Alt Title

Arah Baru Ekonomi Islam, Mengaburkan Sistem Ekonomi Islam yang Hakiki

Arah Baru Ekonomi Islam, Mengaburkan Sistem Ekonomi Islam yang Hakiki



Pernyataan bahwa green technology dan digital innovation adalah arah baru ekonomi Islam 

merupakan kekeliruan karena Islam tidak membutuhkan arah baru

_________________________


Penulis Salamatul Fitri

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Tenaga Pendidik


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sulthan Thaha Saifuddin (STS) Jambi, hari Rabu (12-11) menyelenggarakan kegiatan bertajuk The First FEBI’s International Visit Academic and International Conference on Islamic Economics and Business (ICOIEB).


Adapun kegiatan tersebut menjadi momen penting untuk pengembangan ilmu ekonomi Islam di era digital saat ini.  Dalam sambutannya Rektor UIN STS Jambi yakni Prof. Kasful Anwar menyatakan bahwa tema konferensi “Green Tech and Digital Entrepreneurship and Islamic Economics: Synergy for Sustainable Economic Development” sangat relevan dan visioner. (uinjambi.ac.id, 12-11-2025)


Menurutnya, tema ini merepresentasikan arah baru ekonomi Islam untuk menghadapi era transisi hijau dan disrupsi digital di abad ke-21 ini. Saat ini, dunia menghadapi dua arus besar yang saling berkelindan, yakni transformasi digital dan transformasi hijau.


Keduanya menuntut inovasi, efisiensi, dan keberlanjutan. Hari ini, ekonomi islam bukan hanya sebagai sistem alternatif tetapi sebagai paradigma moral dan etis yang mampu menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan kelestarian lingkungan. 


Pernyataan ini mencerminkan optimisme akademisi terhadap integrasi ekonomi Islam dengan agenda global green technology dan digital innovation yang berfokus pada pemanfaatan solusi mutakhir untuk mengatasi perubahan iklim, mendorong pembangunan berkelanjutan (SDGs), menciptakan peluang ekonomi baru yang ramah lingkungan. 


Apa Itu Green Technology


Teknologi hijau adalah pengembangan dan penggunaan teknologi yang meminimalkan dampak negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan dan masyarakat. Teknologi hijau mencakup berbagai produk, layanan dan praktik yang mendukung masa depan yang lebih berkelanjutan.


Pada praktiknya, teknologi hijau mengkombinasikan pengetahuan dan inovasi ilmiah untuk membantu melestarikan sumber daya alam, menggunakan energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca. 


Program ini mencuri perhatian karena mencari cara untuk mengatasi perubahan iklim. Faktanya, yang merusak iklim adalah manusia dan manusia berupaya untuk memperbaikinya. Dengan keserakahan yang dimiliki serta modal besar dimanfaatkan untuk mengeksploitasi alam secara besar-besaran sehingga menimbulkan dampak bagi lingkungan. Berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak saat ini salah satunya dengan konsep teknologi hijau. 


Sistem ekonomi kapitalis yang meniscayakan pemilik modal untuk menguasai sumber daya alam akan terus menghasilkan kerusakan bagi lingkungan. Selama prinsip liberalisasi (kebebasan) dijalankan maka alam akan semakin rusak. Upaya perbaikan hanya segelintir dibandingkan dengan kerusakan yang dihasilkan. 


Green Technology Sebab Kapiltalisme Merusak Alam


Kemunculan Green Technology bukan tanda keberhasilan kapitalisme bertransformasi, tetapi bukti kegagalan mendasar kapitalisme dalam menjaga alam. Kapitalismelah yang mengubah alam menjadi komoditas dagang, memprivatisasi sumber daya milik umum, menjadikan hutan, air, dan tambang sebagai objek eksploitasi, mengukur pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi bukan keberlanjutan hidup manusia.


Kerusakan ekologis yang memaksa lahirnya teknologi hijau adalah produk sistemik kapitalisme. Termasuk di Provinsi Jambi, kerusakan alam sangat nyata diantaranya terjadinya  deforestasi massif untuk perkebunan, kabut asap yang berulang,  pencemaran sungai, konflik agraria karena korporasi menguasai lahan rakyat, kerusakan gambut yang parah dan persoalan lingkungan lainnya.


Dikutip dari detik.com, Tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat seluas 2,5 juta hektare tutupan hutan alam di Provinsi Jambi hilang sepanjang 50 tahun lamanya. Tahun 2024, sebesar 73% hutan alam di Jambi sudah beralih fungsi sehinga dapat menyebabkan banjir. Selain itu, lebih dari 10.000 hektar lahan telah rusak akibat pertambangan batu bara, dengan area terbuka di luar izin usaha yang mendekati dua kali lipat luasan tersebut. 


Semua terjadi karena negara memberikan izin kepada korporasi untuk menguasai kepemilikan umum, dan Islam justru melarang aktivitas tersebut. Faktanya, dengan penerapan sistem kapitalisme yang memberikan keleluasaan kepada pemilik modal untuk mengeruk sumber daya alam yang justru membawa kerusakan. Hal ini, berdasarkan firman Allah Swt.


”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereke (kembali ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rum: 41)


Kerusakan di Jambi dan daerah lain adalah manifestasi nyata ayat ini. Kapitalisme adalah sistem yang menghasilkan kerusakan, lalu menciptakan “Green Technology” untuk memperbaiki luka yang disebabkan sendiri.


Arah Baru Ekonomi Islam Bukan Kapitalisme Berlabel Syariat


Pernyataan bahwa green technology dan digital innovation adalah arah baru ekonomi Islam merupakan kekeliruan karena Islam tidak membutuhkan arah baru. Islam telah memiliki sistem ekonomi yang sempurna yakni mengatur kepemilikan, distribusi harta.


Ekonomi Islam bukan sistem kapitalis+label syariat, inovasi digital+akad syariat, pembangunan berkelanjutan ala PBB, atau ekonomi pasar versi ramah lingkungan. Ekonomi Islam adalah sistem ideologis yang berpijak pada wahyu dan memiliki struktur negara yang menjalankannya. Sistem ekonomi Islam tidak perlu diperbarui mengikuti tren global. Justru dunia yang harus kembali pada aturan Allah.


Islam juga mengatur kepemilikan sesuai sabda Rasulullah saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api dan harganya adalah haram." (HR. Ibnu Majah)


Inilah dasar bahwa hutan, sungai, energi, mineral, tambang dan lahan luas tidak boleh diprivatisasi atau dikuasai segelintir orang. Ketika kapitalisme menabraknya, maka kerusakan tak terhindarkan.


Adapun kemajuan dalam Islam tidak dibangun dengan merusak alam. Kapitalisme menghancurkan alam untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi, Islam tidak demikian. Dalam Islam, alam adalah amanah, bukan komoditas.


Kemajuan Islam adalah terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, terjaganya alam, berdirinya industri yang halal dan tidak merusak, distribusi kekayaan yang adil, serta negara yang berfungsi sebagai penjaga amanah Allah, bukan pelayan korporasi.


Oleh karena itu, untuk menghadapi kerusakan ekologis dan disrupsi ekonomi, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi sistemik bukan sinergi dengan kapitalisme hijau. Dengan cara mengembalikan kepemilikan umum ke rakyat melalui negara karena hutan, sungai, energi, tambang adalah milik umum dan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Tidak boleh diserahkan kepada korporasi atau pemilik modal. 


Islam juga melakukan pembangunan ekonomi mengikuti syariat, bukan tren global. Islam membangun industri berdasarkan kebutuhan umat, bukan kepentingan pasar. Negara hadir menjaga alam sebagai amanah dengan menerapkan hukum syarak untuk melindungi hutan, melarang pencemaran sungai, menghentikan pembakaran hutan, serta memberi sanksi tegas kepada perusak alam.


Teknologi digunakan sebagai alat, bukan arah sistem. Green technology dan digital innovation boleh digunakan jika fungsinya untuk kemaslahatan umat bukan tunduk pada agenda kapitalis global serta tidak mengubah orientasi sistem Islam. Solusi yang hakiki bukan mensinergikan Islam dengan proyek global, tetapi mengembalikan umat pada penerapan syariat Islam secara total dalam bingkai negara.


Dengan kembali kepada sistem Islam sebagai sebuah sistem yang menjaga bumi, mengatur manusia, dan memakmurkan kehidupan sesuai perintah Sang Pencipta. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]