Alt Title

Galodo Terus Berulang di Sumatra

Galodo Terus Berulang di Sumatra



Berbagai bencana yang menimpa Sumatra, terutama banjir, longsor, dan puting beliung 

menunjukkan pola yang berulang dari tahun ke tahun

_________________________


Penulis Melta Vatmala Sari. S.E

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang menimbulkan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia.


Peristiwa ini dapat dipicu oleh faktor alam, non-alam, hingga tindakan manusia sendiri sehingga berdampak pada kerugian materi, gangguan psikologis, bahkan hilangnya nyawa. Belum pulih dari musibah tahun sebelumnya, negeri ini kembali didera bencana baru, berupa banjir dan tanah longsor yang terjadi di wilayah Pulau Sumatra.


Laporan CNNIndonesia.com menginformasikan bahwa banjir, longsor, serta angin puting beliung melanda Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Aceh, hingga Sulawesi. Curah hujan yang sangat tinggi menjadi pemicu utama meningkatnya jumlah korban di berbagai daerah tersebut. Longsor menyebabkan rumah dan jalan ambruk, akses komunikasi terganggu, serta sejumlah warga tertimbun material tanah. Kondisi ini menggambarkan bahwa dampak bencana makin kompleks dan luas. (27-11-2025)


Di Sumatra Barat, galodo kembali berulang. Material kayu berserakan di mana-mana, dan longsor juga terjadi di kawasan UIN IB Lubuk Minturun Padang. Dalam lima tahun terakhir, wilayah ini kehilangan sekitar 27.447 hektar hutan berdasarkan data Geographic Information System (GISKKI). Banyaknya kawasan hutan yang dialih fungsikan menjadi objek wisata membuat daerah tersebut kehilangan kemampuan menahan air. Akibatnya, pasang naik air laut meluber hingga memasuki pemukiman warga.


Faktor Terjadinya Bencana


Berbagai bencana yang menimpa Sumatra, terutama banjir, longsor, dan puting beliung menunjukkan pola yang berulang dari tahun ke tahun. Selain dipacu oleh curah hujan ekstrem dan letak geografis, kerusakan lingkungan dan tata ruang yang tidak tepat semakin memperparah situasi. Dengan demikian, bencana yang muncul tidak dapat dianggap sebagai fenomena alam murni, melainkan hasil kombinasi antara dinamika alam dan ulah manusia.


Secara umum, penyebab bencana terbagi menjadi tiga kategori:


Alam, seperti pergeseran lempeng, letusan gunung api, badai, dan banjir.


Non-alam, seperti kegagalan teknologi dan merebaknya penyakit.


Sosial, yaitu bencana akibat tindakan manusia seperti konflik atau pengelolaan lingkungan yang keliru.


Berbagai peristiwa tersebut terutama dipicu oleh kesalahan dalam pengaturan tata ruang dan lemahnya pengelolaan lingkungan. Kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan mengakibatkan aliran air tersumbat. Aktivitas penebangan hutan ilegal mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air. Ditambah lagi, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pembangunan membuat kerusakan semakin meluas.


Dalam sistem kapitalisme, bencana sering dipandang sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Pemerintah tidak sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai pelayan rakyat, tetapi lebih berorientasi pada kebijakan yang menguntungkan pemilik modal. Misalnya, pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dinilai membuka peluang semakin luas bagi eksploitasi sumber daya alam. Dampaknya terlihat pada maraknya deforestasi dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Akibat lemahnya integritas aparat dan praktik suap, kepentingan rakyat pun kerap diabaikan.


Islam dalam Penyelesaian Bencana


Negara yang diatur dengan prinsip sekularisme biasanya menempatkan materi sebagai tujuan utama. Hal ini membentuk masyarakat yang cenderung mengabaikan dampak lingkungan atas tindakan mereka. Berbeda dengan Islam yang menegaskan bahwa sumber daya alam merupakan milik umum dan harus dikelola untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya pihak yang memiliki modal.


Dalam perspektif Islam, pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya dalam upaya mitigasi dan penanggulangan bencana. Pemimpin berfungsi sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Masyarakat tetap dianjurkan membantu sesama, tetapi penanganan utama tetap berada pada negara.


Sistem pemerintahan Islam mengelola bencana secara menyeluruh: memastikan kebutuhan warga terpenuhi, memperbaiki sarana umum yang rusak, serta menyediakan anggaran khusus melalui Baitulmal untuk keadaan darurat. Dana ini harus tetap tersedia, baik ketika kas dalam kondisi penuh maupun kosong.


Islam juga memandang pembangunan berkelanjutan bukan dari ukuran materi semata. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa pembangunan harus ditopang oleh individu yang memiliki keahlian sekaligus akidah Islam yang kuat. Dengan demikian, terbentuklah masyarakat beriman, bertakwa, dan kompeten.


Proses pembangunan pun dilakukan dengan memperhatikan kelestarian alam agar tidak menimbulkan kerusakan. Setelah aspek lingkungan terjaga dan keadilan kepemilikan lahan jelas, barulah infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dibangun. Hal ini akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang penuh keberkahan, sebagaimana ditegaskan Allah Swt. dalam surah Al-A’raf ayat 96:


“Jika sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami timpakan hukuman karena perbuatan mereka." (QS. Al-A'raf: 96)


Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]