Pemblokiran Rekening: Potret Zalimnya Kapitalisme
OpiniSelama sistem yang diterapkan adalah kapitalisme sekuler kezaliman serupa akan terus terjadi
Rakyat tidak akan pernah benar-benar aman
____________________
Penulis Vina
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Publik Indonesia kembali digemparkan dengan kabar pemblokiran sejumlah rekening oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal tersebut dilakukan untuk mencegah tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, hingga transaksi ilegal lainnya seperti judi online, ungkap pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah. (republika.com, 01-08-2025)
Kebijakan ini menjadi sorotan karena terjadi pada rekening-rekening yang bahkan berstatus dormant (tidak aktif) dan tanpa proses pengadilan terlebih dahulu. Wakil ketua DPR RI Sufmi Dasco menyampaikan bahwa pemblokiran rekening pasif tersebut sebagai bentuk perlindungan kepada nasabah dari pengambilan biaya admin hingga hak bunga yang tidak diberikan. (republika.com, 01-08-2025)
Masalahnya bukan pada upaya negara mencegah kejahatan, melainkan pada prosedur dan prinsip hukum yang dilanggar. Publik mempertanyakan indikator “mencurigakan” yang digunakan PPATK. Khawatir hal itu berlandaskan bukti yang kuat atau hanya sekadar penilaian sepihak yang rawan salah sasaran. Menurut anggota komisi XI DPR RI Melchias Marcus kebijakan seperti ini berpotensi menabrak asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah dan terlalu mencampuri ranah pribadi. (republika.com, 31-07-2025)
Dalam Islam, asas ini dikenal dengan istilah al-bara’ah al-asliyah—bahwa seseorang bebas dari tuduhan hingga bukti yang sah menegaskannya. Pemblokiran harta tanpa bukti yang jelas berarti telah menempatkan seseorang dalam posisi bersalah sebelum diadili.
Wajah Asli Kapitalisme Sekuler
Kebijakan ini hanya satu potret dari wajah asli kapitalisme sekuler yang saat ini mengatur negeri. Dalam kapitalisme, negara memiliki kewenangan besar untuk mengintervensi harta rakyat atas nama “kepentingan umum” atau “pencegahan kejahatan”, tetapi tanpa mekanisme yang transparan dan adil.
Kapitalisme tidak menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, tetapi sebagai “alat kekuasaan” yang bisa merampas atau membatasi hak kepemilikan sesuai kepentingan politik dan ekonomi. Keberpihakannya nampak jelas pada para pemilik modal bukan pada kepentingan mayoritas rakyat. Ironisnya, rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban.
Harta yang seharusnya aman di tangan pemiliknya bisa tiba-tiba dibekukan atau disita. Mekanisme pembatalan pemblokiran rekening rumit dan memakan waktu, tak jarang nasabah harus mengeluarkan sejumlah uang untuk itu. Inilah yang terjadi ketika sistem yang diterapkan bukan berasal dari wahyu Allah, melainkan dari akal manusia yang terbatas. Kapitalisme berasas manfaat materi dan kepentingan penguasa, bukan keadilan untuk seluruh warga negara.
Solusi Islam: Kepemilikan Dilindungi Syariat
Tidak seperti kapitalisme, urusan kepemilikan dalam Islam diatur sedemikian rupa untuk menghindari perampasan hak orang lain. Syariat Islam menjamin harta pribadi dan tidak boleh dirampas atau dibekukan tanpa sebab yang dibenarkan oleh hukum Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci atas kalian, seperti sucinya hari kalian ini, di negeri kalian ini, pada bulan kalian ini.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalil ini menunjukkan bahwa harta seorang muslim memiliki kehormatan yang sama dengan nyawanya, tidak boleh diambil kecuali dengan hak. Dalam Islam, negara tidak berhak memblokir harta rakyatnya hanya berdasarkan dugaan atau analisis sepihak. Jika ada tuduhan kejahatan yang berkaitan dengan harta, pembuktian harus dilakukan di pengadilan oleh negara dengan bukti yang sah dan saksi yang adil. Tanpa itu, tindakan perampasan atau pembekuan harta adalah kezaliman.
Al-Qur’an juga menegaskan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menjadi peringatan tegas bahwa harta tidak boleh diambil dengan cara batil, meski dibungkus dalih hukum atau keputusan pengadilan yang tidak sesuai syariat. Dalam sejarah pemerintahan Islam, hak kepemilikan dijaga secara ketat. Khalifah dan para pejabatnya menempatkan diri bahwa mereka adalah raa’in (pengurus urusan rakyat) dan setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak.
Pemblokiran harta hanya mungkin terjadi dalam tiga kondisi:
1. Harta hasil kejahatan yang terbukti secara syar’i – misalnya pencurian, penipuan, korupsi
2. Harta milik umum yang disalahgunakan – seperti sumber daya alam yang dikuasai pribadi tanpa hak.
3. Harta yang menjadi alat kejahatan nyata – seperti dana untuk pembiayaan pemberontakan bersenjata yang merugikan nyawa rakyat.
Selain itu, tidak ada alasan bagi negara untuk membatasi akses rakyat terhadap hartanya. Bahkan, negara justru berkewajiban membantu rakyat menjaga hartanya dari pihak yang ingin merampas.
Saatnya Umat Kembali pada Syariat
Dari kasus pemblokiran rekening ini seharusnya kita bisa mengambil pelajaran. Selama sistem yang diterapkan adalah kapitalisme sekuler, kezaliman serupa akan terus terjadi. Rakyat tidak akan pernah benar-benar aman karena kepemilikan mereka bisa sewaktu-waktu dirampas dengan alasan yang dibuat-buat.
Sudah saatnya umat kembali kepada Islam, bukan hanya sebagai agama pribadi, tetapi sebagai sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek, termasuk masalah ekonomi dan kepemilikan. Dengan penerapan syariat secara kafah di bawah naungan Daulah, hak kepemilikan akan benar-benar terjamin, keadilan ditegakkan, dan penguasa menjadi pelayan rakyat, bukan penghisap kekayaan mereka.
Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)
Ayat tersebut merupakan sebuah peringatan bagi siapa pun yang tidak berhukum pada syariat Allah dalam pengaturan urusan rakyat. Hanya dengan kembali kepada hukum Allah, kezaliman akan sirna, dan keamanan hak milik akan terjaga sepenuhnya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]