Alt Title

Road to 2024 (33): Pudarnya Pesona Presiden Jokowi atau Demokrasi?

Road to 2024 (33): Pudarnya Pesona Presiden Jokowi atau Demokrasi?

Kalau terpesona kepada sosok bisa saja relatif. Dahulu, merasa terpesona melihat sosok yang merakyat, blusukan, dan mengandung citra yang luar biasa. Kini, rasa itu berbeda dengan pandangan bahkan bisa menjadi yang paling benci dan memusuhi

Hal ini menunjukkan jika penilaian itu hanya berdasar pada perasaan. Maka, sangat mudah berubah sesuai perkembangan faktual. Sebaliknya dengan mengabaikan pemikiran jernih dan objektif penilaian menjadi subjektif

______________________________________


Penulis Hanif Kristianto

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Analis Politik-Media



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Tak sedikit yang menaruh kecewa atas keputusan radikal dengan mengubah aturan melalui MK. Aturan berkaitan dengan pencalonan si anak untuk menjadi cawapres di pemilu 2024. Publik menumpahkan kekecewaannya seolah pemimpin yang dahulu diusung mulai dari bawah ternyata sama saja dengan penguasa lainnya. Seolah ketika menduduki jabatan apapun bisa dikompromikan. Apalagi partai pengusung, PDIP memiliki clash of interest menentukan langkah politik ke depannya.


Di sisi lain, PSI (Partai Solidaritas Indonesia) sejak awal tegak lurus dengan Jokowi. Baliho besar-besar PSI dipasang dengan JOKOWISME, politik santun dan santuy adalah jalan ninja Kita, dan sederet kampanye yang membawa politik lebih fresh. Alhasil, PSI menjadi kendaraan baru dengan menempatkan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum. Artinya, Presiden Jokowi masih memiliki perahu politiknya.


Beberapa kalangan mengalami penurunan kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi. Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah lama terbuai kekuasaan merasa dirinya benar dan akan selalu mendapat dukungan. Hilang sensitifnya. Hal ini dinilai membuat Presiden Jokowi menjadi terkesan tak peduli pada kekecewaan publik.


Apakah ini menjadi tanda memudarnya pesona presiden Jokowi di ujung masa jabatannya?. Teringat di awal karir politiknya dari walikota hingga presiden menjadi cerita baru dan merubah mindset patron politik yang selama itu didominasi elit. Kehadiran presiden Jokowi menjadi harapan baru pada waktu itu. Kini, publik tak malu menumpahkan rasa kesalnya. Akankah ini akan meluas menjadi ketidakpercayaan publik kepada penguasa?


Pudarnya Pesona 


Kalau terpesona kepada sosok bisa saja relatif. Dahulu, merasa terpesona melihat sosok yang merakyat, blusukan, dan mengandung citra yang luar biasa. Kini, rasa itu berbeda dengan pandangan bahkan bisa menjadi yang paling benci dan memusuhi. Hal ini menunjukkan jika penilaian itu hanya berdasar pada perasaan. Maka, sangat mudah berubah sesuai perkembangan faktual. Sebaliknya dengan mengabaikan pemikiran jernih dan objektif penilaian menjadi subjektif.


Adanya peristiwa ini, hendaknya publik mulai berfikir dan bersikap. Benarkah cara selama ini menilai seorang pemimpin? Atau tidak menilai apa-apa dengan bersikap taat tanpa batas? Bahkan pemimpin salah masih diam dan membiarkan kebijakannya membuat kesengsaraan.


Kepudaran pesona Presiden Jokowi yang berimbas pada nuansa kebatinan rakyat bisa dianalisis sebagai berikut:


Pertama, pemahaman politik publik masih pada taraf yang terendah. Publik masih silau memandang citra seseorang. Padahal urusan politik itu kompleks dan tak bertumpu pada sosok. Sosok militer tak selalu diktator. Sosok sipil tak selalu  merakyat. Semua bergantung pada sistem politik yang diadopsi. 


Kedua, media yang membentuk citra yang mempengaruhi persepsi publik. Liberalisasi informasi yang massif sejak revolusi digital semua bisa dibentuk sesuai citra yang diinginkan. Orang biasa bisa menjadi luar biasa. Hal yang benar bisa jadi salah. Hal salah bisa jadi benar. Giliran di ujung terungkap motif sebenarnya maka pudarlah kepercayaan publik.


Ketiga, politik demokrasi kerap membikin kecewa. Di awal seolah baik dengan anggapan dari rakyat. Ujungnya yang dipercaya akhirnya menyelewengkan kekuasaannya. Seseorang yang digadang-gadang hadir sebagai penolong dan perubahan, nyatanya sama dengan pemimpin lainnya. Demokrasi kerap menutupi wajah asli sosok politisi. Bahkan bohong tak masalah dalam demokrasi terkait dengan perwujudan janji-janji politik.


Keempat, pandangan publik saat ini terhadap sosok yang dikagumi perlu dikoreksi. Pasalnya, sosok itu tidak berdiri sendiri. Terdapat kepribadian, cara berpikir, cara bertindak dan bersikap, sifat bawaan, hingga pedoman dasar yang selama ini menjadi pegangan. Nilai-nilai dasar ini penting karena yang akan dibawa ke tampuk kekuasaan.


Kelima, literasi publik terkait politik yang minim. Hal ini mengakibatkan rakyat sebagai objek yang seharusnya diurus kehidupannya menjadi komoditas politik. Rakyat hanya diatasnamakan tidak diutamakan.  Selain itu, perlu juga partisipasi publik untuk koreksi kepada penguasa jika ada kebijakan yang menyeleweng dan menzalimi rakyat. Semakin banyak suara publik di lini opini massa, ini akan menjadi perhatian penguasa. Sejatinya penguasa itu takut jika rakyat sudah tidak percaya. Karena kekuasaan itu lemah jika tidak ditopang oleh militer dan rakyat.


Alhasil dari analisis tersebut kini bisa dipahami memudarnya pesona tidak hanya pada presiden Jokowi, tapi juga pada demokrasi. Rakyat harusnya kembali mensetting ulang pemikirannya agar tidak mudah dibodohi dan dikelabui.


Mengokohkan Sosok dan Sistem Politik


Tidak semua sosok layak menjadi pemimpin dan penguasa. Hanya yang pantas dan memiliki niat ikhlas, serta caranya benar sesuai standar dari Allah dan Rasul-Nya, bisa menjadi idaman setiap insan. Mengokohkan sosok ini tidak tiba-tiba, tapi melalui proses pembinaan dan gladi bersih untuk menyiapkan menjadi pemimpin sejati. Kalau semua serba instan, biasanya mengecewakan.


Begitupun pilihan sistem politik. Banyak pilihan politik, seperti demokrasi, sosialis, dan Islam. Ketika mengomparasikan ketiganya masing-masing memiliki ciri dan karakternya. Politik demokrasi yang digadang menggantikan kediktatoran secara fisik nyatanya malah terbalik. Demokrasi kerap diktator secara konstitusi dan melukai hati nurani. Meski demikian, publik tak kapok untuk berkutat dalam lubang demokrasi. Seharusnya publik beralih ke sistem politik yang manusiawi, memuaskan akal, dan menenteramkan jiwa.


Nah, sistem politik Islam bisa menjadi pilihan jitu untuk kualitas hidup lebih bermutu. Politik Islam menghadirkan politik yang mengurusi urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri dengan syariah. Hukum yang tidak akan berubah melewati zaman dan tempat. Politik Islam menjaga agama dan mengurusi rakyat dengan sebenar-benarnya. Kehadiran politik Islam memberikan oase tersendiri yang tidak dimiliki politik lainnya.


Kepada publik inilah saatnya melek lagi politik. Terus mengamati setiap manuver politisi yang berusaha memanipulasi. Jangan sampai terkecoh dengan janji-janji manisnya. Tumpuan saat ini jangan hanya pada sosok, tapi pada sistem politik apa yang akan ditunaikan. Tetap fokus dan Waspada! Wallahualam bisssawab. [Dara]