Alt Title

Gaji Guru PPPK Minim Islam Punya Mekanisme Adil

Gaji Guru PPPK Minim Islam Punya Mekanisme Adil



Selama kapitalisme masih menjadi pijakan kebijakan, guru akan terus hidup dalam keterpinggiran

Dalam sistem Islam, guru akan kembali dimuliakan sebagai penjaga ilmu dan pencetak generasi peradaban


_________________________


Penulis Manna Salwa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com - OPINI - Fakta di Lapangan: Guru PPPK Masih Terpinggirkan
Kesejahteraan guru PPPK kembali jadi sorotan. Sejak pemerintah mengangkat mereka untuk memenuhi kekurangan tenaga pendidik di sekolah negeri, status dan hak mereka nyatanya belum setara dengan aparatur sipil negara (ASN) lainnya. Menurut BeritaSatu, Komisi X DPR RI mendesak pemerintah menaikkan gaji guru honorer dan PPPK. Karena, banyak di antara mereka yang digaji di bawah standar kelayakan. (beritasatu.com)


Kondisi ini semakin memprihatinkan setelah terungkap kisah beberapa guru PPPK yang mengaku menerima gaji tak sampai Rp1 juta per bulan. Berdasarkan laporan SindoNews, ada guru paruh waktu PPPK yang hanya dibayar Rp18 ribu per jam. Jika dikalkulasi, penghasilannya dalam sebulan bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. (edukasi.sindonews.com)


Selain gaji yang minim, guru PPPK juga tidak memiliki jenjang karier dan tidak mendapatkan uang pensiun. Meskipun banyak dari mereka sudah berpendidikan tinggi, bahkan bergelar magister dan doktor. Beberapa di antaranya terpaksa mencari pekerjaan tambahan atau berutang demi bertahan hidup.


Liputan6 memuat curhatan salah satu guru PPPK di hadapan DPR: “Kami tidak iri dengan PNS, tapi jangan zalimi kami. Kami juga mendidik anak bangsa.” (enamplus.liputan6.com).


Realitas ini menyayat hati. Di tengah perannya yang krusial mencerdaskan generasi, guru justru terpinggirkan oleh sistem yang menilai jasa pendidik semata dari status kepegawaian dan beban kerja, bukan dari nilai amanahnya terhadap masa depan bangsa.


Guru dalam Cengkeraman Kapitalisme


Kondisi ini sesungguhnya bukan sekadar salah kebijakan. Melainkan buah dari sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan negara. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai pengelola anggaran terbatas, bukan penjamin kesejahteraan rakyat.


Negara yang tunduk pada prinsip ekonomi liberal tak memiliki cukup dana untuk menggaji guru secara layak karena sumber pemasukan utama, pajak dan utang tidak sebanding dengan pengeluaran. Sementara, sumber daya alam yang seharusnya menjadi sumber utama kekayaan negara diserahkan ke swasta dan asing atas nama investasi. Padahal, jika SDA seperti tambang, migas, dan hasil bumi dikelola oleh negara untuk rakyat, niscaya tidak ada alasan kekurangan anggaran untuk menggaji guru.


Dalam paradigma kapitalisme, tenaga kerja hanya dipandang sebagai faktor produksi. Wajar bila guru, yang sejatinya agen perubahan dan penjaga moral generasi, diposisikan layaknya buruh yang nilainya diukur dari produktivitas, bukan amanah pendidikannya. Mereka yang tidak dianggap menghasilkan uang bagi negara akan mudah terpinggirkan.


Sistem ini juga membuat kesejahteraan guru bergantung pada mekanisme pasar dan birokrasi anggaran, bukan pada tanggung jawab moral negara. Akibatnya, guru yang mengajar dengan dedikasi tinggi di daerah terpencil tetap hidup dalam kesulitan. Sementara, pejabat yang mengatur anggaran justru hidup berlimpah fasilitas.


Ketimpangan dan Ketidakadilan yang Terstruktur


Permasalahan ini semakin rumit ketika dilihat dari struktur keuangan negara. Ketika pemasukan utama berasal dari pajak dan utang luar negeri, negara akan terus memprioritaskan pengeluaran yang bersifat ekonomi dan politik ketimbang sosial. Anggaran pendidikan dan kesejahteraan guru sering kali menjadi korban pemangkasan.


Tak heran, banyak guru PPPK akhirnya terjerat utang bank dan pinjaman online demi menutupi kebutuhan hidup. Ironisnya, negara tidak memberikan perlindungan yang layak terhadap mereka. Padahal, pendidikan adalah pilar utama peradaban, dan guru adalah penggeraknya. Namun, dalam sistem kapitalisme, guru tidak lebih dari angka dalam neraca anggaran.



Hal ini menunjukkan bahwa selama kapitalisme masih menjadi dasar sistem ekonomi, diskriminasi dan ketimpangan terhadap guru akan terus terjadi. Kapitalisme gagal memuliakan profesi guru dan gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat.


Islam Menjamin Kesejahteraan Guru dan Keadilan Sistemik


Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki mekanisme keuangan yang adil dan berpihak pada rakyat, termasuk guru. Dalam sistem Islam, negara dikelola oleh Baitul Maal, lembaga keuangan publik yang mengatur pendapatan dan pengeluaran sesuai syariat.


Sumber pemasukan Baitul Maal berasal dari tiga pos utama:

1. Pos fai’ dan kharaj – hasil pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya publik, seperti tambang, hutan, dan minyak.

2. Pos zakat – untuk distribusi kesejahteraan sosial, khususnya bagi fakir miskin.

3. Pos milkiyah daulah (kepemilikan negara) – yang digunakan untuk membiayai sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.


Dengan sistem ini, gaji guru tidak bergantung pada status ASN atau PPPK. Semua guru, sebagai pelaksana pendidikan, dianggap pegawai negara yang layak menerima gaji dari Baitul Maal. Islam menilai gaji berdasarkan nilai jasa dan tanggung jawab, bukan status administratif.


Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)


Hadis ini menegaskan pentingnya penghargaan terhadap tenaga kerja, termasuk guru, secara adil dan tepat waktu. Dalam Islam, guru adalah bagian dari sistem pendidikan yang dijamin negara sepenuhnya.


Selain itu, pendidikan dalam Islam bersifat gratis dan berkualitas. Karena, negara menganggap pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi bagi seluruh warga. Negara Islam akan membangun sistem pendidikan yang menyiapkan generasi berilmu, berakhlak, dan bertakwa tanpa membebani guru maupun siswa dengan biaya atau ketidakpastian status.


Saatnya Negara Memuliakan Guru dengan Sistem yang Adil


Realitas pahit yang dialami guru PPPK saat ini menunjukkan kegagalan kapitalisme dalam menyejahterakan rakyatnya. Guru yang seharusnya dimuliakan justru dizalimi oleh sistem yang mengukur nilai manusia dengan produktivitas ekonomi.


Islam menawarkan solusi yang adil dan menyeluruh. Melalui sistem keuangan Baitulmal, negara memiliki mekanisme nyata untuk menyejahterakan guru, membiayai pendidikan secara penuh, dan menjamin pemerataan kualitas pendidikan.


Selama kapitalisme masih menjadi pijakan kebijakan, guru akan terus hidup dalam keterpinggiran. Tapi dalam sistem Islam, guru akan kembali dimuliakan sebagai penjaga ilmu dan pencetak generasi peradaban. Sesuai firman Allah swt : “Sesungguhnya orang yang paling dimuliakan Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)


Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]