Siswa Terjerat Pinjol dan Judol: Cermin Gagalnya Sistem Pendidikan dan Negara
OpiniFenomena ini tidak bisa dianggap sebagai insiden biasa atau semata karena “kenakalan remaja”.
Masalahnya sistemik, kompleks, dan mencerminkan kegagalan menyeluruh dari sistem yang membentuk cara hidup generasi muda saat ini
_________________________
Penulis Perawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Saat Anak Sekolah Terjerat Utang dan Judi
Kasus seorang siswa SMP di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terjerat utang pinjaman online (pinjol) dan kecanduan judi online (judol), membuka borok besar di sektor pendidikan dan pengawasan negara.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti, menyatakan bahwa kejadian tersebut merupakan bukti kegagalan pendidikan nasional dalam membentengi generasi muda dari pengaruh destruktif dunia digital dan pola pikir instan. (Kompas.com, 29 Oktober 2025)
Bahkan menurut laporan Tirto.id, kasus seperti ini bukan satu-satunya, dan masih banyak siswa lainnya yang mulai terjerumus dalam pusaran yang sama.
Sistem Rusak Melahirkan Generasi yang Rentan
Fenomena ini tidak bisa dianggap sebagai insiden biasa atau semata karena “kenakalan remaja”. Masalahnya sistemik, kompleks, dan mencerminkan kegagalan menyeluruh dari sistem yang membentuk cara hidup generasi muda saat ini.
1. Konten Judi Sudah Menyusup ke Dunia Anak dan Pendidikan
Banyak platform game, aplikasi gratis, dan bahkan situs-situs pembelajaran dibanjiri oleh iklan atau tautan yang mengarah ke situs judol. Dengan desain yang mencolok dan janji hadiah besar, anak-anak mudah tergoda, apalagi ketika akses tidak dibatasi.
2. Pinjol dan Judol: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Setelah kalah judi, pelajar merasa perlu “mengembalikan modal”. Di sinilah pinjol masuk. Proses yang mudah, tanpa verifikasi ketat, membuat pelajar bisa langsung meminjam, bahkan dengan identitas palsu. Akibatnya, mereka terjerat utang dan mengalami tekanan mental.
3. Negara Tidak Berdaya Menutup Akses
Situs-situs judol dan aplikasi pinjol ilegal terus bermunculan. Tindakan pemblokiran tidak efektif karena muncul kembali dengan domain baru. Ini menunjukkan lemahnya infrastruktur pengawasan digital dan kurangnya ketegasan hukum.
4. Pendidikan Karakter Tidak Mampu Menyentuh Akar
Meski program “penguatan karakter” dan “literasi digital” digalakkan, tetapi tanpa fondasi nilai yang kokoh, pelajar tetap rentan. Mereka tahu itu salah, tapi tidak merasa takut karena tidak punya landasan moral yang kuat.
5. Kapitalisme Mendorong Mentalitas Kaya Instan
Dalam kapitalisme, keberhasilan diukur dari materi. Inilah yang mendorong munculnya mentalitas cepat kaya tanpa proses. Judi dianggap jalan pintas. Nilai-nilai halal dan haram tidak lagi menjadi pertimbangan, karena sistem ini menyingkirkan agama dari pengambilan keputusan.
Sistem Hidup yang Mendidik dan Melindungi
Islam memandang anak-anak sebagai amanah yang wajib dijaga, bukan sekadar objek statistik pendidikan. Sistem Islam tidak hanya menawarkan larangan, tapi solusi menyeluruh—dari pembentukan pola pikir hingga perlindungan negara.
1. Pendidikan yang Menumbuhkan Takwa dan Akidah
Pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk mencetak cerdas secara akademik, tapi membentuk kepribadian Islam—yakni pola pikir dan sikap yang berlandaskan akidah. Siswa diajarkan bahwa hidup ini bukan tentang kaya atau menang, tetapi tentang tanggung jawab di hadapan Allah.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem ini, pendidikan berorientasi pada kehidupan akhirat, bukan sekadar pencapaian dunia. Itulah yang membuat pelajar mampu menahan diri dari godaan, karena memiliki kompas moral yang jelas.
2. Larangan Tegas terhadap Judi dan Riba
Islam menegaskan bahwa berjudi adalah perbuatan keji dan bagian dari perangkap setan:
“Sesungguhnya judi, minuman keras, berhala, dan mengundi nasib adalah najis termasuk perbuatan setan, maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90)
Demikian pula dengan pinjaman berbasis riba, yang dilarang keras dalam Islam karena menyengsarakan dan menzalimi.
3. Negara Sebagai Pelindung Generasi
Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai). Negara tidak cukup menjadi pengatur pasar, tetapi bertanggung jawab penuh menjaga lingkungan pendidikan dan sosial tetap bersih dari kejahatan digital.
• Negara wajib menutup akses permanen terhadap situs judi dan aplikasi pinjol.
• Penyelenggara judol dan pinjol dikenai sanksi tegas, bukan sekadar diblokir.
• Negara menjamin kesejahteraan rakyat, agar tidak terdorong melakukan hal haram demi memenuhi kebutuhan.
4. Sistem Sosial yang Mendukung Lingkungan Sehat
Dalam Islam, lingkungan masyarakat dibangun di atas norma-norma syar’i. Iklan, tontonan, dan akses informasi dikendalikan negara agar tidak menjadi alat perusak akhlak generasi. Remaja tumbuh dalam budaya ilmu dan kesalehan, bukan kompetisi gaya hidup.
Ubah Arah Hidup, Bukan Sekadar Tutup Situs
Selama kita hidup dalam sistem yang menjadikan materi sebagai ukuran utama, maka jeratan seperti judol dan pinjol akan terus menelan korban, termasuk dari kalangan pelajar. Kita butuh sistem yang mengubah arah hidup manusia, bukan sekadar memblokir aplikasi.
Sudah saatnya kembali kepada sistem Islam. Bukan sekadar larangan, tapi solusi total—yang menumbuhkan takwa, menegakkan aturan yang melindungi, dan menciptakan masyarakat yang sadar akan tanggung jawabnya di hadapan Allah.
Karena melindungi anak bangsa tak cukup dengan sensor dan literasi. Tapi dengan sistem hidup yang membentuk manusia bertakwa sejak awal. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


