Alt Title

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Saatnya Kembali pada Islam

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Saatnya Kembali pada Islam



Kekerasan dalam rumah tangga dan perilaku remaja hari ini bukan sekadar masalah individu

melainkan buah dari sistem kehidupan yang salah arah

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Gelombang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan meningkatnya kasus kekerasan remaja tengah menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Data GoodStats (September 2025) mencatat jumlah kasus KDRT di Indonesia telah mencapai lebih dari 10 ribu perkara hanya dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Ironisnya, di saat orang tua sibuk menyelesaikan konflik rumah tangga, anak-anak justru terjebak dalam arus kekerasan baru di lingkungan sosialnya.


Kasus memilukan datang dari Malang, Jawa Timur, ketika seorang suami membakar dan mengubur istri sirinya di kebun tebu. Di sisi lain, seorang remaja berusia 16 tahun di Jakarta tega membacok neneknya hanya karena tak terima disebut cucu pungut. Kekerasan yang dilakukan oleh maupun terhadap remaja kini kian brutal dan tak lagi mengenal batas usia. (kompas.com, 18-10-2025)


Fenomena ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga Indonesia sedang rapuh. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat menumbuhkan kasih sayang dan nilai moral, justru berubah menjadi ruang penuh tekanan, kemarahan, dan luka batin. Akibatnya, generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang keras dan kehilangan arah. Tidak mengherankan jika banyak remaja hari ini menyalurkan emosi dengan kekerasan, baik di sekolah maupun di jalanan.


Sayangnya, hukum positif seperti UU PKDRT belum mampu menyentuh akar persoalan. Penegakan hukum memang menghukum pelaku, tetapi tidak mengubah sistem sosial yang melahirkan kekerasan itu sendiri.


Sekularisme dan Krisis Nilai


Lantas, apa akar masalah semua itu?


Akar dari semua ini adalah sekularisme—ide yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Ketika nilai takwa tidak lagi menjadi landasan, rumah tangga kehilangan kendali moral. Hubungan suami-istri dipandang hanya dari sisi hak dan kewajiban materi, bukan sebagai ibadah. Anak-anak pun dibesarkan tanpa arah spiritual, menjadikan mereka mudah terjerumus dalam perilaku agresif.


Pendidikan sekuler-liberal menanamkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik. Slogan “bebas berekspresi” sering disalahartikan sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab. Akibatnya, anak merasa boleh melakukan apa pun demi kepuasan diri, sementara orang tua kehilangan otoritas dalam mendidik dengan nilai agama.


Sementara itu, materialisme menjadikan kebahagiaan diukur dari harta dan gaya hidup. Tekanan ekonomi, tuntutan sosial, dan keinginan hidup mewah menimbulkan stres yang berujung pada konflik rumah tangga. Negara pun cenderung abai—hanya berperan sebagai “penonton” yang menindak setelah tragedi terjadi. Tidak ada sistem yang membina keluarga secara utuh sejak awal.


Islam Solusi Menyeluruh


Berbeda dengan sistem hari ini, Islam di bawah kepemimpinan Khil4fah memiliki solusi yang menyeluruh dan sistemik terhadap problem kekerasan ini.


1. Pendidikan Islam sebagai fondasi moral

  

Sejak kecil anak dididik untuk bertakwa, menghormati orang tua, dan menjauhi kekerasan. Pendidikan bukan sekadar mengejar nilai duniawi, tetapi membentuk kepribadian berakhlak mulia. Negara memastikan kurikulum pendidikan berlandaskan akidah Islam, bukan nilai sekuler.


2. Keluarga dibangun atas dasar syariat

 

Islam menata peran suami dan istri dengan jelas. Suami sebagai qawwam (pemimpin) wajib menafkahi dan melindungi keluarga dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan. Istri dihormati serta dilindungi hak-haknya. Hubungan suami-istri bukan arena perebutan kuasa, melainkan kerja sama menuju rida Allah.


3. Negara sebagai pelindung (raa‘in)

 

Dalam sistem Islam, negara tidak membiarkan rakyatnya tertekan secara ekonomi. Khalifah memastikan lapangan kerja terbuka, harga stabil, dan kebutuhan dasar rakyat tercukupi. Dengan kesejahteraan yang terjamin, stres keluarga berkurang sehingga potensi kekerasan pun menurun drastis.


4. Penegakan hukum syariat yang menjerakan

 

Islam menegakkan sanksi (hudud dan takzir) yang bersifat mendidik dan menjerakan. Pelaku kekerasan terhadap istri, anak, atau sesama akan dihukum sesuai syariat, bukan sekadar dipenjara. Hukuman ini tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga mengembalikan keadilan dan ketertiban masyarakat.


Khatimah

 

Kekerasan dalam rumah tangga dan perilaku remaja hari ini bukan sekadar masalah individu, melainkan buah dari sistem kehidupan yang salah arah. Selama sekularisme tetap dijadikan fondasi, selama itu pula kekerasan akan terus berulang dalam berbagai wajah.


Islam menawarkan solusi yang bukan hanya menindak pelaku, tetapi juga mencegah sejak akar persoalan melalui akidah, pendidikan, kesejahteraan, serta hukum yang berpihak pada keadilan sejati.


Sudah saatnya umat membuka mata, bahwa penyelesaian masalah sosial tidak cukup hanya dengan undang-undang, tetapi dengan kembali kepada sistem kehidupan Islam. Hanya di bawah naungan Khil4fah, keluarga dan generasi akan benar-benar terlindungi, bukan dengan slogan, melainkan dengan sistem yang memuliakan manusia. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


Nur Saleha, S.Pd