Alt Title

Gurita Dinasti Politik, Wajah Buruk Demokrasi

Gurita Dinasti Politik, Wajah Buruk Demokrasi


Adanya dinasti politik telah menyebabkan 'mandeknya' kaderidasi dan menutup munculnya orang-orang berprestasi yang berkompeten dalam memimpin

Partai politik tidak mau ambil resiko karena ini berkaitan dengan masalah reputasi partai dalam jangka panjang jika mengambil orang dari luar keluarga petahana


_____________________


Penulis Mia Annisa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan pemerhati masalah keumatan


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Senangnya dalam hati ...

Penggalan lirik lagu di atas sepertinya menggambarkan bagaimana suasana hati orang nomor satu Republik Indonesia saat ini. Bagaimana tidak? Gibran telah resmi menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan oleh Anwar Usman yang tak lain adalah adik ipar Jokowi atau paman dari Gibran. Mengabulkan syarat capres dan cawapres berusia 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai Kepala Daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.


Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) seakan ditujukan untuk memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming maju dalam putaran pilpres. Nampaknya, dugaan publik tak sebatas dugaan. Sebab proliferasi Jokowi di panggung eksekutif sudah terlihat jelas dan semakin menguat membangun dinasti politiknya.


Anak, mantu, hingga iparnya boleh dikatakan 'turun gunung' semua. Dimulai dari anak pertama Jokowi, Gibran tahun 2021-2024 menjadi Walikota Solo. Belum selesai masa jabatannya, kini resmi mendampingi Prabowo. Mantunya Bobby Nasution tahun 2021-2024, menjabat sebagai Walikota Medan. Belum berakhir masa jabatannya kini menjadi kandidat sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Lalu, Kaesang Pangarep, 2023-2028 menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Terakhir ada Anwar Usman, masa jabatan 2023-2028 sebagai ketua MK.


Pasca putusan Mahkamah Konstitusi keluar


Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara menggelar aksi sebagai bukti bentuk kekecewaan mereka terhadap Mahkamah Konstitusi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2023) malam, seraya membawa banner bertuliskan ‘Mahkamah Konstitusi Jalan Menuju Politik Dinasti'. (news[dot]detik[dot]com, Senin 16/102023)


Para mahasiswa juga menyampaikan orasi yang menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi adalah catatan hitam di era Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin. Karena, memuluskan jalan politik dinasti lewat putusan sidang dalam gugatan Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.


Dinasti Politik Menyuburkan Nepotisme dan Korupsi


Munculnya calon dari lingkungan keluarga pemerintahan yang tengah berkuasa merupakan sebuah konsekuensi logis dalam sistem demokrasi hari ini. Sistema Kredo Vox Povuli Vox Dei (suara rakyat suara Tuhan) memang tak bisa dilepaskan. Mereka melegitimasi seolah-olah amanah yang dijalankan adalah mewakili suara rakyat. Sebaliknya mereka bekerja untuk memperjuangkan kepentingan diri mereka sendiri dan para kroni. Menjaga dan mengakomodasi kepentingan rezim untuk tetap berkuasa.


Tak pelak gurita dinasti politik yang menggejala mendorong lahirnya nepotisme dan korupsi menyebar hampir ke seluruh tubuh partai politik baik di level daerah hingga pemerintah pusat. Artinya, suksesi politik yang dilakukan di berbagai level menurut pengamat politik, Roy Rangkuti, membuktikan bahwa semua ini adalah semata-mata saling tukar posisi untuk mempertahankan kekuasaan.


Selain nepotisme, gurita dinasti politik menumbuhkan suburkan korupsi. Sejak 2004 hingga 2022, setidaknya KPK sudah menangani 1.310 kasus tindak pidana korupsi di berbagi level instansi. Mayoritas terjadi di tingkat kabupaten/kota, 537 kasus. Jumlah ini setara dengan 40,99% dari total kasus korupsi dari periode itu.


Pejabat yang meneruskan jabatan anggota keluarganya akan meneruskan kebiasaan pendahulunya, termasuk korupsi. Dinasti politik di beberapa daerah merupakan contoh real menjadi pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi disebabkan berkumpulnya kekuasaan di satu tempat sehingga pengawasan berubah menjadi lemah. Yang kedua, mengingat biaya politik yang tinggi perlu dikeluarkan agar kekuasaannya tidak beralih ke pihak lain. Usaha yang dilakukan agar balik modal selama kampanye satu-satunya jalan dengan korupsi.


Adanya dinasti politik telah menyebabkan 'mandeknya' kaderidasi dan menutup munculnya orang-orang berprestasi yang berkompeten dalam memimpin. Sebab, partai politik tidak mau ambil resiko karena ini berkaitan dengan masalah reputasi partai dalam jangka panjang jika mengambil orang dari luar keluarga petahana.


Besarnya biaya politik yang dikeluarkan dalam demokrasi juga menjadi taruhan karena tidak adanya jaminan anggota dari keluarga politik tertentu dapat mengulang kesuksesan pendahulunya.


Kondisi ini tak bisa dilepaskan jika dalam sistem demokrasi partai politik terjebak dalam politik pragmatis. Karena, berangkat pada asas pemikiran dan metode yang tidak jelas, diluar Islam. Ikatan orang-orang di dalamnya diikat karena tuntutan hawa nafsu dan keserakahan bukan karena bertugas ingin mendidik umat dan membawa perubahan yang hakiki.


Lantas bagaimana Islam memandang fenomena dinasti politik? 


Dalam Islam jabatan bukanlah ihwal aji mumpung. Mumpung bapak masih berkuasa, isteri, anak, keponakan, bahkan kerabat lainnya turut serta terjun kekancah perpolitikan. Sebab, dalam Islam kepemimpinan adalah amanah, tanggungjawab yang sangat berat karena harus mempertanggungjawabkannya kelak dihadapan Allah Swt. 


Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,


Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari, Muslim)


Seorang pemimpin diangkat karena memenuhi syarat in'iqad, muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Pemimpin yang dipilih harus benar-benar menjalankan amanah rakyat dengan mengerahkan segala kemampuan sesuai dengan tuntunan syarak dan tidak boleh berada di bawah tekanan (tidak di setir) oleh oknum atau pihak tertentu dalam memutuskan perkara. Bukan karena memiliki popularitas, kaya atau memiliki darah keturunan pejabat/pengusaha. Karena hal ini jelas tertolak di dalam sistem Islam. 


Demikian, segenap kriteria memilih pemimpin dalam Islam. Tidak berbelit-belit dan berbiaya murah. Karena, mengurusi urusan umat jauh lebih utama ketimbang mengurusi kepentingan segelintir kelompok yang menjerumuskan penguasa pada dosa. 


Wallahualam bissawab [Dara]