Ketika Perceraian Jadi “Tren", Penyebab Utama Adalah Sistem
OpiniMunculnya krisis dalam rumah tangga tak bisa dilepaskan dari paradigma sosial yang lebih luas
Faktanya, kita hidup dalam masyarakat yang banyak terpapar oleh paradigma sekuler kapitalis
_______________________
Penulis Vina
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Belakangan ini Indonesia dihadapkan pada realita yang cukup mengusik. Angka perceraian terus naik sementara angka pernikahan menurun. Bukan hanya banyaknya berita perceraian publik figur. Faktanya, fenomena ini marak terjadi di kalangan masyarakat umum.
Data sepanjang 2024 mencatat sekitar 399.921–466.359 kasus perceraian di seluruh Indonesia (voi.id, 9 November 2025) (NU online, 6 November 2025). Sementara itu, jumlah pernikahan menurun signifikan dibandingkan dekade sebelumnya yakni terjadi penurunan sekitar 30 persen (Kompas.com, 29 Oktober 2025). Fenomena ini bukan sekadar angka, tetapi menyiratkan ada problem mendasar dalam tatanan sosial, nilai, sistem pendidikan serta kehidupan bermasyarakat kita.
Ironisnya lagi, mereka yang bercerai bukan hanya pasangan muda yang baru merintis rumah tangga, tetapi juga pasangan yang sudah lama bersama. Fenomena tersebut bahkan memunculkan istilah baru, yaitu grey divorce atau perceraian di usia senja. Hal ini menandakan bahwa krisis rumah tangga tak mengenal usia.
Sementara itu, penurunan angka pernikahan mengindikasikan ketidakmauan generasi muda untuk terlibat dalam ikatan yang lebih serius dan bertanggung jawab dalam jangka panjang. Bisa jadi ini mencerminkan perubahan paradigma tentang pernikahan, gaya hidup, prioritas, maupun ketidakpastian ekonomi dan sosial. (Kompas.com, 9 Maret 2024)
Perceraian dan Dukungan Sistem
Ketika menilik lebih dalam, berbagai laporan menunjukkan sebab perceraian sangat berwarna, seperti pertengkaran yang berulang, masalah ekonomi, KDRT, perselingkuhan, tekanan media sosial, hingga fenomena baru seperti kecanduan judi online (judol) yang membuat banyak suami (maupun sebagian istri) terjerat utang. Namun, apabila ditarik garis besarnya, maraknya perceraian ini disebabkan oleh banyak orang menikah tanpa memahami benar esensi pernikahan, yaitu ikatan sakral dan sebuah perjanjian yang agung di hadapan Allah Swt..
Pernikahan sering kali diperlakukan seperti checklist hidup setelah menyelesaikan pendidikan atau punya pekerjaan. Akibatnya, ketahanan keluarga runtuh dan generasi masa depan berpotensi besar berasal dari keluarga yang rapuh. Lahirlah generasi dengan ketidakstabilan psikologis, sosial, bahkan ekonomi. Hal ini akan melahirkan masalah sosial yang lebih luas.
Munculnya krisis dalam rumah tangga tak bisa dilepaskan dari paradigma sosial yang lebih luas. Faktanya, kita hidup dalam masyarakat yang banyak terpapar oleh paradigma sekuler kapitalis. Sistem pendidikan menekankan karir, pencapaian individual, materialisme dan sistem pergaulan sosial memandang kebebasan individu lebih tinggi daripada tanggung jawab sosial. Hal tersebut diperparah dengan sistem politik-ekonomi yang menempatkan pasar, konsumerisme, dan keuntungan ekonomi sebagai ukuran utama kesejahteraan bahkan kebahagiaan.
Dalam kerangka semacam ini, nilai-nilai tentang ikatan keluarga, komitmen, tanggung jawab terhadap pasangan dan anak, toleransi, pengorbanan seringkali diabaikan. Individu tumbuh dengan ambisi dan tuntutan individual yang tinggi, tetapi minim bekal spiritual, emosional, dan nilai moral untuk membangun rumah tangga yang kokoh.
Alhasil, pernikahan tidak dianggap serius dan bukan komitmen sakral sehingga ketika menemui masa sulit, pasangan lebih memilih cerai daripada berusaha memperbaiki bersama. Dalam kondisi demikian, tak mengherankan bila banyak pernikahan rapuh, banyak rumah tangga bubar, dan banyak generasi muda enggan menikah atau menunda menikah terlalu lama.
Keluarga Kokoh dalam Naungan Islam
Di tengah ragam solusi jangka pendek yang ditawarkan, mulai dari konseling pernikahan, seminar parenting, hingga edukasi pra-nikah, dibutuhkan solusi yang lebih mendasar, yakni pendekatan sistemik. Dalam konteks ini, sistem Islam setidaknya menawarkan tiga kerangka besar sebagai solusi menyeluruh:
1. Pendidikan Islam: Membangun Kepribadian Sejak Dini
Sistem pendidikan yang mengintegrasikan nilai agama, karakter, etika moral, tanggung jawab sosial, empati, dan kemampuan berpikir kritis sehingga membentuk pribadi yang matang secara emosional dan spiritual. Individu dididik bukan sekadar untuk menjadi manusia produktif di pasar tenaga kerja, tetapi menjadi insan yang mengenal makna komitmen, tanggung jawab, dan membangun keluarga sakinah mawwadah warahmah. Dengan begitu, ketika seorang menikah, ia akan paham bahwa hal tersebut merupakan bagian dari ibadah dan rida Allah menjadi tujuan utamanya.
2. Sistem Pergaulan Islam: Membentengi Relasi Agar Tetap Sehat
Sistem pergaulan dalam Islam berlandaskan ketakwaan pada Allah Swt.. Sistem ini menekankan kehormatan, batasan interaksi, dan tanggung jawab sosial tidak hanya melindungi individu dari godaan perselingkuhan atau perilaku merusak, tetapi juga menjaga hubungan dalam keluarga agar harmonis dan menghindari adanya fitnah. Masyarakat turut menjadi benteng bagi kekokohan tiap-tiap rumah tangga dengan saling mengingatkan dan memberi nasihat.
3. Sistem Politik Ekonomi Islam: Kesejahteraan Sebagai Hak, Bukan Kemewahan
Ekonomi adalah salah satu pemicu terbesar konflik rumah tangga. Sistem ekonomi dalam Islam menawarkan struktur di mana kebutuhan pokok rakyat yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan ditanggung dan dijamin oleh negara. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan dan hunian yang layak untuk tiap-tiap keluarga.
Negara juga menjamin pelayanan kesehatan dan pendidikan bebas biaya untuk setiap rakyatnya. Dengan begitu, tekanan finansial rumah tangga bisa diminimalisir dan distribusi kekayaan adil di dalam negara. Keluarga bisa fokus untuk membangun generasi masa depan, bukan hanya fokus untuk bertahan hidup.
Perubahan Sistemik Demi Peradaban
Tingginya perceraian, menurunnya angka pernikahan, serta generasi muda yang makin ragu terhadap komitmen adalah alarm sosial. Jika tidak direspons secara serius, kita berpotensi kehilangan fondasi keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Di samping itu, kita juga kehilangan generasi masa depan yang tangguh, bertanggung jawab, dan berintegritas.
Kita membutuhkan transformasi sistem, bukan sekadar imbauan moral atau solusi parsial. Perubahan paradigma hidup harus dimulai sejak pendidikan, dibina dalam interaksi sosial, dan diperkuat dengan sistem ekonomi-politik yang manusiawi.
Sistem Islam adalah sebuah solusi untuk membangun manusia dan keluarga yang kokoh. Namun, sistem Islam tidak akan bisa diterapkan tanpa adanya negara Islam (Khil4fah). Dalam naungan negara Islam, kebutuhan dan perlindungan rakyat dijamin oleh negara, termasuk perlindungan terhadap keutuhan rumah tangga. Karena sejatinya, negara adalah junnah atau perisai bagi rakyat.
Seperti sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya al-Imam (pemimpin/negara) itu adalah junnah (perisai/pelindung), orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya (dari musuh dan kezaliman).” (HR. Abu Hurairah r.a.)
Tugas perlindungan yang sebenarnya ada pada negara, sebagai pembuat kebijakan dan urusan pengatur rakyat. Dengan mendukung dan berkontribusi pada perubahan sistemik lewat negara, ada secercah harapan untuk menyelamatkan generasi dan peradaban masa depan. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


