Alt Title

Sampai Kapan Perundungan Anak Terus Terjadi?

Sampai Kapan Perundungan Anak Terus Terjadi?



Maraknya kasus perundungan mencerminkan lemahnya kontrol sosial

minimnya pendidikan karakter, dan krisis empati

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA- Perundungan terhadap anak kembali menjadi sorotan publik. Hampir setiap pekan, kita menjumpai kabar anak-anak yang menjadi korban kekerasan oleh teman sebaya. Kasus demi kasus menunjukkan bahwa perundungan bukan lagi masalah individu, tetapi gejala sosial yang mengakar. Hal ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak.


Baru-baru ini, seorang anak di Bandung mengalami kekerasan fisik dari teman sepermainannya, akibatnya ia harus menjalani perawatan karena luka yang cukup parah. (CNNIndonesia.com, 26-6-2025)


Maraknya kasus perundungan tersebut mencerminkan lemahnya kontrol sosial, minimnya pendidikan karakter, dan krisis empati yang melanda generasi muda, serta tidak adanya hukum yang memberikan efek jera. Sebagian besar pelaku perundungan juga masih anak-anak.


Mereka tumbuh dalam lingkungan yang miskin kasih sayang dan penuh kekerasan simbolik. Banyak yang menjadikan kekerasan sebagai hiburan, bahkan sebagai ekspresi kejantanan. Perilaku tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pola didik yang abai.


Islam memandang perundungan sebagai bentuk kezaliman. Meskipun dilakukan dalam konteks bercanda, menyakiti orang lain tetaplah dosa.


Rasulullah saw. telah bersabda, “Cukuplah seseorang dianggap jahat apabila ia mampu meremehkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)


Hadis ini dengan tegas mengatakan bahwa merendahkan orang lain termasuk perilaku tercela.


Dampak perundungan sangat dalam dan panjang. Korban bisa mengalami trauma, ketakutan berlebih, bahkan kehilangan semangat belajar dan hidup. Secara sosial, mereka menarik diri dari lingkungan dan kesulitan untuk membangun relasi yang sehat. Dalam jangka panjang, luka batin itu bisa terbawa sampai dewasa.


Maraknya perundungan anak menunjukkan kegagalan sistem saat ini. Sistem pendidikan sekuler hanya menekankan keberhasilan akademik dan materi, tetapi abai terhadap pembinaan ruhiah dan akhlak. Hukum yang berlaku pun sering kali tidak menyentuh akar masalah, apalagi memberi efek jera yang mendidik.


Islam tidak hanya mengharamkan kezaliman, tetapi juga memberikan sistem pendidikan dan sanksi yang mencegahnya. Anak dibina sejak dini di lingkungan keluarga yang bertakwa, sekolah yang menanamkan nilai adab, dan masyarakat yang menjaga amar makruf nahi mungkar. Bila terjadi pelanggaran, Islam menetapkan sanksi yang tegas dan tetap mendidik.


Perundungan tidak akan hilang jika hanya dikecam saat viral. Kita butuh perubahan menyeluruh dalam sistem kehidupan. Sudah saatnya kembali pada aturan Islam yang kafah agar anak-anak bisa tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bermartabat. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]


Ariska Hening Wiretno