Alt Title

Delusi Eskapisme Sebagai ‘Solusi Mental Generasi’

Delusi Eskapisme Sebagai ‘Solusi Mental Generasi’

 


Atmosfer sekuler menyebabkan masyarakat jauh dari agama sehingga mereka tidak tahu cara coping problem menggunakan solusi Islam. Alhasil, generasi kesulitan menghadapi konflik dan memilih melakukan pelarian ketika mengalami masalah
_________________________

Penulis Izza Afkarina

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Mahasiswa


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Ramai-ramai Lari dari Kenyataan, Ada apa?


Baru-baru ini jagat maya dikejutkan oleh video seorang anak yang dimarahi ayahnya lantaran asyik memainkan game role-playing (RP) di aplikasi Tiktok. Betapa tidak, konten RP yang dilakukan sudah berbau dewasa sampai-sampai bocah tersebut berperan seolah sudah memiliki anak (TribunNews/19/6/2023).


Tahun lalu, seorang remaja dilaporkan meninggal dunia karena diduga kecanduan game online (pikiran-rakyat[dot]com/30/3/2022). Tindakan maraton dalam menonton film, fenomena healing, dan fenomena ghosting juga tampaknya telah menjamur di tengah generasi. Carla Marie Manly, Ph.D., seorang psikolog klinis, mengatakan "Selama masa traumatis, banyak individu secara alami 'melarikan diri' untuk menghindari tekanan psikologis. Bermain game dan media sosial, mendengarkan musik, menonton film, travelling, kumpul bersama teman, hingga tidur dilakukan sebagai upaya dalam mengalihkan fokus dari permasalahan mereka”. 


Tak heran, generasi hari ini berada pada kondisi krisis mental yang mengkhawatirkan. Angka gangguan kesehatan mental menunjukkan tren peningkatan di level global maupun Indonesia. Riset terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat tren peningkatan jumlah gangguan kesehatan mental dalam 30 tahun terakhir. Berdasarkan hasil survei Alvara Research Center terhadap 1.529 responden di 34 provinsi seluruh Indonesia, lebih dari 20% generasi X, Millenial, dan Z mengalami kecemasan. Kerena itu, alih-alih menyelesaikan masalah, mereka melakukan Eskapisme untuk lari dari permasalahannya. Menurut Jouhki dan Oksanen (2022), Eskapisme adalah kecenderungan seseorang untuk melarikan diri dari kenyataan.

 

Sistem Kapitalisme Melahirkan Generasi Stres dan Eskapis 


“Mengapa banyak yang melarikan diri?”. Penyebab Eskapisme sangatlah kompleks. Menurut Widya Hanum, P.hD, dikutip dari chanel Youtube IMuNe, pelarian dapat terjadi ketika individu memiliki jenis attachment style yang tidak sehat, depresi, cemas, kesulitan mengatasi konflik, merasa memiliki harga diri yang rendah, dan minim orientasi agama. Faktor internal tersebut semakin subur di dalam atmosfer sekuler kapitalisme yang menciptakan berbagai permasalahan yang kompleks, sehingga menjadi faktor eksternal penyebab stres dan eskapis.


Dalam hal ekonomi, sistem sekuler kapitalisme telah menciptakan gap lebar antara si kaya dan si miskin. Harga-harga bahan pokok, BBM, dan pajak juga naik bertahap. PHK dimana-mana. Belum lagi pengesahan Omnibus Law dengan berbagai polemiknya yang membuat para pekerja semakin khawatir. Begitu pun dalam hal sosial, kehidupan sekuler yang serba bebas mencetak beragam kezaliman di tengah masyarakat sehingga banyak yang mengalami konflik dengan keluarga, teman, ataupun pasangan. Kondisi-kondisi tersebut memberikan banyak tekanan terhadap mental generasi. Parahnya, sistem Pendidikan sekuler kapitalis tidak dapat memberikan bekal mental yang cukup untuk menghadapi berbagai masalah. Atmosfer sekuler juga menyebabkan masyarakat jauh dari agama sehingga mereka tidak tahu cara coping problem menggunakan solusi Islam. Alhasil, generasi kesulitan menghadapi konflik dan memilih melakukan pelarian ketika mengalami masalah.


Pelarian tersebut semakin menjamur lantaran dibuat nyaman oleh sosial media dan algoritmanya yang membius. Algoritma di platform media sosial dalam sistem kapitalis akan menyaring unggahan sesuai dengan apa yang relevan dengan minat pengguna. Hal ini menyebabkan seseorang betah berlama-lama dalam pelariannya, nyaman saat escape, dan melupakan tanggung jawabnya di kehidupan nyata. Tak cukup di situ, generasi juga di’ninabobok’kan dengan berbagai film dan hiburan yang menggiurkan sehingga mereka kecanduan untuk escape. Belum lagi masalah Idol dan celebrity worship syndrome (CWS) atau pengagungan selebriti yang membuat mereka semakin jauh dari kenyataan. Padahal, Fenomena CWS dapat membajak waktu serta dapat menjadi sangat berbahaya karena tidak realistis dan mengarah pada konsekuensi depresi jika sang idol tak sesuai ekspektasi. 

 

 

Eskapisme: Seni Menciptakan Masalah dengan Lari dari Masalah 


Amanda Perl, dalam artikelnya berjudul "Anxiety and Escapism: A Post-Traumatic Stres Disorder" berpendapat bahwa eskapisme merupakan srategi koping yang tidak sehat. Bermain game, menonton film, dan scroll sosial media dalam waktu yang lama dapat mengganggu kesehatan, mengurangi produktivitas, bahkan menyebabkan semakin stres. Riset yang dilakukan para ilmuwan dari Jeman dan Amerika Serikat dalam Frontiers in Psychology (2020) menyatakan bahwa stres dikaitkan dengan penggunaan media yang hedonis serta koping berbasis media yang menghindar dan melarikan diri. Sebuah studi yang dilakukan di Universitas Leiden juga menyebutkan bahwa orang yang terus-menerus ‘melarikan diri’ secara intens dapat mengalami perasaan cemas dan tekanan emosional yang lebih besar dari waktu ke waktu seperti bola salju berbahaya yang menuruni gunung. 


Oleh karena itu, tidak layak bagi generasi hari ini menjadikan eskapisme sebagai solusi dari permasalahan mereka. Eskapisme adalah delusi dari solusi mental generasi. Alih-alih menyelesaikan masalah, strategi tersebut justru menambah beban mental dan permasalahan baru. 

 

Islam Solusi Permasalahan Mental Generasi 


Persoalan mental generasi hanya mampu diatasi dengan penerapan Islam di segala aspek kehidupan. Banyak ahli bersepakat bahwa aspek psikologis tergolong permasalahan yang rumit dan melibatkan banyak faktor Internal dan Eksternal. Untuk itu, diperlukan sistem yang mampu mengatur faktor-faktor tersebut dengan baik sehingga dapat mencegah stres dan alih-alih memilih lari dari masalah, mereka mampu menyelesaikan masalahnya karena memiliki mental yang sehat. 


Sistem Pendidikan Islam dalam Khilafah akan memperkokoh mental generasi. Kurikulum pendidikan dibentuk berasaskan pada akidah Islam. Hal ini bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam sehingga generasi memiliki mental yang kuat dan tidak lari ketika diuji oleh beragam masalah. Generasi juga akan dibina dengan baik oleh guru dan di bersamai dalam menyelesaikan masalahnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ membina para sahabat. Mereka juga akan dididik dan dibentuk sebagai “problem solver” agar dapat mencari solusi terkait masalahnya sendiri ataupun masalah umat. Karena itu, tidak akan pernah terpikirkan sedikit pun bagi mereka untuk melarikan diri dan kenyataan dan permasalahannya.


Khilafah juga akan meminimalisir faktor-faktor eksternal penyebab stres seperti masalah ekonomi, konflik sosial, dan lain-lain. Dalam aspek ekonomi, Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan cara menciptakan iklim kondusif untuk mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan pokok rakyatnya. Tidak hanya itu, dalam aspek sosial, Negara akan menciptakan iklim pergaulan yang aman dari segala kemaksiatan sehingga toxic relationship, kerusakan tatanan keluarga, perselingkuhan, kekerasan seksual, bullying, dan penyebab stres yang lain dapat dicegah. Rehabilitasi medis dan nonmedis terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental juga akan dilakukan dengan pembiayaan penuh oleh Negara. Dalam aspek hukum, Negara akan membuat produk hukum yang mencegah terjadinya kejahatan serta memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku kejahatan, misalnya hukum rajam, agar tidak menyebabkan korban mengalami gangguan mental. Begitupun dalam aspek Informasi, Negara juga akan mengatur arus informasi dan membatasi konten-konten yang dapat menyebabkan stres seperti flexing atau konten-konten “gila” yang tidak masuk akal.


Jika solusi-solusi tersebut diterapkan, maka sangat memungkinkan faktor-faktor penyebab stres akan tiada, angka stres menurun drastis, dan masyarakat tidak akan lari dari masalahnya, melainkan menghadapi segala permasalahan tersebut dengan mentalnya yang tangguh.

Wallahualam bissawab. [GSM]