Alt Title

Emas, Darah, dan Air Mata Di Negara Kaya Raya Sudan

Emas, Darah, dan Air Mata Di Negara Kaya Raya Sudan



Sudan bahkan disebut sebagai produsen emas terbesar di dunia Arab

Dengan kekayaan sebesar itu, Sudan seharusnya bisa menjadi negara makmur

_________________________


Penulis Nafisusilmi

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sudan kembali membara. Asap konflik dan jeritan kemanusiaan terdengar dari negeri yang sejatinya diberkahi kekayaan alam luar biasa. Pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengungsian besar-besaran menjadi pemandangan memilukan di tanah yang mayoritas penduduknya muslim itu.


Dari pemberitaan pemerintah Sudan, pasukan Rapid Support Force(RFS) menyerang warga sipil hingga menewaskan lebih dari 2000 jiwa terbunuh di kota Al Fasher. (Republika.com, 31-10-2025)


Internasional Organization For Migration (IMO) melaporkan setidaknya hampir 62 ribuan orang meninggalkan El- Fasher setelah kota tersebut direbut oleh Rapid Support Force (RFS). Dan hampir 1.900 orang mengungsi ke El-Obeid dengan kondisi yang sangat sulit. Ada yang kekurangan pangan, air bersih dan tempat tinggal.(Minanews.net, 02-11-2025)



Negeri yang memiliki piramida lebih banyak dari Mesir, sungai Nil yang lebih panjang, dan kekayaan emas berlimpah itu kini terjerumus dalam penderitaan panjang. Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika, tetapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan peperangan. Ironi ini bukan tanpa sebab, semua bermula dari tangan-tangan kekuatan Barat yang bermain di balik layar.


 Kepentingan Barat di Balik Bara Sudan


Jika menelusuri sejarahnya, konflik Sudan bukanlah peristiwa baru. Sejak lama negeri ini menjadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan besar dunia yakni Amerika Serikat dan Inggris, yang mana saling berlomba memperluas hegemoni di kawasan Afrika dan Timur Tengah. 


Konflik bersenjata antara militer Sudan dan kelompok paramiliter RSF (Rapid Support Forces) hanyalah puncak dari pertarungan panjang yang mengakar pada politik dan kepentingan ekonomi global.


Barat melihat Sudan sebagai permata yang kaya akan sumber daya alam, mulai  dari emas, minyak, dan lahan pertanian luas.  Sudan bahkan disebut sebagai produsen emas terbesar di dunia Arab. Dengan kekayaan sebesar itu, Sudan seharusnya bisa menjadi negara makmur. Namun kenyataannya justru sebaliknya, rakyatnya miskin, infrastrukturnya hancur, dan kedaulatannya rapuh.


Mengapa demikian? Karena kekayaan Sudan tidak pernah benar-benar dinikmati rakyatnya. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris memanfaatkan instabilitas atau ketidakstabilan politik untuk menancapkan pengaruh melalui dukungan pada kelompok atau rezim tertentu.


Dan dibalik jargon “perdamaian” dan “demokrasi”, sesungguhnya tersembunyi agenda besar yaitu mengamankan jalur pasokan emas, minyak, dan komoditas strategis bagi kepentingan Barat.


Negeri-negeri boneka seperti Zionis Israel dan Uni Emirat Arab turut menjadi pion dalam permainan ini. Mereka ikut terlibat mendukung faksi-faksi tertentu demi melanggengkan proyek geopolitik besar yaitu Middle East New Project atau proyek tatanan Timur Tengah baru di bawah kendali negara adikuasa AS.


Diamnya Lembaga-Lembaga Dunia


Lebih ironis lagi, lembaga-lembaga internasional seperti PBB, IMF, dan Bank Dunia yang seharusnya menjadi penjamin perdamaian dan keadilan global justru berjalan di atas rel kepentingan negara-negara adidaya. Mereka hanya menjadi alat legitimasi untuk melanggengkan dominasi politik dan ekonomi Barat atas negeri-negeri muslim.


Sudan hanyalah satu dari sekian banyak korban. Negara seperti Irak, Suriah, Libya, Afghanistan, hingga Palestina adalah saksi betapa aturan internasional ternyata tidak lebih dari alat penjajahan modern yang dibungkus dalam kemasan diplomasi dan bantuan kemanusiaan.


Padahal Allah Swt. telah memperingatkan agar harta dan kekuasaan tidak hanya beredar di antara kalangan elit kaya atau negara kuat. Sebagaimana firman-Nya:

"Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr [59]: 7)


Namun, inilah realitas yang terjadi, kekayaan Sudan hanya beredar di tangan penguasa korup dan negara penjajah, sementara rakyatnya kelaparan dan terpaksa mengungsi.


Krisis Dunia Islam Adalah Krisis Peradaban


Krisis Sudan sejatinya merupakan potret krisis peradaban dunia Islam secara keseluruhan. Selama negeri-negeri muslim tidak bersatu di bawah satu sistem yang berpijak pada akidah Islam, maka mereka akan terus menjadi korban eksploitasi ideologi kapitalisme global.


Sistem kapitalisme yang diusung Barat membentuk pola pikir materialistik: siapa kuat dia berkuasa, siapa kaya dia berhak mengatur. Dalam sistem ini, keadilan sosial hanyalah ilusi, dan kemanusiaan hanya slogan kosong. Negara-negara muslim dibiarkan sibuk berkonflik, agar mereka tak sempat menyadari bahwa musuh sebenarnya adalah ideologi yang menindas mereka.


Maka dari itu umat Islam harus menaikkan level berpikirnya, bukan hanya melihat Sudan sebagai konflik etnis atau perebutan kekuasaan, tetapi memahami bahwa semua ini bagian dari perang peradaban antara Islam dan ideologi non-Islam.


Kita harus sadar, sebagaimana diingatkan Rasulullah saw. dalam sabdanya:


“Hampir saja bangsa-bangsa saling memperebutkan kalian seperti orang-orang yang berebut makanan di piring.”Para sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit, wahai Rasulullah?”Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian banyak, tetapi seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian terhadap kalian, dan menanamkan penyakit wahn di hati kalian.”

Mereka bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”

(HR. Abu Dawud)


Hadis ini menjadi cermin kondisi umat Islam hari ini, banyak secara jumlah, tapi lemah secara politik, ekonomi, dan peradaban.


Kepemimpinan Tunggal Global Islam sebagai Pelindung dan Pemersatu Umat


Islam tidak hanya menawarkan solusi spiritual, tetapi juga secara sistemik. Dalam sistem pemerintahan Islam, kepemimpinan bersifat sentral dan ideologis, bukan berdasarkan kepentingan kapitalis atau etnis. Negara Islam memandang seluruh umat muslim di berbagai negeri sebagai satu tubuh yang tidak bisa dipisahkan.


Jika satu wilayah diserang, maka seluruh wilayah Islam akan bergerak membelanya. Dalam sistem ini, kekayaan alam seperti emas, minyak, dan hasil bumi bukan milik individu atau kelompok, tetapi milik umum yang dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Dan tidak ada ruang bagi asing untuk menjarah, karena kepemimpinan Islam menolak dominasi dan penjajahan dalam bentuk apa pun.


Sejarah mencatat di bawah naungan kepemimpinan Islam, negeri-negeri Islam pernah menjadi pusat kemajuan dunia, yang adil, sejahtera, dan disegani. Tak ada satu pun kekuatan Barat yang berani menginjak harga diri umat. Inilah bukti nyata bahwa Islam bukan sekadar agama ibadah, tapi juga sistem yang mengatur kehidupan hidup yang paripurna.


Sudah Saatnya Umat Sadar dan Bersatu


Sudan hanyalah satu wajah dari penderitaan panjang umat Islam akibat hilangnya institusi pemersatu mereka. Selama sistem sekuler dan kapitalistik tetap dijadikan pijakan, maka penderitaan demi penderitaan akan terus terjadi di negeri-negeri muslim, entah di Afrika, Asia, atau Timur Tengah.


Sudah saatnya umat Islam bangkit dengan kesadaran ideologis. Mereka harus memahami bahwa solusi sejati bukan datang dari Barat, bukan dari PBB, bukan pula dari sistem demokrasi, melainkan dari penerapan syariat Islam secara menyeluruh di bawah naungan Kepemimpinan ‘ala minhaj an-nubuwwah.


Hanya dengan persatuan umat dan kepemimpinan Islam global, kekayaan seperti di Sudan dapat dijaga, rakyatnya sejahtera, dan kehormatan Islam kembali tegak. Hingga dunia kembali menyaksikan bahwa Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]