Alt Title

Demokrasi, Tak Punya Daya Wujudkan Iklim Anti Korupsi

Demokrasi, Tak Punya Daya Wujudkan Iklim Anti Korupsi

Dalam Islam sangat jelas bahwa harta penguasa atau pejabat harus jelas, berapa harta yang dimiliki sebelum menjabat

Setiap pertambahan harta saat menjabat harus dapat dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dengan sah

_______________________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Negeri ini adalah surga bagi koruptor. Entah mengapa, menjadi maling uang negara sudah menjadi kebiasaan yang tidak lagi menakutkan. Sehingga tindakan haram korupsi makin merajalela. Untuk itu masyarakat perlu bersiap. Tampaknya harapan untuk mewujudkan iklim anti korupsi merupakan harapan kosong. Bahkan dapat dikatakan mustahil.


Kondisi ini dibuktikan dengan merebaknya kasus korupsi yang cukup mencengangkan. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun, yaitu tahun 2003 hingga 2023 telah menangkap lebih dari 1600 maling uang rakyat. Setidaknya ada 513 tersangka yang ditangkap dan ditahan dalam tiga tahun terakhir. (10/11/2023)


Korupsi tentu saja menimbulkan kerugian finansial bagi negara. Sepanjang tahun 2022, kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung, mencapai kerugian total sebesar 144 triliun. Kerugian itu telah dihitung oleh para ahli yang kompeten di bidangnya. (Kompas, 08/11/ 2023)


Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, namun amat fantastis. Dengan uang itu, berapa sekolah, puskesmas, jalan dan sarana umum lainnya yang dapat dibangun? Di tengah-tengah mendesaknya keperluan dana guna biaya pembangunan, korupsi jelas menghambat.


Mengapa Orang Korupsi?


Setidaknya ada dua faktor utama seseorang melakukan korupsi yaitu faktor kultural dan sistem. Kultural berkaitan dengan karakter individu, terutama berkaitan dengan rasa malu dan pengendalian diri. 


Sementara faktor kedua akibat lemahnya sistem, diantaranya sistem penggajian. Birokrat yang gajinya kecil, misalnya pegawai golongan I dan prajurit setingkat sersan yang gajinya masih di bawah upah minimum regional.


Agar tetap bisa menghidupi keluarga sangat mudah terdorong untuk korupsi. Ini biasanya terwujud di kalangan pegawai rendahan. Lantas apakah mereka yang tergolong tinggi tidak terangsang korupsi? Ternyata tidak. Korupsi justru banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. 


Berbagai kasus korupsi yang terkuak, terlihat pihak yang terlibat korupsi makin luas dan beragam, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, politisi parpol dan aparatur di semua jenjang. Parpol yang seharusnya menjadi salah satu pilar pemberantasan korupsi, saat ini justru tidak ada satu parpol pun yang bebas dari kasus korupsi.


Situasi yang ada menjelaskan bahwa, sistem yang diterapkan sangatlah berpengaruh terhadap maraknya kasus korupsi. Tidak terkecuali di negeri ini. Apalagi sistem demokrasi yang menaungi negeri ini, memang berpola untuk menyuburkan tindak korupsi.


Rantai Melingkar yang Tak Mudah Putus


Jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hanyalah simbol semata. Faktanya, sistem demokrasi merupakan sistem padat modal. Dalam sebuah perjalanan politik memerlukan modal besar untuk bisa sampai di kursi tujuan. 


Sementara sumber dana bisa diperoleh dari dana sendiri atau pemilik modal. Dengan proses politik, kekuasaan diraih, setelah berkuasa berpikir bagaimana mengembalikan modal yang telah ditanam para pemilik modal sekaligus memberi keuntungan. Pemupukan modal juga terus dilakukan untuk proses politik berikutnya. Jadilah siklus money making power, power making money terus bergulir. 


Di sanalah persekongkolan politisi, penguasa dengan pemodal dimulai, dan korupsi dalam berbagai bentuk dan modusnya mewarnai aktivitas politik. Maka sistem demokrasi sebagai biang korupsi bukan sekadar tuduhan. Namun telah menjadi fakta tak terbantahkan.


Menjelang Pemilu 2024, diperkirakan skala korupsi akan meningkat. Untuk dapat mendulang suara pemilih, promosi pencalonan diri dipromosikan secara profesional. Misalnya dengan memasang iklan secara besar-besaran. Tidak ketinggalan pula sedikit tips bagi calon pemilih untuk menggiring suara mereka.


Biaya yang sangat besar, biasanya bersumber dari rente dengan memperdagangkan kebijakan. Sementara parpol pun meminta jatah dengan memaksa kader partai mencari sumber dana. Maka korupsi dalam tubuh partai tak lagi bisa dicegah. Begitulah korupsi dalam sistem demokrasi bagai lingkaran setan yang terus membelenggu. 


Lembaga Pembuat Hukum Tak Punya Daya Lahirkan Hukuman Tegas


Pemberantasan korupsi menjadi makin payah, saat tidak ada hukum yang tegas. Seringkali keputusan hukum yang bergulir juga terkesan tebang pilih. Pembuktiannya hanya didasarkan bukti material. Padahal para koruptor pintar menyamarkan transaksi. Sehingga seringkali tidak terdeteksi. Sedangkan pembuktian terbalik, yang cukup efektif, justru dihindari.


Sistem peradilan bagi para koruptor kerap kali memutuskan vonis yang tak sepadan dengan banyaknya uang negara yang dicuri. Pengembalian uang hasil korupsi juga tak lagi diprioritaskan. 


Tentu saja hukum-hukum yang bersifat tegas dan memberikan efek jera tidak akan dibuat dan disahkan oleh DPR sebagai lembaga pembuat hukum. Yang ada justru semua didesain untuk memunculkan peluang korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diandalkan untuk memberantas korupsi justru perannya makin dilemahkan.


DPR juga merupakan lembaga yang menjadi sarang koruptor. Jika DPR merancang hukuman tegas bagi para koruptor sama saja menyeret leher ke tiang gantungan.


Sejatinya semua itu menjelaskan bahwa korupsi bukan sekadar masalah person melainkan juga masalah sistem. Demokrasi sebagai biang korupsi tentu tak akan punya daya memberantas korupsi. Justru sebaliknya korupsi akan makin tumbuh subur.


Selama sistem demokrasi yang selalu membuka peluang munculnya korupsi dan ideologi sekuler kapitalisme sebagai habitatnya tidak diganti, iklim anti korupsi akan sulit diwujudkan.


Islam Menjadi Solusi


Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme yang membuka lebar pintu-pintu korupsi, Islam justru menutup semua celah korupsi. Dalam sistem Islam, politisi dan Majelis Umat tidak membuat undang-undang, menentukan anggaran dan pengisian jabatan.


Majelis Umat hanya fokus melakukan koreksi terhadap kesesuaian kebijakan penguasa dengan syariat. Majelis Umat juga berhak menggunakan jalur Mahkamah Madhalim jika terdapat kebijakan penguasa tidak sesuai syariat. 


Penguasa daerah ditunjuk oleh Khalifah. Tetapi juga harus memperhatikan penerimaan masyarakat dan Majelis Wilayah. Khalifah juga bisa mengganti penguasa daerah bila masyarakat tidak menerima dan minta diganti. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Rasul saw. yang mengganti Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami sebagai gubernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya.


Masalah harta ghulul (harta yang diperoleh secara ilegal). Rasul saw. bersabda:


«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»


"Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR. Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)


Dalam Islam sangat jelas bahwa harta penguasa atau pejabat harus jelas. Berapa harta yang dimiliki sebelum menjabat. Setiap pertambahan harta saat menjabat harus dapat dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dengan sah.


Jika terbukti perolehan harta tidak sah, maka dilakukan penyitaan. Hal ini yang dinamakan pemiskinan koruptor. Para koruptor juga akan dikenai sanksi tegas berupa ta'zir yang putusannya diserahkan pada ijtihad Khalifah.


Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama. (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528). Wallahu alam bissawab. [SJ]