Sumatra Menangis: Keuntungan Mengalahkan Kelestarian Alam
OpiniSikap penguasa yang haus pada materi sangat niscaya tercipta dalam sistem sekuler kapitalisme
Sistem yang saling terikat satu sama lainnya melahirkan pola kekuasaan yang dibangun dari akal pikiran manusia semata
______________________________
Penulis Aksarana Citra
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bencana seakan tidak habisnya mendera negara kita yang tercinta ini. Derai air mata, kehilangan, kerusakan, menyelimuti saudara-saudara kita di Sumatra.
Ratusan nyawa melayang, hanyut terbawa arus banjir dan tertimbun tanah longsor. Apakah Tuhan sedang marah kepada kita? kita yang penuh dosa hingga alam pun tidak sudi lagi dihuni. Ketika air hujan yang seharusnya menjadi sumber manfaat justru berubah menjadi pembawa bencana bagi manusia.
Salah siapa ketika awan menurunkan air dari langit, tetapi kayu gelondongan yang membanjiri tanah Sumatra. Apakah langit menurunkan hujan kayu bukan air? Air deras turun dari perbukitan menghantam segala yang ada di bawahnya. Ini bukan bencana tsunami, tetapi korban dan kengeriannya tak kalah sama, memori lama kembali terbayang.
Akhir November 2025 menjadi akhir bulan yang tak terlupakan bagi tiga provinsi di Indonesia. Terjadi bencana secara berbarengan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Di Sumatra Utara, daerah terdampak yakni wilayah Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Sibolga, Tapanuli Selatan, dan daerah lainnya.
Hal serupa terjadi di Sumatra Barat. Wilayah terparah, yakni Padang Pariaman, Tanah Datar, Solok, dan Kota Padang. Sementara itu, di Aceh yang terpengaruh wilayah Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat.
Di saat yang hampir bersamaan, selain di Indonesia negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka diterjang bencana banjir dan longsor. Menurut ilmuwan iklim di Indian Institute of Tropical Meterology Roxy Mathew Koll bahwasanya peringatan badai siklon telah disampaikan sebelum Badai Siklon Senyar dan Ditwah mencapai daratan.
Badai ini bukanlah badai yang terkuat karena kecepatan angin yang relatif rendah, yaitu 60-80 km/jam (37-50mph). Namun, yang terjadi di Indonesia justru bencana yang dahsyat tercatat korban meninggal akibat bencana ini. (kompas.com, 2-12-2025)
Update terkini sebanyak 836 orang dan akan bertambah karena ratusan orang masih terjebak dan 518 dinyatakan hilang. Selain itu, setidaknya ada 2,7 ribu jiwa terluka dengan rincian di Provinsi Aceh korban meninggal dunia sebanyak 325 jiwa. Sementara 170 dinyatakan hilang. Di Sumatra Utara 311 orang meninggal dunia dan 127 orang dinyatakan hilang
Adapun Sumatra Barat tercatat 200 orang meninggal dunia dan 221 orang belum diketemukan. Setidaknya 10,5 ribu rumah rusak, 536 fasilitas umum, 25 fasilitas pendidikan, 185 rumah ibadah, serta ribuan warga mengungsi dan meminta bantuan karena kesulitan akses mengakibatkan bantuan sulit didistribusikan. (tempo.co, 4-12-2025)
Apa yang disampaikan oleh Roxy bahwasanya badai siklon Senyar dan Ditwah bukanlah yang terkuat jika dibandingkan badai yang lain. Berarti penyebab banjir bandang dan longsor bukan saja karena faktor curah hujan atau badai. Ada faktor lain yang menyebabkan banjir bandang dan longsor di Sumatra. Apakah manusia menjadi faktor utamanya?
Sudah kita ketahui lewat jejak digital kerusakan hutan di Indonesia sudah berlangsung bertahun--tahun. 12 tahun lalu aktor Harison Ford pernah menegur Menteri Kehutanan saat itu setelah melihat kondisi Taman Nasional Teso Nilo Riau rusak karena penebangan liar. Tahun berlalu yang ditakutkan oleh semua manusia terjadi, hutan Indonesia perlahan hilang. Hutan Indonesia hilang ½ hektar permalam
Jadi jelas ini bukan karena alam atau pun curah hujan. Bencana kali ini terjadi karena ulah manusia. Bukan pula sekadar ujian yang diturunkan Allah Swt. kepada umatnya. Ini adalah dampak kejahatan lingkungan yang berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan oleh para penguasa, pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit. Di mana banyak hutan yang dialihfungsikan menjadi kebun sawit.
Memang tidak salah menyatakan bahwasanya sawit pun pohon. Ada daun dan batang, tetapi pernyataan itu menyesatkan karena beda tanaman sawit dan pohon-pohon terdapat pada akarnya. Deforestasi yang dicanangkan pemerintah pun menjadi pro kontra di kalangan masyarakat dan pemerhati lingkungan.
20 juta hektare hutan akan dialihfungsikan menjadi kebun sawit demi tercapainya ketahanan pangan dan energi dengan harapan memanfaatkan hutan cadangan atau area degraded serta mengombinasikan tanaman produktif dengan penanaman pohon. Pemerintah menyangkal strategi tersebut sebagai deforestasi, tetapi reforestasi atau pemanfaatan hutan cadangan.
Namun, banyak pakar menyebutkan rencana tersebut sebagai deforestasi masif karena membuka hutan alam untuk perkebunan sawit atau pun pertanian akan merusak keanekaragaman hayati habitat spesies hewan dan tanaman, serta mempercepat krisis iklim.
Selain itu, konversi hutan terutama jika mencakup hutan primer atau hutan alam bisa memperparah risiko ekologis, seperti erosi, hilangnya daya serap air, dan meningkatkan kemungkinan bencana alam. Hari ini terbukti banjir bandang dan longsor yang terjadi menjadi realitas kini.
Hutan kita telah dibabat dan dihancurkan oleh para manusia yang haus keserakahan. Selain itu, izin tambang terbuka dibuka dengan leluasa. Bahkan muncul kebijakan pemberian konsesi tambang untuk ormas. Sebuah langkah yang justru menambah panjang daftar persoalan tata kelola sumber daya alam di negeri ini. Di balik gegap gempitanya pembabatan, oligarki terus meraup keuntungan dari sumber daya hasil bumi.
Mereka mengambil emas, batu bara, nikel, dan mineral lainnya, tetapi menyisakan kesengsaraan bagi rakyat, kerusakan, dan bencana ekologis yang terus berulang. Ironisnya, saat ada rakyat menyampaikan kritik di debat terbuka, ia mengemukakan fakta sederhana bahwa manusia bertambah dan kebutuhan lahan pun meningkat. Namun, kemampuan rakyat kecil paling hanya menebang satu pohon per hari sementara eskavator milik korporasi dapat membabat 1 hektar dalam sehari.
Belum lagi UU Minerba , UU Ciptakerja, dua regulasi yang dinilai oleh sebagian kalangan sebagai pintu lebar bagi eksploitasi alam tanpa pertanggungjawaban. Karena UU Minerba memperlonggar syarat memperpanjang izin dan menguatkan posisi korporasi serta melemahkan peran pengawasan.
Sementara itu, UU Ciptaker mereduksi perlindungan lingkungan memotong proses AMDAL dan memudahkan alih fungsi hutan sekali pun masih menjadi kawasan yang dilindungi atau memiliki peran penting secara ekologis, seperti halnya terjadi di Taman Nasiaonal Teso Nilo.
Sikap penguasa yang haus pada materi sangat niscaya tercipta dalam sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang saling terikat satu sama lainnya melahirkan pola kekuasaan yang dibangun dari akal pikiran manusia semata. Pada akhirnya terbukti hanya menguntungkan segelintir orang. Kekuasaan menjadi alat transaksi bukan amanah.
Saat masyarakat membutuhkan bantuan, mereka yang datang membantu membawa misi pencitraan. Tempat pengungsian berubah menjadi panggung kampanye terselubung. Inilah kenyataan pahit yang hanya terjadi di sistem demokrasi. Ketika bencana sekalipun dimanfaatkan sebagai kesempatan mengangkat popularitas.
Padahal para penguasa itu menutup rapat topeng mereka. Mereka berdiri di hadapan kamera seolah-olah datang sebagai penyelamat, tetapi di balik itu merekalah sang pembuat kebijakan. Merekalah yang merusak lingkungan, memberi izin membabat hutan, memotong kayu-kayu yang akhirnya membanjiri wilayah tesebut, memutus akses kehidupan rakyat dan melanggengkan kekuasaan oligarki.
Inilah efek dari suatu negara yang meninggalkan hukum Allah dan sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Hingga saat ini dengan jumlah korban yang sebegitu banyak dan dampak lingkungan yang besar, hingga ada 4 kampung di Aceh menghilang tertimbun tanah, tetapi Status Darurat Becana Nasional tidak diberlakukan.
Kenapa tidak diberlakukan, karena ketika negara memberlakukan Status Darurat Bencana Nasioal maka izin industri akan berhenti, eksploitasi tambang berhenti, proyek mega infrastruktur harus dihentikan, penyebab bencana harus diusut, struktur tata ruang dan izin lingkungan harus diaudit dan dalang dari ini semua harus dicari.
Arus opini internasional akan berdatangan dan akan ikut mengusut. LSM internasional masuk, maka media asing akan memantau, akhirnya transparansi tidak bisa ditutup. Mungkin itu yang ditakutkan penguasa kita, segala macam kedok mereka terbongar. Dalam sistem ini penguasa dan pengusaha menikmati hasil sedang rakyat menikmati bencana.
Penguasa yang tidak berpihak pada rakyat, tetapi tunduk pada pengusaha. Karena sistem sekuler kapitalis yang memisahkan agama dengan sendi-sendi kehidupan membuat penguasa kita lupa untuk apa mereka menjabat, diberikan amanah, mereka lalai dan mementingkan materi di atas nyawa rakyat.
Umar Bin Khattab pernah menangis hanya karena keledai yang terjatuh di jalan. Ketika sahabat bertanya mengapa engkau menangis itu hanya seekor keledai. Beliau berkata aku takut itu menjadi urusanku kelak di akhirat karena keledai itu jatuh di jalanan berlubang di tempatku, dan kelak menjadi urusanku di akhirat. Sebegitu mulianya bahkan hewan saja beliau khawatirkan, tetapi bagaimana dengan penguasa kita yang secara terang-terangan membabat hutan?
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. telah mengingatkan kerusakan di bumi merupakan ulah manusia. Allah berfirman dalam surah QS. Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia. Melalui hal itu, Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali sadar.”
Negara Islam mengharamkan perusak alam secara mutlak, tidak membiarkan eksploitasi hutan, tambang dengan seenaknya. Allah berfirman dalam QS. Al-Araf: 56 yang berbunyi:
“Dan janganlah kalian memebuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.“
Maknanya, negara wajib mencegah segala bentuk perusak lingkungan baik individu maupun oligarki. Negara mengatur kepemilikan SDA sesuai hadis Rasullullah saw.,
“Kaum muslim berserikat dalam 3 hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Negara akan melarang menebang hutan secara masif, membuat dan menjaga kawasan resapan air, tidak memberikan izin alih fungsi hutan, dan diwajibkannya reboisasi. Menanam pohon adalah ibadah maka merusaknya adalah kezaliman. Negara akan memberikan sanksi tegas pada perusak lingkungan, karenanya termasuk perbuatan yang membahayakan umat banyak.
Selain itu, negara akan melakukan pencegahan melalui pendapat para ahli lingkungan. Saran dan kritik akan ditampung oleh negara dan bijaksana dalam mengambil segala keputusan. Maka hanya dengan hukum Allah Swt. negara bisa menimimallisir bencana.
Kita memang tidak tahu kapan bencana akan datang karena merupakan takdir Allah Swt., tetapi ketika negara diurus oleh penguasa yang zalim dengan kebijakan kebijakan yang tidak bijaksana dan salah, akan menimbulkan segala macam bencana.
Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus pada setiap kebijakan dan memikirkan sampai mendalam setiap mengambil segala keputusan,dan mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar.
Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alamnya, tempat tinggal dan semua daya dukungnya, industry tambang dan himmahnhya.
Syariat Islam mampu menutup pintu bencana akibat keserakahan manusia. Inilah bukti Islam tidak hanya menjadi solusi bagi manusia dan penolong keberlangsungan bumi serta isinya karena Islam adalah rahmatan lil alamin. Wallahualam bissawab.


