Alt Title

BEBAN HIDUP SEMAKIN BERAT, CERAI MENJADI SOLUSI SINGKAT

BEBAN HIDUP SEMAKIN BERAT, CERAI MENJADI SOLUSI SINGKAT


Kasus Perceraian Terus Meningkat


Butuh Analisis Mendalam dan Solusi Jitu dalam Menyelesaikannya 


Penulis Ruri Retianty

Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah 


kuntumcahaya.blogspot.com - Sematan kalimat "sakinah, mawadah, warahmah" merupakan impian setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang baru menikah. Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia sampai akhir hayat, dan memiliki keturunan yang saleh dan salehah. 


Namun, sematan yang diimpikan oleh semua pasangan suami istri tersebut sulit terwujud. Saat ini banyak pasangan suami istri mengalami kesulitan dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Sehingga tidak sedikit rumah tangga yang mereka bina putus di tengah jalan sampai harus mengambil langkah perceraian. 


Kondisi tersebut dapat diketahui dari data yang disampaikan Pengadilan Agama Kabupaten Bandung. Menurut Humas PA Soreang Kabupaten Bandung Samsul Zakaria, ada sekitar 8.135 kasus perceraian. Jumlah tersebut terdiri atas 6.388 perkara cerai gugat dan 1.747 perkara cerai talak. Penyebabnya didominasi masalah perekonomian. Bahkan sekitar 80 persen dari seluruh kasus perceraian ternyata diajukan oleh pihak istri. 


Menurut Samsul, dari semua total kasus perceraian (8.135) yang ditangani PA Soreang, tidak bisa disimpulkan apakah jumlah tersebut banyak atau sedikit. Alasannya, diperlukan pembanding yang tepat, mengingat jumlah penduduk Kabupaten Bandung mencapai sekitar 3.6 juta jiwa. (PikiranRakyat[dot]com, Rabu, 18/01/2023)


Memang banyak atau sedikitnya kasus perceraian itu relatif tergantung pembandingnya. Yang pasti perceraian yang terjadi saat ini jumlahnya semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Selain masalah tekanan ekonomi, juga sulitnya para laki-laki (suami) untuk mendapatkan pekerjaan. Hal itu menyebabkan mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Kemudian pihak istrilah yang mengambil peran pencari nafkah. Hal tersebut justru menimbulkan polemik yang menjerumuskan pada perceraian. 


Hal tersebut terjadi karena sistem yang diterapkan oleh negara saat ini, yaitu sistem kapitalis sekuler, mengabaikan agama dari urusan rakyat. Negara menjadi tak berfungsi sebagai pelayan umat dan tidak bisa menangani permasalahan mereka berupa terpenuhinya hak primer dan sekunder. Termasuk ketersediaan lapangan kerja dengan upah yang pantas untuk rakyatnya.


Ditambah lagi, tidak adanya pendidikan dan pembinaan berbasis akidah Islam untuk masyarakat secara umum dan khususnya pasangan suami istri. Padahal, pendidikan ini akan membantu dan membentuk keluarga Muslim yang paham hak dan tanggung jawab masing-masing pasangan.


Sayangnya, sekularisme telah menggerus makna hak dan tanggung jawab pernikahan. Suami tidak berfungsi sebagai pencari nafkah. Saat istri merasa bisa mencari uang sendiri, dia merasa tidak butuh suami sehingga melakukan gugat cerai. Kasus ini semakin meningkat seiring dengan kondisi perekonomian negara yang kian terpuruk.

 

Juga tidak adanya penjagaan berlapis berupa hukum-hukum perlindungan keutuhan keluarga yang mestinya dijalankan oleh berbagai pihak. Mulai dari pasangan suami istri itu sendiri, masyarakat dan negara. 


Dalam Islam, hubungan suami istri diatur sedemikian rinci. Melalui seperangkat hukumnya yang diterapkan akan menjadikan keluarga sebagai benteng yang kokoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pemimpin negara berfungsi memperhatikan keberlangsungan hidup umatnya. Sabda Rasulullah saw.:


"Imam (pemimpin) adalah pengurus/penggembala. Dan ia akan dimintai pertangungjawabannya atas apa yang diurusnya." (HR. Al-Bukhari) 

 

Negara akan memastikan setiap suami atau wali mampu memberi nafkah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 233 dan An-Nisa ayat 34. Negara menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki melalui proyek padat karya. Selain itu negara memberikan pendidikan dan pelatihan kerja bahkan  memberikan bantuan modal. 


Negara juga akan menyediakan pendidikan, agar suami istri paham bahwa pergaulan di antara mereka adalah persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan  ketenteraman dan ketenangan, masing-masing menjalankan kewajibannya. Sehingga dapat mengeliminisasi kasus KDRT, penelantaran keluarga dan sebagainya.

   

Negara pun akan menyediakan kecukupan kebutuhan keluarga. Penyediaan rumah layak dengan harga terjangkau, pakaian hingga pangan yang cukup dan murah. Negara juga akan menyediakan sarana pendidikan, transportasi, komunikasi, kesehatan, dan sarana publik lainnya sehingga meringankan keluarga. 


Perceraian memang dibolehkan dalam Islam, apabila sudah tidak ada jalan lagi dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga dan membahayakan serta mengancam jiwa anggota keluarga dan sekitarnya. Butuh kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan hubungan rumah tangga. 


Maka suatu keniscayaan, keluarga yang menyandang label sakinah, mawadah, warahmah akan terwujud sempurna manakala Islam dan institusinya tegak di tengah umat. Ini tentu butuh perjuangan seluruh kaum Muslim, tak bisa dilakukan hanya oleh individu atau beberapa kelmpok saja yang sadar pentingnya penerapan Islam secara totalitas. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.