Alt Title

Bagaimana Hukum Mengambil Lahan Orang Lain?

Bagaimana Hukum Mengambil Lahan Orang Lain?

Berkaitan dengan tanah yang ada di pulau Rempang Galang yang telah dihuni oleh penduduk setempat beratus-ratus tahun lamanya, dengan cara menghidupkan tanah yang mati maka mereka itu adalah pemilik yang sah secara syar'i

_______________________________


Bersama Ustazah Rif'ah Kholidah



KUNTUMCAHAYA.com, TSAQAFAH - Ustazah Rif'ah Kholidah dalam channel youtube Muslimah Media Center (MMC), menjelaskan bagaimana hukum mengambil lahan orang lain.


Konflik lahan atau tanah antara penguasa dengan rakyat belakangan ini marak terjadi. Bahwa konsorsium pembaharuan agraria atau KPA mencatat bahwa dalam waktu delapan tahun selama pemerintahan Joko Widodo, terdapat 2.710 konflik lahan di seluruh Indonesia dan 73 di antaranya merupakan konflik lahan.


Konflik lahan ini terjadi akibat Proyek Strategi Nasional atau PSN seperti konflik lahan pembangunan jalan tol Padang sampai Pekanbaru, konflik Bendungan Wadas di Kabupaten Purworejo, konflik Pulau Rempang Galang dan lain-lain.


Konflik Pulau Rempang ini terjadi berawal dari penolakan warga terhadap proyek Rempang eco city, di mana proyek ini akan membuat ribuan warga Rempang terancam kehilangan tempat tinggal yang sudah mereka huni secara turun menurun selama ratusan tahun yang lalu.


Dan mereka menolak keras janji manis pemerintahan terkait dengan penyediaan hunian tetap atau relokasi bagi masyarakat yang terdampak, atas nama Proyek Strategis Nasional atau PSN. Perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi dalih pembenaran bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan para oligarki.


Ustazah menjelaskan, dalam kasus Rempang ini penguasa berdalih bahwa warga tidak memiliki hak terhadap kepemilikan dan pemanfaatan lahan, karena tidak memiliki sertifikat tanah. Dengan alasan itulah maka sejak tahun 2001 pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan hak pengelolaan lahan atau HPL untuk perusahaan swasta.


HPL ini kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha (MEG), di mana dari kasus ini ada indikasi bahwa dalam menentukan kepemilikan lahan pemerintah menggunakan hukum kolonial Belanda yaitu domain faclaring yakni lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan secara otomatis beralih menjadi milik negara, dan negara berwenang untuk mengelola lahan tersebut termasuk menyerahkannya kepada asing atau swasta.


Ustazah juga memaparkan bahwa, Islam telah mengatur tentang kepemilikan lahan atau tanah dan bagaimana hukum mengambil lahan atau tanah milik orang lain. Pada dasarnya tanah atau lahan merupakan bagian dari alam semesta, yang telah diciptakan oleh Allah Swt.. Allah-lah sebagai pemilik yang hakiki atas lahan atau tanah tersebut.


Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 2, ”Milik-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 


Ayat di atas menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu, termasuk tanah atau lahan adalah milik Allah semata. Kemudian Allah sebagai pemilik sejati memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum Allah.


Sebagaimana dalam firmanNya surah Al-Hadid ayat 7, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.”


Ustazah menambahkan terkait dengan surah tersebut, Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan dalil asal usul kepemilikan atau al-ashlu milki adalah Allah Swt.. Dan manusia tidak punya hak kecuali memanfaatkan atau melakukan tasharuf dengan cara yang telah diridai oleh Allah Swt. maka atas dasar inilah tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah kecuali hanya dengan hukum Allah saja.


Ustazah menerangkan, syariat Islam telah menjelaskan hukum tentang tata cara memperoleh kepemilikan tanah. Syekh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya As-Siyasah al-Iqtishadi al-Mutsla halaman 56, menjelaskan cara-cara memperoleh kepemilikan tanah dengan cara di antaranya: 


Pertama, melakukan transaksi jual beli. Kedua dengan perolehan harta waris. Ketiga dengan adanya hibah atau pemberian. Keempat menghidupkan tanah yang mati.


Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw., "Siapa saja yang menghidupkan tanah yang mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)


Kelima, dengan cara memagari atau membuat batas-batas pada tanah yang mati seperti, menaruh bebatuan, memagari menaruh kayu balok, membuat tembok dan yang lainnya. Maka setiap sesuatu yang menunjukkan atas pembatasan tanah dan pemisahan dari yang lain dengan batas-batas tersebut maka itu dianggap memagari.


Rasulullah saw. bersabda dalam hadisnya, ”Siapa saja yang dibatasi tanah dengan dinding maka ia berhak atas tanah tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)


Keenam, dengan cara iqtha yaitu tanah yang diberikan oleh negara kepada individu secara gratis atau cuma-cuma, tanah ini adalah tanah yang sudah dihidupkan tetapi tidak ada pemiliknya. Dengan demikian, maka negaralah yang memilikinya dan negara boleh untuk memberikan kepada rakyatnya.


Sebagaimana Rasulullah memberikan tanah kepada Abu Bakar dengan cuma-cuma atau gratis. Iqtha ini adalah hukum yang mubah dengan dalil perbuatan Rasulullah saw.. 


Ustazah menerangkan bahwa cara-cara tersebut adalah cara-cara yang syar'I bagi seseorang untuk memiliki lahan atau tanah. Namun dengan syariat Islam juga mengingatkan kepada para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahan atau tanahnya selama 3 tahun. Karena penelantaran tanah atau lahan selama 3 tahun akan menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut.


Selanjutnya lahan tersebut akan diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijma sahabat pada masa Khalifah Umar Bin Khattab. Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab, “Barangsiapa yang mengabaikan tanah selama 3 tahun dan tidak dikelolanya lalu datang orang lain untuk mengelolanya maka tanah itu menjadi miliknya."


Ustazah mengungkapkan, berkaitan dengan tanah yang ada di pulau Rempang Galang yang telah dihuni oleh penduduk setempat beratus-ratus tahun lamanya, dengan cara menghidupkan tanah yang mati maka mereka itu adalah pemilik yang sah secara syar'i.


Ketiadaan sertifikat tidak boleh bagi negara bertindak semena-mena untuk mengambil lahan milik warga yang sudah turun-temurun mereka kelola dan mereka huni. Mengambil tanah atau lahan milik orang lain tanpa alasan yang syar'i adalah perbuatan gashab dan zalim yang diharamkan oleh Allah Swt..


Rasulullah saw. telah mengancam kepada para pelaku yang mengambil tanah milik orang lain dengan siksa yang pedih. Sebagaimana dalam hadisnya, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim maka Allah Swt. akan mengalungkan tujuh bumi pada dirinya." (HR. Muttafaq 'alaih)


"Tidak bisa membayangkan ketika orang itu mengambil tanah sejengkal saja kemudian siksanya berupa dikalungkan dengan tujuh bumi pada dirinya, apalagi kalau orang itu kemudian mengambil berhektar-hektar tanah bahkan ratusan hektar tanah kepada orang lain. Maka jelas siksaannya akan lebih pedih daripada itu," bebernya.


Sengketa lahan dan perampasan lahan tidak akan pernah tuntas selama tidak dikelola dengan hukum syariat Islam, hukum sekuler kapitalis yang diterapkan hari ini terus akan mengancam kepada para pemilik lahan. Sebaliknya penguasa lebih berpihak kepada para oligarki dan korporasi atas nama investasi. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah yang mampu memberikan perlindungan yang menyeluruh dan keadilan untuk semua umat manusia. Wallahualam bissawab. [Rosita]