Alt Title

Ketika Sekolah Tak Lagi Bersih dari Asap Moral

Ketika Sekolah Tak Lagi Bersih dari Asap Moral



Ketika pendidikan dipisahkan dari nilai keislaman, 

lahirlah generasi yang bebas tapi kehilangan arah, cerdas tapi tak berkarakter


_______________________


Penulis Nafisusilmi

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan Indonesia kembali diwarnai kabar yang memprihatinkan. Di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, seorang kepala sekolah dilaporkan menampar siswanya setelah ketahuan merokok di belakang sekolah. Peristiwa itu memicu reaksi, ratusan siswa melakukan aksi mogok belajar dan isu tersebut ramai diperbincangkan publik.


Meski akhirnya diselesaikan secara damai dan laporan dicabut, kasus ini membuka kembali perdebatan lama tentang batas antara disiplin, kekerasan, dan krisis moral di sekolah. (Suara.com, 14 Oktober 2025). 


Belum reda isu itu, media sosial kembali heboh. Kali ini foto seorang siswa SMA di Makassar beredar luas, tampak ia merokok dengan santai sambil mengangkat kaki di samping gurunya. Potret itu menyebar cepat, mengundang keprihatinan banyak pihak.


Bukan hanya soal etika, tetapi menandai makin pudarnya rasa hormat siswa terhadap guru. Simbol yang seharusnya dijaga dalam dunia pendidikan. Sayangnya, dua peristiwa ini bukan hal yang berdiri sendiri. Di berbagai daerah, perilaku menyimpang di sekolah seperti tawuran, bullying, bolos, hingga datang terlambat masih menjadi masalah. Fenomena ini bukan semata soal disiplin, melainkan cermin krisis nilai dan moralitas remaja di tengah arus kebebasan modern.


Remaja dan Arah Kebebasan yang Kabur


Laporan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkuat kegelisahan ini. Sekitar 15 juta remaja berusia 13–15 tahun di dunia kini menggunakan rokok elektrik atau vape, dan mereka sembilan kali lebih mungkin menggunakannya dibanding orang dewasa. (Inforemaja.id, 14–10–2025)


Data tersebut menunjukkan persoalan yang jauh lebih dalam dari sekadar gaya hidup, krisis jati diri dan lemahnya pembentukan karakter moral di usia muda. Remaja dibesarkan di tengah budaya yang mengagungkan kebebasan, tetapi sering tanpa bimbingan nilai. Kebebasan berekspresi dimaknai sebagai boleh melakukan apa saja, sementara kesadaran akan tanggung jawab dan batas moral makin kabur.


Merokok misalnya, bagi sebagian remaja dianggap simbol kedewasaan atau gaya hidup keren. Mereka tidak menyadari bahwa di balik asap itu tersimpan racun yang perlahan merusak tubuh. Lebih ironis lagi, negara seolah abai seperti iklan rokok terpampang bebas di sekitar sekolah, promosi vape dikemas dengan gaya hidup modern. Sementara, pendidikan karakter hanya berhenti di ruang kelas, tanpa keteladanan nyata dari sistem yang menopangnya.


Ketika Wibawa Guru Terkikis


Menjadi guru di era sekarang bukan tugas ringan. Mereka dituntut mendidik, membentuk karakter, sekaligus menghadapi tekanan sosial dan hukum. Satu langkah tegas sering dianggap kekerasan, satu kata keras bisa berujung laporan polisi atau viral di media sosial. Akibatnya, banyak guru memilih diam daripada mengambil risiko. Padahal pendidikan sejati tidak bisa tumbuh tanpa disiplin dan ketegasan.


Guru kehilangan wibawa, sementara siswa merasa memiliki kebebasan tanpa batas. Dalam tradisi Islam kedudukan guru begitu mulia. Imam Al-Ghazali menggambarkan guru sebagai pembentuk ruh manusia, bukan sekadar penyampai ilmu. Guru bukan hanya mengajarkan apa yang benar, tetapi juga mengapa harus benar. Namun, sistem pendidikan modern menempatkan guru sebatas fasilitator akademik, bukan pembimbing akhlak.


Akar Krisis: Pendidikan Sekuler


Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari berbagai fenomena ini adalah terpisahnya pendidikan dari nilai-nilai moral dan spiritual. Sistem pendidikan sekuler menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, sementara agama dianggap urusan pribadi. Akibatnya, banyak generasi yang pintar secara intelektual, tetapi miskin empati dan kehilangan arah moral.


Pendidikan semacam ini hanya melahirkan generasi yang tahu haknya, tetapi lupa tanggung jawabnya. Pandai bicara soal demokrasi dan kebebasan, tapi tak lagi menghormati guru dan orang tuanya.


Pendidikan dalam Islam


Dalam Islam mengajarkan keseimbangan antara ilmu, iman, dan adab. Ilmu tanpa adab adalah bencana, dan adab tanpa ilmu adalah kebodohan. Karena, sistem pendidikan harus menanamkan nilai spiritual yang mengarahkan kebebasan agar tetap berpijak pada tanggung jawab di hadapan Allah.


Ketegasan Tanpa Kekerasan


Islam adalah agama yang menjunjung kasih sayang, tetapi juga menegakkan kedisiplinan. Rasulullah Shallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Kelembutan bukan berarti membiarkan kesalahan. Menegur, mengingatkan, dan mendidik dengan hikmah adalah bagian dari amar makruf nahi mungkar yakni mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Namun, cara melakukannya harus dengan kebijaksanaan, bukan amarah.


Guru perlu memahami akar perilaku siswanya, lalu menuntunnya dengan pendekatan yang membangun. Di sisi lain, negara semestinya memberikan perlindungan hukum dan moral bagi para guru. Tanpa itu mereka akan terus berada di posisi lemah dan mudah disalahkan ketika menegakkan disiplin, namun diabaikan saat berjuang membentuk karakter anak.


Rokok, Kesadaran Diri, dan Amanah Tubuh


Dalam pandangan Islam hukum merokok adalah mubah atau boleh. Namun, banyak ulama masa kini berpendapat bahwa merokok haram karena terbukti merusak kesehatan dan memboroskan harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)


Tubuh adalah amanah dari Allah bukan milik pribadi yang boleh dirusak sesuka hati. Merokok di usia muda bukan sekadar kebiasaan buruk melainkan tanda lemahnya kesadaran diri dan tanggung jawab spiritual. Pendidikan seharusnya menanamkan pemahaman bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi moral, bukan sekadar pelanggaran tata tertib.


Menegakkan Sistem Pendidikan yang Berbasis Adab


Sistem pendidikan Islam memiliki visi yang jelas yaitu membentuk manusia beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Dalam Islam, adab lebih tinggi daripada ilmu. Karena, ilmu tanpa adab akan kehilangan makna. Rasulullah Shallahu alaihi Wassalam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang berilmu.” (HR. Ahmad)


Pendidikan bukan hanya soal nilai akademik, tetapi proses memanusiakan manusia. Guru adalah teladan, siswa adalah amanah, dan sekolah adalah ladang pembentukan karakter. Ketika adab ditegakkan, wibawa guru akan kembali, dan penghormatan terhadap ilmu akan tumbuh dengan sendirinya.


Maka, solusi dari krisis moral di sekolah tidak cukup dengan peraturan baru atau sanksi administratif. Perlu perubahan mendasar dalam paradigma pendidikan yaitu kembali pada sistem yang menanamkan nilai-nilai Islam, yang menyeimbangkan ilmu dan iman, disiplin dan kasih sayang, kebebasan dan tanggung jawab.


Kasus penamparan kepala sekolah dan siswa yang merokok hanya gejala permukaan dari penyakit yang lebih dalam. Ketika pendidikan dipisahkan dari nilai keislaman, lahirlah generasi yang bebas tapi kehilangan arah, cerdas tapi tak berkarakter.


Sudah saatnya dunia pendidikan kita kembali berpijak pada nilai-nilai keislaman. Karena sejatinya, mendidik bukan sekadar mencerdaskan otak. Melainkan menuntun jiwa agar tunduk dan sadar akan amanah hidupnya di hadapan Allah Subhanahu wa Taala. Wallahuallam bissawab.[Dara/MKC]