah akal manusia yang lemah dan terbatas. Dari kondisi tersebut, muncullah pola hidup liberal yang menjunjung tinggi kebebasan tanpa batas: bebas berpendapat, bebas berperilaku, bebas berimajinasi, hingga bebas melampiaskan hasrat seksual tanpa kendali.


Inilah buah dari penerapan sistem sekuler-kapitalisme yang hanya menjadikan agama sebagai urusan pribadi dan tidak boleh mengatur ruang publik. Dalam sistem ini, tidak ada standar tetap dalam hal moral dan etika. 


Apa pun bisa dibenarkan selama tidak “melanggar hukum positif” yang berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kapitalis pemilik modal. Orang hidup seakan-akan tanpa malu, tanpa rasa bersalah, dan tanpa takut kepada Tuhan. Dalam sistem seperti ini, bahkan hubungan sedarah bisa saja dianggap hanya sebagai “preferensi seksual”, bukan kejahatan moral yang menjijikkan.


Hancurnya Fungsi Keluarga


Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang seharusnya menjadi tempat pertama pembentukan kepribadian dan moral anak. Namun, kini fungsi keluarga itu rusak. Orang tua tidak lagi menjadi teladan. Tak sedikit orang tua yang lebih disibukkan oleh pekerjaan, gawai, atau urusan duniawi lainnya daripada menjalankan peran penting dalam mendidik dan membimbing anak. Alhasil, pola asuh anak terabaikan, banyak di antaranya justru ‘dibesarkan’ oleh internet dan media sosial tanpa batasan nilai tertentu.


Paparan terhadap konten pornografi dan kekerasan pun sangat mudah diakses, bahkan oleh anak-anak usia dini. Tak mengherankan jika imajinasi serta perilaku menyimpang berkembang begitu cepat. Betapa miris, bahkan dalam banyak kasus pelecehan seksual, pelakunya justru berasal dari orang terdekat, seperti ayah kandung, saudara kandung, paman, bahkan ibu sendiri.


Campur Tangan Negara dalam Kerusakan


Ironisnya, negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyat, justru sering menjadi bagian dari masalah. Lewat kebijakan sekuler, negara malah memperkuat sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan publik. Melalui pendidikan karakter yang lemah, kurikulum yang tidak berlandaskan akidah, tayangan media yang vulgar, pornografi yang nyaris tidak terbendung, serta hukum yang longgar terhadap pelaku penyimpangan seksual. 


Semua ini mencerminkan bahwa negara tidak menunjukkan keseriusan dalam menjaga moral dan akhlak warganya. Bahkan dalam sejumlah kebijakan, negara justru nampak mendukung agenda liberalisasi seksual dengan alasan perlindungan hak asasi manusia. Regulasi yang seharusnya berfungsi melindungi institusi keluarga dan generasi penerus justru membuka ruang bagi perilaku menyimpang atas nama “kebebasan individu”. Ketidakpedulian negara terhadap penjagaan nilai moral ini merupakan konsekuensi dari sistem sekuler yang menjauhkan hukum Tuhan dari kehidupan publik.


Islam sebagai Way of Life


Di tengah kerusakan yang semakin nyata, Islam adalah satu-satunya solusi komprehensif. Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sebuah sistem kehidupan (way of life) yang mengatur segala aspek, mulai dari individu, masyarakat, hingga pemerintahan. Dalam pandangan Islam, penyimpangan seperti inses sama sekali tidak bisa ditolerir. Syariat Islam menegaskan bahwa hubungan sedarah merupakan dosa besar yang harus dijauhi, dan pelakunya dikenai sanksi tegas demi menjaga kemuliaan manusia dan keutuhan keluarga.


Namun, Islam tidak berhenti pada penghukuman. Sistem Islam membangun lapisan-lapisan pencegahan yang kokoh:


1. Penanaman akidah sejak dini: Anak-anak diajarkan bahwa hidup mereka adalah amanah dari Allah Swt., dan setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban.


2. Lingkungan yang bersih dari maksiat: Islam melarang keras dan menutup akses segala bentuk pornografi, konten vulgar, dan interaksi bebas yang membuka peluang kerusakan moral.


3. Amar makruf nahi mungkar: Suasana di masyarakat dikondisikan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah keburukan.


4. Penerapan sistem hukum yang tegas: akan memastikan bahwa pelaku penyimpangan dikenai hukuman yang mampu memberikan efek jera, sekaligus menjadi bentuk penebusan dosa mereka di dunia sebelum menghadapi pertanggungjawaban di akhirat.


Selain itu, media dalam sistem Islam akan berfungsi sebagai alat edukasi dan penjaga moral publik. Tidak akan ada tempat bagi tayangan, komunitas, atau diskusi publik yang menyebarkan keburukan. Negara Islam berkewajiban memastikan setiap aspek kehidupan berjalan sesuai dengan syariat, termasuk dalam menjaga keutuhan keluarga, menjaga generasi, dan memelihara kemuliaan manusia.


Grup “Fantasi Sedarah” bukan sekadar kasus menyimpang. Ia adalah alarm bahaya yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang sakit. Penyimpangan ini tidak dapat diatasi dengan solusi parsial seperti sekadar “pemblokiran akun” atau “edukasi digital”, melainkan membutuhkan perubahan menyeluruh pada sistem yang mendasari kehidupan masyarakat. Tidak cukup hanya dengan marah atau sedih, kita harus bergerak untuk mengubah sistem rusak yang telah melahirkan generasi tanpa arah ini.


Kini saatnya umat Islam menyadari bahwa satu-satunya sistem yang mampu melindungi martabat manusia dan mempertahankan keutuhan institusi keluarga adalah sistem Islam. Bukan sistem sekuler yang telah terbukti gagal. Islam adalah solusi yang benar, sempurna, dan mampu menjaga martabat manusia. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]