Benarkah Mapan Dulu Baru Menikah?
OpiniDalam lslam, menikah adalah suatu ibadah terpanjang yang mengharapkan rida Allah Swt.
dan jalan mencari kecukupan hidup dari karunia Allah Swt.
_______________________
Penulis Yuli Ummu Raihan
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Muslimah Peduli Generasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPlNl- "Nikah dulu atau mapan dulu?"
Satu kalimat yang belakang banyak dijadikan konten di media sosial. Hal ini terjadi karena adanya fenomena generasi muda yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Alhasil, banyak generasi muda yang menunda pernikahan karena ketidakpastian ekonomi serta tingginya biaya hidup.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitu pun generasi hari ini. Beda generasi beda pula tantangannya. Kondisi ini melahirkan cara pandang yang berbeda pula dalam memandang sesuatu misalnya pernikahan.
Dahulu pernikahan dijadikan tonggak kedewasaan yang harus dicapai. Mereka yang sudah kepala tiga, tetap melajang dianggap sebagai keterlambatan. Maka label perawan tua atau bujang lapuk kerap disematkan oleh masyarakat. Sekarang sepertinya telah terjadi pergeseran pandangan. Banyak generasi muda hari ini justru menunda untuk menikah karena takut belum mapan secara ekonomi. (Kompas.id, 27-11-2025)
Generasi muda atau gen Z menempatkan pernikahan bukan lagi sebagai prioritas utama yang harus dicapai. Ketakutan akan hidup miskin terjadi seiring dengan besarnya dorongan dari beragam faktor fundamental yang menyertainya, terutama realita perekonomian hari ini.
Dunia kerja hari ini penuh dengan ketidakpastian, gen Z merasa penghasilan mereka secara rata-rata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya pada usia yang sama. Ini erat kaitannya dengan economic scarring atau luka ekonomi, yaitu kondisi yang merujuk pada kerusakan sistem perekonomian dalam jangka menengah atau jangka panjang sebagai akibat dari krisis ekonomi.
Pandemi 2019 adalah salah satu penyebab luka tersebut. Saat ini gaji relatif rendah, sementara harga kebutuhan hidup semakin tinggi. Standar kebahagiaan diukur dengan pencapaian materi, punya rumah yang nyaman, kendaraan terbaru, gadget yang tercanggih, jabatan atau pekerjaan yang bergengsi. Hal ini memicu kecemasan akan kemiskinan semakin nyata.
Keputusan menunda pernikahan dianggap sebagai strategi bertahan paling rasional. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas mengenai pernikahan pada 10-13 November 2025 menghasilkan 73,5 persyaratan responden memilih fokus pada pekerjaan dan makan secara ekonomi sebagai alasan utama belum dan menunda pernikahan. BPS menyimpulkan dalam lima tahun terakhir jumlah pemuda yang belum menikah meningkat hingga hampir 10 persen.
Fenomena generasi takut menikah juga disebabkan adanya perubahan nilai. Dulu wanita tidak bekerja itu biasa, tetapi hari ini sebaliknya. Wanita merasa dipandang berharga ketika ia bisa mandiri secara ekonomi dengan bekerja atau berkarya. Banyak wanita yang malu dan insecure ketika hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Mereka berlomba mencari validasi.
Generasi muda lebih memilih stabilitas psikologis, kesehatan mental, dan kualitas hidup sehari-hari sebagai prioritas yang lebih penting dari pada sekadar status pernikahan. Ada semacam pembenaran ketika seorang wanita memiliki uang, ia tidak membutuhkan pria (suami) lagi. Sementara pria yang memiliki uang justru menginginkan wanita lagi.
Belum lagi drama yang sering terjadi dalam pernikahan menjadikan pernikahan itu menakutkan. KDRT, perselingkuhan, perceraian dan perebutan harta gono gini, serta hak pengasuhan adalah momok menakutkan bagi generasi muda. Apalagi jika mereka korban dari semua itu. Bahkan setelah menikah generasi hari ini masih berpikir ribuan kali untuk memiliki atau menambah anak. Ada yang bilang memiliki anak dalam kondisi ekonomi yang belum stabil adalah sebuah bencana.
Data dari BPS menunjukkan sepanjang tahun 2024 kasus perceraian di Indonesia mencapai 400.000 kasus. Faktor ekonomi menjadi faktor terbesar dari begitu banyaknya kasus perceraian. Banyak dari kasus perceraian itu merupakan gugat cerai dari pihak perempuan.
Negara sebagai regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Beban hidup harus dipikul sendiri oleh rakyat. Belum lagi pengaruh pendidikan sekuler dan media liberal telah menumbuhkan gaya hidup hedonis dan materialis. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ladang kebaikan dan ibadah, melainkan sebuah beban dan momok menakutkan.
Hal ini akan berbeda ketika negara hadir secara langsung menjamin kebutuhan dasar rakyat. Ketika negara membuka lapangan pekerjaan yang banyak melalui penerapan sistem ekonomi Islam.
Dalam Islam, ada pembagian kepemilikan, salah satunya kepemilikan umum. Pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara. Hasilnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Dengan begitu, tekanan hidup akan berkurang. Pendidikan dalam Islam akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam. Tidak terjebak menjadi individu yang materialis dan hedonis.
Penerapan sistem pergaulan Islam akan memperkuat institusi keluarga. Pernikahan menjadi lahan kebaikan, ibadah, penjagaan keturunan, dan mendapat sakinah, mawadah, warahmah. Suami istri paham hak dan kewajiban masing-masing. Suami akan berusaha optimal agar kewajiban nafkah keluarga terpenuhi. Sebaliknya, istri didorong untuk qanaah terhadap pemberian suami, tidak menuntut sesuatu di luar kemampuan suami.
Rasulullah saw., bersabda: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan." (HR. Muslim)
Dalam Islam, pernikahan itu yang penting sah bukan mewah. Apalagi sampai berutang dan terlibat riba. Ketika menikah dianjurkan sekufu (sepadan) agar tidak jadi masalah di kemudian hari. Misalnya seorang pemuda yang punya penghasilan rendah tentu tidak akan cocok menikah dengan wanita yang gaya hidupnya terbiasa mewah. Islam juga menganjurkan wanita untuk memudahkan mahar, sementara pria didorong untuk memberikan mahar terbaik dan memenuhi kewajiban nafkah dengan optimal.
Allah berfirman dalam QS An-Nuur ayat 32: "Dan Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui."
Hadis riwayat Ibnu Mas'ud juga mengatakan: "Carilah kekayaan dalam pernikahan."
Jadi, pernikahan adalah jalan mencari kecukupan hidup dari karunia Allah, jangan jadikan kemiskinan penghalang pernikahan. Apalagi menunda menikah, tetapi melakukan maksiat dengan pacaran atau bahkan kumpul kebo. Nauzubillahi min zalik. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]


