Alt Title

Marak Kriminalitas, Umat Butuh Solusi Tuntas

Marak Kriminalitas, Umat Butuh Solusi Tuntas

 


Kemiskinan yang terus berlanjut dari waktu ke waktu ini bukan tanpa sebab. Ada dalang utama yang menjadi penyebabnya yang tak lain adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Bahkan gap ini harus terus diadakan agar sistem tersebut bisa tetap eksis. Walhasil, inilah yang akhirnya membuat masalah kemiskinan menjadi hal yang sulit diselesaikan.  

_________________________   


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Akhir-akhir ini, beragam kasus kriminalitas yang terjadi sungguh membuat kita geleng-geleng kepala. Sebut saja kasus kriminalitas di Jakarta sepanjang Senin (10/7) kemarin, mulai dari kasus pembunuhan yang terjadi di Jakarta Utara, kasus pemerasan Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) oleh oknum PNS kelurahan hingga kasus penganiayaan bersenjata tajam yang dilakukan oleh sekelompok pemuda terhadap seorang pria yang dipicu karena motif cemburu. Sementara itu dilansir dari situs Kumparan[dot]com (16/7) seorang pria berusia 43 tahun di Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim dibekuk polisi setelah menusuk tetangganya sendiri hingga tewas pada 10/7 lalu. Pembunuhan dilakukan lantaran korban memiliki hutang kepada pelaku namun enggan membayarnya. 


Kasus kriminal yang tak kalah miris juga terjadi baru-baru ini di Yogyakarta. Dilansir dari Tempo[dot]co (16/7), seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dibunuh secara keji oleh dua rekannya yang merupakan seorang karyawan restoran dan penjual kue. Jasadnya kemudian dimutilasi menjadi beberapa bagian dan dibuang di lima titik terpisah. Ironisnya, beberapa bulan sebelumnya tepatnya di Bulan Maret 2023, kasus mutilasi juga terjadi di provinsi yang sama dan melibatkan korban seorang ibu dua anak yang dibunuh lalu dimutilasi menjadi puluhan bagian. Pelaku yang mengaku memiliki hubungan asmara dengan korban nekat membunuh untuk mendapatkan harta korban guna melunasi pinjaman online pelaku dari tiga aplikasi sebesar Rp8 juta.


Di Tangerang, polisi juga berhasil menciduk tersangka pembunuhan dan mutilasi seorang pria yang dipicu karena cekcok. Sementara itu, di penghujung tahun lalu, polisi mengungkap pembunuhan yang diikuti mutilasi di sebuah apartemen Taman Rasuna, Jakarta. Motif dari tindak kejahatan ini karena pelaku ingin menguasai harta korban yang berupa apartemen dan tabungan. 


Rentetan-rentetan kriminalitas tersebut baru secuil kasus yang dipaparkan sosial media. Faktanya, tindak kriminalitas di Indonesia layaknya fenomena gunung es. Masih banyak kasus kriminalitas yang tak terungkap karena tak disorot media. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Apalagi, hal ini didukung dengan angka kejahatan yang semakin hari semakin meningkat. Data yang dilansir dari CNN[dot]com (31/12/22) memaparkan fakta mengejutkan dimana angka kriminalitas tahun 2022 naik 7,3 persen dari tahun lalu. Bahkan jika dirata-ratakan, 31,6 kejahatan terjadi setiap jamnya. Subhanallah!


Kasus kriminalitas yang makin lama makin mengerikan ini tentu membuat masyarakat resah. Mereka khawatir terhadap keselamatan harta, diri dan keluarganya. Jaminan keamanan yang menjadi hak tak didapat, hingga akhirnya masyarakat harus mengusahakan sendiri untuk melindungi apa yang mereka miliki. 


Jika ditelisik, realitas saat ini ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang serba sulit. Harga kebutuhan yang makin mencekik, mendorong masyarakat, mau tak mau, harus memutar otak untuk bisa tetap bertahan hidup. Beberapa terpaksa berhutang pada pinjol meski konsekuensinya pinjaman harus dikembalikan plus bunga yang tak sedikit. Mereka yang tak sanggup membayar sampai batas waktu tagihan akhirnya melakukan segala cara untuk bisa melunasi pinjaman dan lepas dari pinjol, termasuk menguasai harta orang lain. Beberapa lainnya memilih cara lebih instant dengan melakukan perbuatan kriminal seperti mencuri, merampok, dan lain sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 


Kemiskinan yang terus berlanjut dari waktu ke waktu ini bukan tanpa sebab. Ada dalang utama yang menjadi penyebabnya yang tak lain adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Bahkan gap ini harus terus diadakan agar sistem tersebut bisa tetap eksis. Walhasil, inilah yang akhirnya membuat masalah kemiskinan menjadi hal yang sulit diselesaikan.     


Ironisnya, bukan hanya miskin materi, masyarakat pun minim keimanan dan ketakwaan. Buktinya, hanya karena perkara-perkara sepele seperti utang, cekcok dan cemburu, seseorang bisa menghabisi nyawa orang lain, bahkan memutilasinya dengan tak manusiawi. Jangankan iman, rasa empati pada sesama pun seakan lenyap dari diri mereka. Tak heran, kondisi ini merupakan manifestasi dari sekulerisme yang berlaku saat ini. Kehidupan sekuler yang meminggirkan nilai agama, membuat orang tak takut dengan konsekuensi murka Allah dan siksa neraka. Tindakan dosa pun jadi suatu hal yang enteng saja dilakukan sekalipun merupakan tindakan yang terkategori dosa besar layaknya pembunuhan.


Selain faktor-faktor individu tersebut, lemahnya penegakan hukum juga turut berkontribusi mencetuskan ‘wabah’ tindak kriminal ini. Anekdot “Percuma Lapor Aparat” seolah mengamini buruknya pelayanan hukum oleh aparat keamanan. Proses hukum yang lama, berbelit bahkan berbiaya mahal menjadikan masyarakat enggan melapor dan membiarkan tindak kriminal yang terjadi lenyap begitu saja. Mereka memilih bungkam timbang nantinya menelan kekecewaan saat kasusnya tak juga diproses karena berbagai alasan. Hal ini akan berbeda cerita saat kalangan berduit dan berkuasa yang mengalami masalah. Aduan mereka akan diproses secara cepat tanpa proses rumit dan berbelit. 


Tindakan tebang pilih ini ternyata tak hanya terjadi pada proses pelaporan. Dalam pemberian sanksi pun, tebang pilih kerap ditemukan. Bisa dikatakan, hukuman akhirnya bergantung pada seberapa banyak cuan yang bisa diberikan. Tak heran, muncul anekdot lain di tengah masyarakat seperti “Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah” yang mencerminkan gagalnya aparat keamanan mewujudkan keadilan dalam hukum. 


Ketidakadilan tersebut juga dibarengi dengan hukuman yang minim dari efek jera. Apalagi jika mengingat betapa mudahnya hukum saat ini dibeli dan dipesan. Akibatnya, muncullah istilah penjahat kambuhan. Penjahat ini tak mempan dengan hukuman kurungan penjara yang dijatuhkan. Bahkan, mereka justru memanfaatkan momen ini untuk bertukar pikiran dengan narapidana lain serta memantapkan rencana tindak kriminal selanjutnya yang akan mereka lakukan selepas selesai menjalani hukuman.  


Inilah hasil dari diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Masyarakat yang miskin materi dan iman yang didukung dengan lemahnya penegakan hukum, membuat tindak kriminal bak rumput liar, terus tumbuh subur dan sulit dibasmi. Rasa ketakutan dan waswas pun terus mengintai dan seakan tak berkesudahan. Dengan demikian nyatalah sudah gagalnya hukum sekuler menjamin keamanan masyarakat.


Kondisi tersebut tentu sangat berbeda dengan apa yang ada pada sistem Islam. Dalam Islam, pendidikan akidah dan penanaman karakter menjadi kurikulum wajib yang harus diajarkan orangtua pada anaknya sejak kecil. Dengan mengakarnya akidah, akan terbentuk individu dengan kepribadian yang shalih, tangguh dalam keislaman serta senantiasa merasa selalu terhubung dengan Allah (idrak sillah billah). Rasa keterhubungan ini akan mewujudkan rasa takut bermaksiat karena merasa bahwa Allah akan selalu mengawasi dimanapun manusia berada. Dampaknya, secara otomatis, hal ini akan mencegah individu melakukan perbuatan kriminal. 


Selain itu, negara pun akan menjamin kesejahteraan umat dengan memenuhi berbagai kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan hingga kesehatan. Tentunya, hal ini akan meminimalisir kemiskinan yang menjadi salah satu faktor timbulnya tindak kriminal. Terakhir, selain jaminan kesejahteraan, negara juga akan menerapkan sistem peradilan yang adil dan tegas. Sanksi yang dijatuhkan pun bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama) sehingga tak ada lagi istilah penjahat kambuhan seperti yang ada dalam sistem sekuler. 


Sebut saja terkait sanksi bagi tindak pembunuhan. Jika dalam sistem sekuler, pelakunya masih bisa mendapat keringanan hukuman dengan mendekam selama beberapa tahun di jeruji besi, berbeda halnya dalam sistem Islam dimana pelakunya akan mendapatkan hukum qisas. Hukum qisas ini berupa  perlakuan yang sama kepada pelaku sebagaimana yang telah dilakukan pada korban.      


Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah: 178


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ


“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh.”


Demikianlah Islam mewujudkan keadilan dan menjamin keamanan bagi umatnya. Dengan diterapkannya sistem Islam, kriminalitas dapat diberantas. Umat pun akan hidup dengan tenang dan tak lagi waswas terhadap keselamatan harta maupun nyawanya. 

Wallahualam bissawab.[SJ]