Alt Title

Hari Santri: Menghidupkan Kembali Jati Diri Santri Sejati

Hari Santri: Menghidupkan Kembali Jati Diri Santri Sejati



Hari Santri bukan sekadar perayaan identitas, melainkan seruan untuk bangkit

Santri harus menjadi motor penggerak peradaban

______________________________


Penulis Siti Aisyah, S.Pd.I

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Setiap tanggal 22 Oktober, masyarakat Indonesia memperingati Hari Santri Nasional — sebuah momen yang seharusnya menjadi ajang refleksi dan penguatan peran santri dalam kehidupan bangsa. Tahun 2025 ini, peringatan Hari Santri kembali mendapat sorotan publik. Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan ucapan selamat kepada para santri di seluruh penjuru negeri.


“Kami mewakili Bapak Presiden dan pemerintah menyampaikan selamat Hari Santri Tahun 2025. Semoga peringatan ini membawa keberkahan bagi kita semua,” ujar Mensesneg di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (22-10-2025). (Kemenag.go.id, 22-10-2025)


Ucapan tersebut tentu menjadi bentuk penghargaan negara terhadap kontribusi besar para santri dalam sejarah perjuangan bangsa. Namun di sisi lain, kita perlu bertanya: apakah peringatan ini hanya menjadi rutinitas seremonial, atau benar-benar menjadi momentum untuk meneguhkan kembali jati diri santri sejati?


Dalam realitas hari ini, Hari Santri kerap diwarnai oleh berbagai kegiatan seremonial seperti apel, lomba, dan pawai. Meski kegiatan itu memiliki nilai kebersamaan, tetapi makna esensial dari “kesantrian” itu sendiri sering terlupakan. Santri bukan sekadar simbol tradisi pesantren atau budaya keislaman, melainkan sosok yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga nilai-nilai Islam di tengah arus kehidupan modern.


Santri sejati adalah mereka yang faqqih fiddiin — memahami agama secara mendalam dan berusaha menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bukan hanya belajar untuk menambah pengetahuan, tetapi juga berjuang menegakkan amar makruf nahi mungkar. Santri adalah pelita di tengah kegelapan, pembawa risalah kebenaran di tengah masyarakat yang haus akan keadilan dan petunjuk Ilahi.


Dalam konteks kehidupan modern, tantangan santri makin besar. Arus sekularisme, hedonisme, dan materialisme perlahan mengikis semangat keilmuan dan kesederhanaan yang dulu menjadi ciri khas mereka. Karena itu, Hari Santri seharusnya menjadi momentum untuk mengembalikan marwah dan identitas santri sejati — mereka yang berilmu, berakhlak, dan berdakwah dengan penuh ketulusan.


Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

 

Hadis ini menjadi pengingat bahwa santri sejati tidak berhenti pada proses belajar, tetapi juga berperan aktif dalam menyebarkan ilmu dan memperbaiki masyarakat.


Ketika kerusakan moral dan sosial makin meluas, kehadiran santri diharapkan menjadi solusi yang menuntun masyarakat kembali pada nilai-nilai Islam. Dengan ketakwaan dan ilmu yang benar, mereka dapat menghadirkan perubahan hakiki — bukan hanya di permukaan, melainkan hingga ke akar persoalan kehidupan umat.


Oleh karena itu, Hari Santri bukan sekadar perayaan identitas, melainkan seruan untuk bangkit. Santri harus menjadi motor penggerak peradaban, menjunjung tinggi ilmu, keikhlasan, dan keberanian dalam menyuarakan kebenaran.


Mari jadikan Hari Santri 2025 sebagai momentum untuk meneguhkan tekad, memperbaiki diri, dan memperjuangkan Islam dengan ilmu dan amal. Sebab, dari tangan-tangan para santri yang ikhlas dan berilmu, insya Allah akan lahir generasi penerus yang membawa keberkahan dan kemuliaan bagi bangsa dan umat. Wallahualam bissawab.