Alt Title

Gen Z dan Luka Demokrasi: Dari Jalanan, Kami Belajar Arti Keadilan

Gen Z dan Luka Demokrasi: Dari Jalanan, Kami Belajar Arti Keadilan




Saat ini gen Z mulai menyadari bahwa ada ketidakadilan dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan keamanan

mereka mulai memberanikan diri untuk menuntut keadilan tersebut

_________________________

 

KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA- Fenomena kriminalisasi terhadap anak muda yang terlibat dalam aksi unjuk rasa menunjukkan betapa makin sempitnya ruang demokrasi di negeri ini. Dahulu, ketika ada masa yang bersuara maka akan dianggap sebagai keberanian. Namun, keberanian itu kini justru diganjar dengan label "anarkis."


Dilansir dari kompas.com, 26-9-2025 Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Syahardiantono mengumumkan hasil penindakan hukum terhadap kerusuhan saat demonstrasi 25 Agustus-31 Agustus 2025 di berbagai daerah di Indonesia: ada sebanyak 295 anak ditetapkan sebagai tersangka dalam kerusuhan dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA.


Padahal banyak dari mereka hanya ikut menyuarakan keresahan sosial yang selama ini tak terjawab oleh pemerintah. Mereka pun bukanlah musuh negara; mereka hanya sedang belajar memahami arti dari keadilan yang menjadi sila ke-5 Pancasila, dan dengan turun ke jalan adalah cara mereka untuk menagihnya.


Oleh karena itu, kritik terhadap kebijakan dan ketidakadilan sosial yang terjadi saat ini adalah bagian dari ekspresi politik yang seharusnya dilindungi, bukan ditekan dengan ancaman hukum. Jadi, ketika Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) memperingatkan adanya pelanggaran hak anak dan intimidasi selama proses hukum. Hal itu seharusnya menjadi pertanda bagi kita semua, bahwa memang ada yang salah dalam cara negara menanggapi kesadaran politik generasi muda saat ini.


Dalam hal ini, generasi Z sedang bertumbuh dengan mata yang terbuka lebar, mereka mulai melek terhadap situasi sosial dan politik. Begitu mereka melihat ketimpangan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terus berulang tanpa adanya solusi nyata—mereka mencatat semuanya dan menolak untuk diam ketika menyaksikannya secara langsung.


Mirisnya, ketika suara mereka mulai terdengar, negara justru menstigmatisasi mereka sebagai pelaku anarkisme. Karena sistem yang sedang mereka lawan terlalu lihai dalam mengatur narasi—yaitu mengubah kesadaran menjadi ancaman, lalu menamainya sebagai kerusuhan.


Inilah wajah demokrasi-kapitalisme hari ini: hanya memberi ruang pada yang seirama, lalu menutup pintu bagi yang bertanya "mengapa."


Dengan demikian, sistem demokrasi kapitalistik yang berlaku saat ini memang hanya memberi ruang bagi suara yang sejalan dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal. Pun, kritik yang mengganggu status quo dianggap ancaman. Padahal pemuda adalah tulang punggung perubahan—mereka adalah masa depan peradaban. Lantas, jika kesadaran politik pemuda-pemudi terus dibungkam, siapa lagi yang akan berani menegakkan kebenaran di masa depan?


Sementara itu, dalam sejarahnya, perubahan selalu lahir dari keberanian untuk menggugat. Dalam Islam pun diajarkan tentang sesuatu yang lebih tinggi daripada sekadar protes, yaitu amar makruf nahi mungkar yang berarti taat pada kewajiban, salah satunya mengoreksi penguasa yang zalim. Ketahuilah jika kesadaran politik dalam Islam bukan sekadar luapan emosi semata, tetapi bagian dari tanggung jawab keimanan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla:


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.“ (QS. Ali Imran (3): 104)


Untuk itu, sistem Khil4fah menumbuhkan kesadaran politik yang tidak lahir dari amarah, melainkan dari akidah, yang juga mendidik generasi muda untuk berpikir kritis dan berani karena Allah sehingga mereka memahami bahwa perjuangan sejati adalah menegakkan keadilan yang berlandaskan syariat, bukan hanya menuntut perubahan yang semu.


Sebagai kesimpulan, generasi Z seharusnya diarahkan. Karena dari mereka, kelak lahir pemuda yang berani berkata benar di hadapan kekuasaan yang menindas. Bukan hanya menolak ketidakadilan, tetapi memperjuangkan sistem yang mampu menghapus akar ketidakadilan itu sendiri. Di sanalah, perubahan hakiki akan bermula. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]


Haifa Manar