Alt Title

Dilema Buruh di Hari Buruh

Dilema Buruh di Hari Buruh

 


Hubungan pekerja dan majikan adalah tolong menolong dalam kebaikan bukan mengeksploitasi

Hal ini yang menjadikan hubungan tersebut seharusnya berjalan harmonis

______________________________


Penulis Rokayah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Buruh Pabrik Elektronik


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - May Day atau Hari Buruh Sedunia tahun ini jatuh pada hari Rabu (1/5/2024). Hari Buruh Internasional berawal dari aksi demonstrasi para buruh di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1886. Para buruh menuntut jam kerja 8 jam per hari, 6 hari seminggu, dan upah yang layak. Aksi ini kemudian diwarnai dengan kerusuhan dan tragedi Haymarket Affair.


Sejak saat itu, 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional di berbagai negara di seluruh dunia. Di Indonesia, Hari Buruh dirayakan sebagai Hari Buruh Nasional pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya. (tirto.id, 26/04/2024)


Setiap Hari Buruh ini para buruh selalu menggelar demonstrasi untuk menuntut pemerintah mencabut UU tentang Cipta Kerja (Undang-undang Ciptaker). Kami sebagai buruh menganggap bahwa uu ini tidak memberikan kepastian pendapatan bagi kaum buruh. Bahkan, aturan tersebut kami anggap mengurangi hak buruh.


Hilangnya kepastian pendapatan itu terlihat di dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum yang terdiri dari UMP, UMSP, UMK, UMSK yang ditetapkan berdasarkan hasil KHL dan inflasi juga pertumbuhan ekonomi.


Oleh karena itu, kaum buruh selalu menuntut agar UMK diberlakukan tanpa syarat dan UMSK tidak dihilangkan. Di samping itu, kenaikan upah minimum yang harus berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi juga harus ditinjau ulang.


Persoalan upah buruh selalu jadi topik mengemuka dari tahun ke tahun, setiap peringatan May Day tuntutan yang disampaikan selalu sama yaitu tentang tuntutan kenaikan upah. Pasca dimulainya pembahasan UU Ciptaker, formulasi upah minimum terus menjadi topik yang selalu diperdebatkan.


Upah minimum kota maupun kabupaten di Indonesia memang bervariasi karena diatur secara regional. UMK terbesar ada di Jabodetabek yang mencapai kisaran Rp5,6 juta/bulan, sedangkan UMK terkecil ada di Garut, Pangandaran, Ciamis, Majalengka, Subang, dan lain-lain yaitu sekitar Rp2,1 juta/bulan.


Jelas buruh menolak UMP karena lebih rendah dari UMK, sehingga merugikan mereka. Sebagai contoh UMP Jawa Barat 2024 sebesar Rp2,5 juta, sementara UMK Bekasi mencapai Rp5,6 juta. Jika yang ditetapkan hanya UMP di Jawa Barat, sedangkan UMK Bekasi tidak ditetapkan, maka buruh di Bekasi hanya akan mendapatkan upah Rp2,5 juta.


Padahal, dengan upah sesuai UMK saja buruh masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini dikarenakan kebutuhan hidup yang tinggi dan terus naik setiap tahunnya. Jadi jika UMP saja yang diterapkan, kesejahteraan buruh akan makin jauh dari kenyataan.


Jelas ini semua tidak adil, kesejahteraan buruh akan selalu menjadi mimpi selama sistem pengupahan yang diterapkan bukanlah sistem yang adil.


UMK di Jabodetabek yang terlihat tinggi tetap tidak membuat buruh hidup sejahtera karena mereka hidup di wilayah yang segala barang dan jasa harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Jadilah upah mereka hanya bisa untuk sekadar bertahan hidup, bukan untuk mencapai level sejahtera.


Dalam sistem Islam, upah bisa berbeda-beda berdasarkan perbedaan jenis pekerjaanya dan perbedaan tingkat kesempurnaan dalam melakukan suatu pekerjaan yang sama. Jadi tinggi rendahnya upah buruh dalam suatu pekerjaan itu semata-mata distandarkan pada tingkat kesempurnaan jasa atau kegunaan tenaga yang mereka berikan, inilah upah yang berhak mereka terima (sistem ekonomi Islam).


Hubungan pekerja dan majikan adalah tolong menolong dalam kebaikan bukan mengeksploitasi. Hal ini yang menjadikan hubungan seharusnya berjalan harmonis.


Dalam sistem Islam, majikan wajib membayar upah pekerja secara tepat waktu dan tidak boleh menunda-nunda.


Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, 

"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah dan at-Thabrani)


Bagaimana jika upah dari pekerjaan tidak mencukupi kebutuhan hidup seorang pekerja beserta orang yang dalam tanggungan nafkahnya?


Dalam kondisi seperti ini, solusi hadir dari negara, bukan dari pemberi kerja. Majikan tidak punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerjanya tersebut. Dia hanya wajib memberikan upah yang sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan pekerjanya.


Ketika pekerja tersebut sudah mendapatkan upah tetapi tidak cukup untuk kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, dan papan maka dia terkategori fakir. Dia berhak mendapatkan zakat yang dikumpulkan negara dari para muzaki.


Sedangkan kebutuhan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan rekreasi disediakan oleh negara bagi seluruh rakyat, baik yang kaya ataupun yang miskin, tanpa dipungut biaya.


Dengan sistem pengupahan Islam yang adil, maka para pekerja tidak perlu risi akan kebutuhan hidupnya dan bisa bekerja dengan tenang. Wallahualam bissawab. [SJ]