Alt Title

Tanah Terlantar Diambil Negara untuk Rakyat atau Oligarki

Tanah Terlantar Diambil Negara untuk Rakyat atau Oligarki



Dalam kapitalisme, tanah bukan lagi sumber kehidupan, tetapi komoditas bernilai jual tinggi.

Selama menguntungkan, tanah bisa berpindah tangan kepada siapa pun


____________________



KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Pemerintah lewat Kementerian ATR/BPN menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak dimanfaatkan selama dua tahun bisa diambil alih oleh negara. Sebagaimana diatur dalam PP No. 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.


Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari penertiban aset dan optimalisasi tata ruang nasional. Namun, publik bertanya benarkah tanah ini akan dikelola untuk rakyat atau justru kembali berpindah tangan ke pemilik modal?


Negara Jadi “Makelar” Tanah?


Jika melihat realitas hari ini, sulit menaruh harapan besar bahwa kebijakan ini murni untuk kesejahteraan rakyat. Pasalnya, penguasaan lahan di Indonesia sangat timpang. Ribuan hektare dikuasai oleh segelintir korporasi lewat skema HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan), sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan sekadar untuk bertani, berdagang, atau tinggal layak.


Ketika negara mengambil tanah terlantar, rakyat tentu berharap lahan itu diberikan kepada petani tak bertanah, pedagang kecil, atau proyek publik. Namun dalam praktiknya, negara sering kali bertindak sebagai fasilitator kepentingan investor, bukan pelindung hak rakyat. Lahan-lahan justru kerap “dipasarkan” kepada investor asing, konglomerat properti, dan korporasi multinasional dengan alasan “menarik investasi”.


Kapitalisme Menyulap Tanah Jadi Komoditas


Dalam kapitalisme, tanah bukan lagi sumber kehidupan, tetapi komoditas bernilai jual tinggi. Selama menguntungkan, tanah bisa berpindah tangan kepada siapa pun. Jangan heran jika tanah-tanah yang semestinya dikelola untuk rakyat justru diberikan kepada pengusaha untuk dibangun hotel, mall, pabrik, atau proyek properti mewah yang tak bisa diakses rakyat.


Lebih ironis lagi, banyak tanah milik negara justru dibiarkan terbengkalai tanpa pengelolaan jelas. Tidak ada transparansi soal peruntukan, dan tidak sedikit kasus lahan negara yang diklaim atau diserobot oleh pihak swasta dengan dukungan kekuasaan. Jika begini, kebijakan pengambilalihan tanah terlantar hanya menjadi “jalan pintas legal” untuk memperluas dominasi oligarki tanah.


Islam Punya Solusi: Tanah untuk Kesejahteraan, Bukan Komoditas


Islam sebagai sistem hidup yang paripurna memiliki paradigma khas dalam pengelolaan tanah. Sebagaimana ditegaskan para ulama tanah dalam Islam tidak boleh dikomersialisasi secara bebas. Ada tiga jenis kepemilikan tanah dalam Islam:


1.Tanah milik individu – bisa dimiliki dan diwariskan, tetapi tidak boleh dibiarkan mati. Jika ditelantarkan tanpa alasan syar’i, bisa diambil negara.


2. Tanah milik negara – harus dikelola langsung oleh negara demi kemaslahatan rakyat, seperti untuk pertanian umum, permukiman rakyat, dan infrastruktur strategis.


3. Tanah milik umum – seperti padang gembalaan, hutan, dan sumber daya alam lain yang tidak boleh dimiliki pribadi maupun korporasi.


Dalam sistem Islam, negara tidak boleh menjual tanah negara kepada asing, apalagi membiarkan tanah dikuasai segelintir elite. Tanah hanya bisa diserahkan kepada rakyat jika untuk keperluan hidup yang sah, seperti bertani, mendirikan rumah, atau kebutuhan masyarakat luas. Jika tanah itu dibiarkan terlantar tanpa udzur, negara wajib mengambilnya dan mengelolanya kembali.


Islam Mengelola Tanah dengan Amanah


Berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan tanah sebagai alat spekulasi dan investasi, Islam memandang tanah sebagai amanah. Negara dalam Islam akan menjalankan distribusi lahan secara adil, menghidupkan tanah mati, dan memastikan setiap rakyat punya akses terhadap lahan produktif.


Tidak ada ruang bagi korporasi untuk menguasai ribuan hektare tanpa kejelasan. Tidak ada jual beli tanah negara untuk pembangunan mall atau resort mewah. Semua itu bertentangan dengan tujuan syariat: mewujudkan kesejahteraan dan keberkahan hidup rakyat.


Penutup


Alih-alih berharap pada regulasi parsial seperti pengambilalihan tanah terlantar, umat Islam seharusnya menuntut perubahan sistemik. Tanah bukan sekadar aset, tetapi fondasi kehidupan. Jika dikelola salah, tanah bisa menjadi sumber ketimpangan.


Akan tetapi, jika dikelola dengan syariat Islam, tanah akan menjadi jalan menuju kemakmuran dan keadilan. Saatnya kembali kepada sistem Islam kafah untuk mewujudkan itu semua. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Novi Kurnia Dewi, SST.