Alt Title

Fenomena Gagal Nyaleg, Potret Buram Pesta Demokrasi

Fenomena Gagal Nyaleg, Potret Buram Pesta Demokrasi

 


Sistem kapitalisme meniscayakan pengambilan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apapun

Termasuk dengan cara mengejar kursi jabatan di pemerintahan


___________________


Penulis Ida

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Apoteker


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Meski hasil pemilu 14 Februari belum diketok palu, tetapi para caleg dan timses telah menghadapi tekanan yang luar biasa pasca melihat hasil real count yang masih berlangsung. Berbagai fenomena di luar nalar yang dilakukan oleh caleg maupun timses mulai menghiasi layar berita nasional. Di antaranya, seorang warga di desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri lantaran depresi karena caleg yang didukungnya kalah (mediaindonesia.com 19/2/24). 


Di Kabupaten Subang, Jawa Barat, seorang caleg DPRD membongkar kembali jalan yang sebelumnya ia bangun. Layaknya seorang anak yang sedang tantrum, ia bersama para pendukungnya melakukan teror petasan di sejumlah titik yang perolehan suaranya rendah. Akibat aksinya tersebut, seorang warga dilaporkan terkena serangan jantung dan meninggal dunia. (news.okezone.com 25/2/24). Sementara, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua timses menarik kembali bantuan amplop yang sebelumnya dibagikan kepada warga karena adanya tekanan yang hebat (tvonenews.com 19/2/24).


Beragam fenomena pasca pemilu menunjukkan bahwa para caleg dan timsesnya memiliki mental yang rapuh dan lemah. Mereka hanya menuntut kemenangan tanpa siap menerima kekalahan. Ketika hasilnya tidak sesuai ekspektasi, mereka depresi dan melakukan aksi-aksi yang berujung memakan korban seolah-olah dunianya hancur saat itu juga. Kehilangan jabatan benar-benar telah merusak logika mereka dalam berpikir sehingga nekat melakukan hal-hal yang irasional.


Gila Jabatan ala Kapitalisme


Sesuai dengan namanya yaitu kapital (modal), sistem kapitalisme meniscayakan pengambilan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apapun. Termasuk dengan cara mengejar kursi jabatan di pemerintahan. Semua orang yang mengejar jabatan rata-rata berpandangan bahwa jabatan adalah golden ticket untuk menambah pundi-pundi kekayaan materi.


Oleh karenanya, di tengah kompetisi yang tidak mudah dengan lawan politiknya, mereka tidak segan untuk menggelontorkan sejumlah uang demi memperoleh suara rakyat. Semua properti rela dijual seperti rumah, mobil, sawah agar dapat memperoleh target suara yang dikehendaki. Utang menjadi opsi demi memenuhi hasrat memperoleh jabatan.


Inilah gambaran gila jabatan ala kapitalisme. Semuanya dikerahkan habis-habisan tetapi saat hasil tidak sesuai keinginan mereka menjadi depresi. Mereka tidak siap menghadapi kekalahan seolah-olah dunia akan kiamat jika mereka sampai kalah. Hal ini, berbeda dengan Islam yang menganjurkan agar manusia tidak rakus terhadap harta dunia.


Sistem Pemilu Biaya Tinggi


Di samping itu, pesta demokrasi ini memberikan gambaran nyata sistem pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Segala prosesnya memerlukan biaya yang begitu besar. Mulai dari proses penyelenggaraan pemilu dari lembaga yang berwenang hingga proses kampanye setiap kandidat yang tidak jauh dari praktik politik uang atau membeli suara rakyat dengan sogokan uang. 


Dengan memanfaatkan kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat menengah ke bawah, para kandidat memberikan amplop yang jumlahnya tidak seberapa demi perolehan suara rakyat. Rakyat sendiri sebetulnya memahami bahwa suara mereka nantinya akan semakin memperkaya kandidat yang menang dan tidak sebanding dengan amplop yang mereka terima. Akan tetapi, fenomena tersebut diwajarkan oleh sebagian besar masyarakat.


Inilah gambaran nyata kebobrokan sistem pemilu demokrasi. Pemimpin yang terpilih ditentukan oleh seberapa banyak materi atau uang yang mereka keluarkan untuk membeli suara rakyat. Bukan berdasarkan kualitas pemimpin itu sendiri. Jadi, sangat mungkin pemimpin yang berkualitas justru tidak terpilih karena dana yang dikeluarkannya lebih kecil dari lawan politiknya.


Jabatan dalam Islam


Islam mengajarkan prinsip bahwa memegang jabatan adalan sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Orang yang memangku jabatan akan ditanyai soal kesesuaian kepemimpinannya dengan syariat Allah. Apabila ia berlaku adil maka ia selamat, sebaliknya apabila ia berlaku zalim maka ia akan menanggung dosa kezalimannya.


Itulah sebabnya syarat menjadi pejabat di dalam sistem Islam adalah takwa. Hanya orang bertakwa saja yang tidak akan berbuat zalim, justru akan berbuat adil. Dengan berbekal takwa pula ia memahami tugasnya sebagai pengatur urusan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat.


Di dalam sistem Islam, penguasa tidak haus jabatan. Hal ini, sudah dibuktikan sejak kepemimpinan Rasulullah hingga berlanjut ke khulafaur rasyidin. Sejarah membuktikan selama kepemimpinan mereka, mereka hidup sederhana bahkan enggan menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi.


Di samping itu, sistem Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang khas. Dengan tidak menggunakan janji-janji kampanye dan politik uang. Syarat penguasa di dalam Islam adalah laki-laki, balig, berakal, muslim, merdeka, adil, dan mampu. Makna adil adalah tidak berbuat dzalim, artinya harus orang yang bertaqwa. Rakyat memiliki hak untuk memilih penguasa namun dengan mekanisme pemilihan yang sederhana, jujur, tidak berbiaya tinggi. [Dara]