Alt Title

Budaya Patriarki Tumbuhkan Generasi Tanpa Ayah

Budaya Patriarki Tumbuhkan Generasi Tanpa Ayah



Fenomena fatherless saat ini sebenarnya bukanlah tren baru

di kalangan keluarga Indonesia pada khususnya


_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Indonesia adalah salah satu negara dengan budaya patriarki yang cukup kental di masyarakat. Sebuah kondisi yang dianggap lazim ketika seorang ayah menyerahkan semua urusan domestik rumah tangganya di tangan istri sebagai ibu rumah tangga, dan ayah mendudukkan dirinya sebagai pencari nafkah saja.


Perempuan dituntut untuk menangani setiap permasalahan dalam internal rumahnya baik dari kebersihannya, tata letak perabotan atau interiornya, makanan yang disajikan, pakaian yang disediakan, bahkan menyoal urusan anak. 


Budaya Patriarki di Indonesia


Seorang ibu diberikan tanggung jawab penuh atas perawatan dan pendidikan anak tanpa ada campur tangan ayah, bahkan hanya sekedar menemani bermain atau belajar. Kondisi tersebut mengakibatkan rawan terjadinya kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekat yakni ibu, ketika tubuh dan otaknya sudah merasakan kelelahan menghadapi pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Karena ibulah yang bangun paling awal, meski tidurnya yang paling akhir, hanya untuk memastikan seluruh anggota keluarga dalam kondisi yang baik.


Fenomena fatherless saat ini sebenarnya bukanlah trend  baru di kalangan keluarga Indonesia pada khususnya. Memang tidak semua karena budaya patriarki yang sudah mendarah daging di masyarakat, penyebab lain juga ditemukan akibat meninggalnya seorang ayah, perceraian orang tua, tuntutan ekonomi yang membuat ayah harus bekerja tanpa kenal waktu agar bisa menjangkau harga komoditas yang melambung tinggi.


Selain ayah telah lelah bekerja dan kehilangan waktu yang berkualitas bersama keluarganya, seorang ayah terkadang lebih memilih menggunakan waktu kosongnya untuk me time dengan hobinya, dari pada merasakan riweuh dengan kondisi rumah. Terlebih ketika anak-anaknya masih balita dengan segudang proyeknya.


Fatherless di mata para ahli cukup mendapatkan perhatian karena dampak yang ditimbulkannya. Anak tanpa kehadiran peran Ayah cenderung mempunyai perasaan tidak nyaman jika berada di lingkungan yang baru, munculnya gangguan kecemasan, kesedihan berkepanjangan dan juga sulitnya mengelola emosi sehingga mengakibatkan kepercayaan dirinya pun menurun. Sungguh kondisi yang tidak ideal dengan perkembangan jaman yang menuntut generasi muda untuk tampil terdepan dalam teknologi dan inovasi seperti saat ini. (Halodoc.com, 30-09-2025)


Peran Ayah dalam Islam


Al-ummu madrasatul ula wa abu mudhiruha. Islam memandang peran orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak bukan pada ayah saja atau ibu saja, tetapi keduanya mendapatkan hak dan kewajiban yang sama meski terkadang porsinya berbeda. Ibu sebagai madrasatul ula atau sekolah pertama anak mempunyai peran dalam mengandung, menyusui, mengajarkan bicara dan bersikap.


Menyuburkan kasih sayang pada anak yang hal tersebut tentu tidak bisa digantikan oleh ayah, karena ibu hampir 24jam bersama anak. Begitu juga dengan memberikan pengajaran tentang filosofi kehidupan yang terkait dengan naluri mempertahankan kehidupan untuk bisa survive di masa yang akan datang, hal tersebut adalah peran utama ayah sebagai mudhir atau kepala sekolah dalam rumah tangga. Perannya tidak bisa digantikan oleh ibu, karena ayah lebih mengetahui apa-apa yang terjadi di luar rumah mereka. 


Jika orang tua bisa bersinergi dengan baik maka generasi terbaik pun akan terwujud, Muhammad Al-Fatih misalnya pemuda yang namanya termahsyur karena kiprahnya dalam menaklukkan Konstantinopel  itu. Sejak di dalam kandungan, ibunya senantiasa melantunkan ayat Al-Qur'an, mendengarkan syair-syair bisyarah Rasulullah tentang penaklukan konstantinopel.


Sounding bahwa “Sebaik-baik pemimpin adalah yang menaklukkan Konstantinopel, dan sebaik-baik pasukan adalah yang dipimpinnya” menjadikan balita Muhammad Al-Fatih siap untuk ditempa dengan berbagi pengajaran oleh gurunya, Syeikh Syamsudin.


Sebuah cambuk dihadiahkan kepada sang guru oleh Sultan Murad II untuk mendidik putranya. Dari ayah yang saleh dan ibu yang salihah, atas dasar ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya, Hafalan Al-Qur'annya selesai disaat dia berumur 8 tahun, umur 9 tahun sudah cakap dalam menggunakan beberapa jenis senjata dan ilmu bela diri, menguasai 6 bahasa, umur 11 tahun menjabat sebagai Gubernur Amasya, dan umur 21 tahun telah berhasil memimpin pasukan dengan taktik perang yang luar biasa yakni menarik kapal-kapal perang menaiki gunung Galata yang berada di kawasan Konstantinopel.


Kisah-kisah inspiratif seperti ini harusnya memotivasi orang tua untuk melahirkan generasi terbaik penakluk Roma, sebuah bisyarah atau kabar gembira yang belum tercapai sampai saat ini. Untuk menjawab itu perlu kesadaran kaum muslim terkhusus para ayah bahwa janji Allah adalah benar dan bisyarah Rasulullah juga benar, Islam sebagai the way of life akan menuntut para orang tua menyiapkan generasinya sebagai penjemput izzul izzah wal muslimin atau kemuliaan Islam dan kaum muslim. Wallahualam bissawwab. [GSM/MKC]


Yuli Mariyam