Genosida di Sudan
Opini
Umat Islam harus meningkatkan cara berpikirnya secara ideologis
agar mampu melihat berbagai krisis dunia sebagai pertarungan antara Islam dan kapitalisme
______________________________
Penulis Sri Haryati
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sudan berduka, jerit pilu warga sipil memanggil dunia. Lebih dari 62.000 warga El-Fasher, Darfur Utara, terpaksa mengungsi setelah kota itu direbut oleh pasukan Rapid Support Forces (RSF) hanya dalam empat hari (26–29 Oktober 2025). Menurut IOM, pada 29 Oktober saja tercatat 26.080 pengungsi baru.
Kondisi para pengungsi sangat memprihatinkan akibat kekurangan pangan, air bersih, dan tempat tinggal. Banyak yang melarikan diri ke El-Obeid dalam keadaan lemah. Laporan juga menyebut RSF melakukan pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan massal, penahanan sewenang-wenang, dan serangan terhadap fasilitas medis. Kondisi ini menggambarkan terjadi genosida di Sudan.
Konflik antara RSF dan militer Sudan yang telah berlangsung sejak April 2023, kini berkembang menjadi krisis kemanusiaan besar yang memerlukan tindakan segera. (minanews.net, 02-11-2025)
Fakta Sudan
Sudan merupakan negara terbesar ketiga di Afrika yang berbatasan dengan tujuh negara, yaitu Afrika Tengah, Sudan Selatan, Mesir, Chad, Eritrea, Ethiopia, dan Libya. Sudan merdeka dari penjajahan Mesir dan Inggris pada 1 Januari 1956. Bahasa resmi Sudan adalah bahasa Arab dan Inggris, sedangkan mayoritas masyarakatnya adalah muslim.
Tidak hanya Mesir, Sudan juga memiliki banyak piramida. Bahkan, Sudan menjadi negara dengan piramida terbanyak di dunia, yakni sekitar 200-255 piramida, sedangkan Mesir hanya 136. Selain itu, Sudan memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak dan gas alam, emas, mineral strategis (kromium, mangan, tembaga, besi, zinc), air dan tanah yang subur hingga energi terbarukan.
Sudan merupakan salah satu produsen emas terbesar ketiga di Afrika setelah Ghana dan Afrika Selatan. Bahkan, termasuk dalam 10 besar negara penghasil emas di dunia. Tambang emas Sudan tersebar di berbagai wilayah, terutama di: Darfur, Kordofan, Nile State (Negara Bagian Sungai Nil), Red Sea State (Laut Merah). (kumparan.com, 04-11-2024)
Meski Sudan penghasil emas terbesar, tetapi negara ini tetap mengalami krisis kemanusiaan yang parah. Hal ini terjadi karena kekayaan alam tidak dikelola dengan adil dan digunakan untuk kepentingan rakyat, melainkan menjadi sumber konflik dan perebutan kekuasaan.
Emas menjadi faktor penting dalam perang antara militer Sudan (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) karena kedua pihak memperebutkan kendali atas tambang emas untuk membiayai operasi mereka. Keduanya memanfaatkan hasil tambang emas untuk membeli senjata dan membiayai perang. Akibatnya, rakyat sipil menjadi korban, rumah hancur, jutaan orang mengungsi, dan ribuan tewas.
Latar Belakang Krisis Sudan
Sejak merdeka dari Inggris dan Mesir pada tahun 1956, Sudan terus menerus dilanda konflik politik, etnis, dan ekonomi yang berakar pada perebutan kekuasaan serta intervensi asing.
Secara historis, Sudan mengalami konflik berkepanjangan sejak lama. Mulai dari perang saudara utara–selatan (1955–2005), konflik Darfur (2003–sekarang), hingga perang terbaru yang pecah pada April 2023 antara militer Sudan (SAF) yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan Rapid Support Forces (RSF) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti).
Awalnya, kedua pihak bekerja sama setelah menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada 2019. Namun, perebutan kekuasaan dan kepentingan ekonomi memicu perang terbuka. Selain faktor internal, krisis Sudan juga dipengaruhi oleh hegemoni negara adidaya.
Sudan yang strategis secara geopolitik menjadi arena persaingan pengaruh Barat (AS dan Inggris) yang juga melibatkan beberapa negara bonekanya, seperti Rusia, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Intervensi mereka dalam urusan politik dan ekonomi Sudan sering kali memperburuk ketegangan, bukan menyelesaikannya.
Hegemoni Negara Adidaya
Keterlibatan AS dan Inggris dalam konflik Sudan didorong oleh dua motif utama. Pertama, penguasaan sumber daya alam, terutama emas dan minyak. Setelah 2011, emas menjadi komoditas vital dengan cadangan mencapai lebih dari 100 ton per tahun, menjadikan Sudan produsen emas terbesar ketiga di Afrika.
Namun, tambang emas dikuasai oleh elite militer dan RSF, bukan rakyat. Sebagian besar emas diselundupkan ke luar negeri melalui Uni Emirat Arab dan masuk ke pasar internasional yang dikendalikan perusahaan serta bank Barat.
Melalui investasi tidak langsung, perusahaan AS dan Inggris meraup keuntungan besar, sementara rakyat Sudan tetap miskin dan terjebak konflik. Sistem ekonomi global kapitalistik menjadikan Sudan sekadar pemasok bahan mentah, bukan negara yang berdaulat atas kekayaannya.
Kedua, mengamankan jalur strategis Laut Merah yang menjadi jalur utama perdagangan global antara Asia dan Eropa. Sekitar 12–15% perdagangan dunia senilai lebih dari 1 triliun dolar AS per tahun melewati kawasan ini.
UEA mendukung RSF untuk memperluas pengaruhnya di Sudan. Sekitar 50–80% emas Sudan (±60 ton) diselundupkan melalui UEA, menjadikan Sudan mitra penting bagi ekspansi maritimnya di Laut Merah dan Tanduk Afrika.
Rusia juga berkepentingan menjaga akses ke Laut Merah dan Samudra Hindia. Melalui Wagner Group, Rusia memperoleh emas bernilai miliaran dolar dari dukungan terhadap kedua kubu yang sebagian digunakan untuk mendanai perang di Ukraina.
Sementara itu, Arab Saudi yang mendukung militer Sudan (SAF) memandang Laut Merah sangat penting bagi Visi 2030 dan proyek NEOM senilai 500 miliar dolar. Konflik yang berkecamuk dan aksi ekstrimis di Laut Merah dapat mengancam stabilitas kawasan serta ambisi ekonomi Saudi. (muslimahnews.net)
Akibat dari intervensi dan perebutan pengaruh ini, Sudan terjebak dalam konflik internal yang kompleks. Konflik ini menimbulkan bencana kemanusiaan besar yang mengakibatkan jutaan warga mengungsi, ribuan tewas, dan infrastruktur hancur. Upaya perdamaian pun sulit tercapai karena setiap pihak memiliki sponsor asing.
Islam Solusi Sejati
Sebagaimana rakyat G4za, umat Islam di Sudan juga tengah mengalami penderitaan yang luar biasa. Bahkan, genosida terjadi secara nyata di depan mata. Mereka menjerit meminta pertolongan dari saudara seimannya. Karena itu, umat Islam seharusnya bersatu melawan hegemoni Barat di bawah naungan kepemimpinan politik Islam, yaitu Khil4fah.
Umat Islam harus meningkatkan cara berpikirnya secara ideologis agar mampu melihat berbagai krisis dunia sebagai pertarungan antara Islam dan kapitalisme, bukan sekadar konflik politik atau perebutan kekuasaan.
Solusi sejati tidak akan lahir dari kompromi dengan sistem sekuler, melainkan dengan kembalinya kehidupan Islam di bawah naungan Khil4fah. Khil4fah akan menegakkan pemerintahan yang berlandaskan akidah, menjadikan kekuasaan sebagai amanah, menghapus hegemoni asing, dan mengelola kekayaan umat untuk kemaslahatan bersama.
Kepemimpinan Islam berfungsi sebagai pelindung dan pengatur urusan umat sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Anbiya:107 bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Khil4fah tidak akan tegak dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan melalui dakwah tanpa kekerasan, dengan membangun kesadaran umat akan kesempurnaan ajaran Islam dan penerapannya dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan tegaknya Khil4fah, kehidupan penuh rahmat dan keadilan global dapat terwujud. Wallahualam bissawab.


