Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 14)

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 14)

 


"Semoga, suatu saat nanti, negeri ini akan kembali ke pangkuan Islam," kata Yusuf, untuk menghapus kemarahan di wajah Umar

______________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - "Masyaallah, benarkah ini Istanbul? Mimpikah?" teriak Umar sambil memukul-mukul pipinya, seakan tak percaya.


"Ini, nyata. Antum sampai di Istanbul," timpal Yusuf sambil tersenyum.


"Ya, Rabb ... puji syukur kepada-Mu, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di rumah nenek moyangku, rumah besar kaum muslimin."


Yusuf dan Umar sampai di Bandara Istanbul setelah menempuh perjalanan panjang. Mereka menumpang pesawat Emirates, dan transit dulu di Dubai sebelum melanjutkan ke Istanbul. Sebetulnya, mereka ingin berjalan-jalan di Dubai, yang katanya negeri terkaya, tapi sayang waktu tidak memungkinkan keluar bandara. 


"Hos geldiniz," tiba-tiba seseorang menyapa mereka dengan ramah.


"Hos bulduk," jawab Yusuf.


Umar yang memperhatikan percakapan mereka, terlihat kebingungan.


"Kamu ngomong apa dan siapa mereka?"


"Itu bahasa Turki, yang artinya selamat datang, dan aku jawab 'senang kita bertemu'. Panjang ceritanya, nanti aku ceritakan kalau sudah sampai," jawab Yusuf.


Orang itu membawa mereka menuju mobil yang sudah terparkir, dan mengantarkan mereka menuju penginapan. Walaupun masih bingung, tetapi Umar mengikuti Yusuf tanpa banyak tanya.


Menjelang magrib, akhirnya mereka tiba di tempat yang dituju. Keluar dari mobil beberapa orang yang berpakaian rapi sudah menunggu.


"Selamat datang di Grand Belish, tuan muda." Orang yang menggunakan jas memberi hormat kepada Yusuf.


Grand Belish Beach Resort dan Spa All Inclusive, hotel bintang lima yang terletak di Kusadasi. Hotel ini berada di tepi laut di pesisir Aregea. Sehingga bagi yang menginap bisa menyaksikan keindahan laut dari balkon. Sungguh memesona.


"Tesekkur ederim," jawab Yusuf singkat. Yusuf tidak menyangka penyambutan terhadap dirinya begitu luar biasa. Padahal, baru kali ini ia menginjakkan kaki lagi di negeri kelahirannya itu.


Jauh-jauh hari, sebelum Yusuf berangkat, ia sudah berkomunikasi dengan Ravza, bahwa ia akan berkunjung ke Istanbul, sekaligus ingin mengetahui aset-aset yang dimilikinya sebagai pewaris tunggal kakeknya. Tapi, ia tidak menyangka akan mendapatkan penyambutan seperti ini.


Umar seperti kerbau dicocok hidungnya, mengikuti kemana Yusuf pergi. Sejuta tanya menggelayut dalam hati.


"Mari, saya bawakan barang-barangnya. Tuan dan temannya bisa istirahat di kamar yang sudah disiapkan."


Sesampainya di kamar ...


"Ya, Rabb ... indah nian pemandangan dari sini. Memandang langsung ke laut, apalagi sore hari menjelang matahari terbenam. Bak kata mutiara, matahari terbenam hanyalah sedikit pemandangan dari jalan emas di surga." Kata-kata itu pernah ia baca, tapi entah di mana.


Yusuf yang melihat tingkah Umar, tersenyum sambil merebahkan badannya di atas tempat tidur. Perjalanan panjang terbayar dengan kedatangan di tempat ini.


"Boleh aku bertanya sesuatu. Sejak di bandara sampai di sini penyambutan terhadap kamu begitu luar biasa, siapa kamu sebenarnya?" tanya Umar penasaran.


Panjang ceritanya. Yusuf pun menceritakan kisah hidupnya dari mulai A sampai Z.


"Masyaallah, ternyata kamu asli Turki dan pewaris satu-satunya dari kakekmu. Terus, ibumu sekarang di mana?"


"Entahlah, aku juga belum menelusuri keberadaannya, yang pasti ada di sini."


"Kamu enggak punya gambaran atau info tentang ibumu, atau foto mungkin?"


"Entahlah, wajahnya pun aku lupa."


"Insyaallah, pasti kalian dipertemukan kembali. Berdoa semoga ibumu sehat-sehat saja." Umar memberi semangat dan membesarkan hati Yusuf.


"Aamiin."


"Ayo, kita makan malam, perutku sudah keroncongan," ajak Yusuf.


Umar lagi-lagi tercengang dengan penyediaan makanan yang sungguh mewah. 


"Suf, lihat di dinding, mengganggu selera makan aja. Kenapa sih, harus dipajang? Jelas-jelas dialah yang telah meruntuhkan kekhilafahan Islam," kata Umar.


"Oh, itu. Dia kan dikenal sebagai bapak pembaharu Turki. Sebelum aku masuk Islam, aku sama dengan pemahaman masyarakat Turki, bahwa dia yang telah membawa Turki menuju kehidupan sekuler, yang serba bebas dari kehidupan Islam yang dipandang sebagai fanatik. Hampir di setiap tempat umum atau rumah makan akan terlihat fotonya, mengalahkan presidennya saat ini," Yusuf menjelaskan.


"Ya, dialah, Mustafa Kemal Attaturk, dengan kekuatan diktatornya dan dibantu Inggris berhasil meruntuhkan kekhilafahan Islam dan membagi kesatuan umat menjadi 50 negeri-negeri kecil tanpa kekuatan. Mustafa Kemal mengusir Khalifah Abdul Majid keluar dari Istana dengan hanya membawa satu koper berisi beberapa lembar pakaian dan sedikit uang. Mustafa Kemal berhasil mewujudkan mimpi kaum kafir, yang menjadi senda gurau mereka sejak perang salib dan mendirikan negara kapitalis sekuler. Pada tanggal 3 Maret 1924, akhirnya kekhilafahan Islam terakhir di Istanbul berakhir. Sejak itu, umat Islam hidup dalam kubangan penderitaan dan kesengsaraan yang dirasakan sampat saat ini. Umat tidak lagi memiliki perisai, yang akan melindungi dari keganasan dan kepongahan kafir penjajah."


Kata-kata itu meluncur ringan dari mulut Umar, terlihat wajahnya menahan marah. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, takut pembicaraannya didengar orang. Alhamdulillah, belum banyak orang yang datang untuk makan.


"Semoga, suatu saat nanti, negeri ini akan kembali ke pangkuan Islam," kata Yusuf, untuk menghapus kemarahan di wajah Umar.


"Insyaallah, fajar kemenangan Islam itu akan segera terbit. Khilafah yang merupakan janji Allah dan bisyarahnya Rasulullah akan segera terwujud, tidak lama lagi," ucap Umar dengan berapi-api. [SJ] 


Bersambung.