Keruntuhan Bangunan: Takdir atau Kelalaian?
OpiniMenyandarkan semua perbuatan manusia kepada takdir adalah penyimpangan dari pemahaman Islam
karena Allah memberi manusia kehendak dan kemampuan untuk memilih
____________________________
Penulis Aksarana Citra
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sudah 2 pekan terjadi, tetapi duka masih menyelimuti pesantren Al Khoziny. Tim SAR telah selesai mengevakuasi pesantren tersebut. Setelah 72 jam pertama atau golden hour di mana itu adalah fase kritis dalam evakuasi korban bencana, upaya evakuasi korban beralih dari pencarian korban selamat ke evakuasi jenazah.
Tim SAR menggunakan alat berat, seperti eskavator dan crane untuk mempercepat jalannnya evakuasi. Sampai hari ke 9 atau Selasa 7 Oktober 2025, total korban dari ambruknya bangunan tersebut mencapai 171 orang, terdiri dari 104 korban selamat dan luka-luka, 67 meninggal dunia dan 8 di antaranya body part korban. (cnnindonesia.com, 08-10-2025)
Malang memang tidak dapat ditolak. Air mata tidak akan mengembalikan yang hilang. Siapa yang mau terjadinya suatu bencana sampai merenggut orang yang kita cintai. Kehilangan seorang anak adalah duka yang paling besar bagi orang tua.
Harapan yang ditanam tenunan cita-cita. Semua itu runtuh seketika bersama dinding beton yang menjadi saksi terakhir senyuman mereka. Dinding roboh yang menelan harapan orang tua. Apakah ini takdir dari yang Maha Kuasa ataukah kelalaian semata?
Pernyataan pimpinan Ponpes Al Khoziny yang menyatakan ambruknya bangunan musala itu karena takdir Allah Swt. dan meminta keluarga korban untuk bersabar. Hal itu menimbulkan polemik di masyarakat. Benar bahwasanya yang terjadi itu bagian dari takdir, tetapi kelalaian manusia tetap harus dipertanggungjawabkan agar tragedi serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran bagi pesantren yang lainnya.
Dari berita yang beredar, runtuhnya bangunan musala tersebut dikarenakan penopang cor tidak kuat. Pembangunan gedung yang ambruk tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Sampai saat ini, pernyataan tanggung jawab dari kelalaian yang menewaskan santri mereka pun tidak ada, serta penemuan mobil mewah di bawah reruntuhan bangunan menjadi misteri.
Memang ambruknya bangunan tersebut sudah menjadi takdir, tetapi sejumlah pakar menilai insiden itu biasa dihindari apabila dilakukan sesuai prosedur pembangunan dan menyertakan tenaga ahli. Dalam kejadian ini mestinya ada pihak yang bertanggung jawab karena peristiwa ini bukan karena bencana alam, tetapi hasil dari kelalaian manusia.
Menurut pakar pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar bahwasanya dalam kejadian ini seharusnya polisi bisa langsung menetapkan tersangka karena merupakan delik umum. Polisi bisa memakai pasal 359 yang di mana pasal tersebut mengatur tindak pidana yang menyebabkan kematian seseorang karena kelalaian dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun.
Sementara Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta Dzuriyatun Toyibah memandang pesantren tradisional yang menjadi tempat belajar bagi masyarakat miskin, selama ini kurang mendapatkan perhatian dari negara sehingga tidak memenuhi standar fasilitas pendidikan yang layak. (CNN Indonesia )
Jika kita cermati, segala kejadian yang terjadi di alam semesta, manusia, dan makhluk yang lainnya, semua itu ada campur tangannya Allah Swt.. Tidak ada yang akan mengetahui kapan ajal menjemput kita. Segala yang hidup pasti akan mati, ada awal pasti ada akhir. Tidak ada yang tahu kapan kemalangan ataupun kebahagiaan datang kepada kita, itu semua qada dari Al Khaliq.
Sebagai manusia, cara kita menyikapi qada dan qadar harus sesuai dengan pandangan Islam. Dalam hal ini, manusia harus bersabar, rida, dan tetap berhusnuzan kepada Allah Swt..
Manusia diciptakan Allah dengan akal dan kehendak, maka diperintahkan padanya untuk berusaha dalam batas kemampuan dan hukum-hukum Allah (Kitab Asy Syaksiah Al Islamiyah). Segala yang terjadi juga pasti ada sebab akibat yang melatarbelakanginya.
Di negara yang menerapkan sistem sekularisme dan kapitalisme, tentu wajar terjadi hal seperti ini. Abainya negara dalam membangun pesantren untuk menjadi lembaga pendidikan yang layak menimbulkan berbagai masalah padahal dari situlah lahir generasi berakhlak, ulama perjuang ,dan para da’i yg akan menyalakan cahaya ilmu di tengah gelapnya sistem.
Ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam tujuannya mencerdaskan anak-anak bangsa. Dalam kenyataannya, pesantren kini banyak yang berdiri sendiri, berdiri atas modal sendiri, donasi masyarakat atau sumbangan sukarela.
Sementara negara yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama dalam pendidikan masyarakat, justru bersikap abstain seolah pesantren hanyalah urusan umat sendiri. Inilah bukti nyata dari sekularisme, yakni memisahkan agama dengan kehidupan.
Pada kasus ini, memang dari sisi kejadian merupakan qada Allah Swt., ketetapan yang telah terjadi di mana manusia tidak bisa menolaknya. Namun, menerima qada bukan berarti berhenti berpikir dan bertanggung jawab karena manusia diberikan ranah ikhtiar sebelum qada itu terjadi.
Usaha dan tindakan yang berada dalam kemampuan dan pengetahuan manusia. Manusia mempunyai kemampuan (qudrah) dan kehendak (iradah) yang Allah anugerahkan padanya untuk melakukan perbuatan yang berada dalam kekuasaannya (kitab Asy Syaksiah Al Islamiyyah).
Jadi, saat merancang harus memastikan bangunan dengan struktur yang kuat, mempekerjakan tenaga ahli dalam membangun, menentukan lokasi yang cocok, dan melakukan perawatan rutin, itu termasuk pada ranah ikhtiar manusia. Akan tetapi, kalau semua itu tidak dijalankan dengan baik, maka itu bukan lagi qada Allah. Dalam artian yang harus diterima dengan pasrah. Namun, menjadi konsekuensi dari kelalaian manusia dalam menggunakan akal dan kemampuannya.
Yang terjadi di Pesantren Al Khoziny nyatanya memang kelalaian. Di mana pesantren mempekerjakan para santri untuk membangun musala. Bukan hanya itu, dalam membangun juga tidak disertai tenaga ahli, dikerjakan oleh para santri yang hanya mengetahui baca tulis saja.
Sesuai dengan hadis Rasulullah saw.,
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Al Bukhari no. 6015)
Sistem ini menempatkan pendidikan Islam dalam posisi lemah. Di mana banyak pesantren atau sekolah Islam yang berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah, negara abai terhadap kewajiban dalam mencerdaskan anak bangsa.
Dalam pandangan Islam, setiap urusan harus diserahkan kepada orang yang ahli dan bertakwa. Tak hanya itu, negara dalam sistem Islam (Khil4fah) wajib menjamin kebutuhan pendidikan umat, termasuk sarana dan prasarana sekolah.
Dalam Islam, tidak ada konsep patungan atau mengumpulkan dana dari individu untuk membiayai sesuatu seperti halnya di kapitalisme. Negara yang berperan dalam mengatur dana pendidikan, tanpa membebani masyarakat. Negara menjamin keselamatan, kenyamanan, dan keberkahan untuk masyarakat.
Memang tragedi ini menjadi pelajaran pahit untuk semua. Ini bukti nyata tanpa penerapan syariat Islam secara menyeluruh amanah mudah dikhianati dan nyawa pun melayang dan takdir Allah Swt. pun menjadi kambing hitam atas segala kelalaian manusia. Maka kita harus mengubah cara berpikir umat Islam di mana pemikiran yang tidak rasional yang menghambat kemajuan diubah dengan pemikiran yang rasional dan revolusioner.
Syeikh Taqiyuddin an Nabhani menegaskan dalam Nidzam Al Islam akidah Islam dibuktikan dengan akal karena berfungsi untuk menetapkan kebenaran keberadaan Allah dan Rasul.
Setelahnya akal bisa menerima semua perintah, larangan, termasuk takdir. Jadi kalimat ini sudah takdir memang benar jika maksudnya adalah mengakui kehendak Allah. Namun, bisa salah bila dijadikan alasan untuk pasrah tanpa ikhtiar apalagi angkat tangan dalam tanggung jawab.
Menyandarkan semua perbuatan manusia kepada takdir adalah penyimpangan dari pemahaman Islam karena Allah memberi manusia kehendak dan kemampuan untuk memilih (Syekh Taqiyuddin an Nabhani). Wallahualam bissawab.


